• img

    KAMUFLASE...

    Akan aku ajak engkau menemui bunglon .. agar engkau menyaksikan sendiri tipu dayanya! Bunglon merubah warna dirinya sesuai dengan tempat ia berada .. agar engkau mengetahui bahwa yang seperti bunglon itu banyak .. dan berulang-ulang! Dan bahwasanya ada orang-orang munafik .. banyak pula manusia yang berganti-ganti pakaian .. dan berlindung dibalik alasan “ingin berbuat baik”...
  • img

    Jujur...

    Jika engkau hendak mengungkap kejujuran orang, ajaklah ia pergi bersama .. dalam bepergian itu jati diri manusia terungkap .. penampilan lahiriahnya akan luntur dan jatidirinya akan tersingkap! Dan “bepergian itu disebut safar karena berfungsi mengungkap yang tertutup, mengungkap akhlaq dan tabiat”...
  • img

    Pemimpin

    Seringkali terbukti bahwa tugas utama seorang pemimpin hanyalah bagaimana memilih orang yang tepat. Begitu berhasil memilih orang yang tepat seringkali tugas seorang pemimpin sudah selesai. Setidaknya sudah 80 persen selesai. Tapi begitu seorang pemimpin salah memilih orang, sang pemimpin tidak terbantu sama sekali, bahkan justru terbebani...
  • img

    Karena Ukuran Kita Tak Sama

    seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi...
  • img

    Kemenangan..

    Kemenangan sejati yang paling mendasar dan substansial adalah jika kebenaran tetap bersemayam di hati kita. Tidak terkontaminasi oleh racun-racun kehidupan, tidak tergoda oleh iming-iming apapun bentuknya, yang membuat hati kita diisi oleh nilai-nilai lain selain nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT, ...

Saya ini sedang futur...

0
Diposting oleh cahAngon on 27 November 2010
Saya ini sedang futur
terbukti dengan ogah-ogahan datang liqo dengan alasan klasik, kuliah-lah, kerja-lah, lelah-lah, cape-lah, sibuk-lah, ini-lah, itu-lah

Saya ini sedang futur
Jarang baca buku tentang Islam lagi demen baca koran dulu tilawah tidak pernah ketinggalan sekarang satu lembar sudah lumayan tilawah sudah tidak lagi berkesan nonton bola ketagihan bahkan sampe lewat tengah malam tahajjud?? wassalam

Saya ini sedang futur
mulai malas sholat malam, jarang ber- tafakkur ba'da shubuh, kanan kiri salam lantas kembali mendengkur apalagi waktu libur sampai menjelang dzuhur

Saya ini sedang futur
sedikit dzikir kebanyakan tidur belajar ngawur ibadah pun hancur shohib-shohib kaga ada yang negur

Saya ini sedang futur
hati beku otak ngelantur mikirin orang se-dulur diri sendiri kaga pernah ngukur

ente tau-lah ane sekarang
seneng duduk dikursi goyang perut kenyang hati melayang mulut sibuk ngomongin orang aib sendiri ga kebayang

ente tau ane bengal
bangun malam sering ditinggal otak bebal banyak menghayal udah lupa yang namanya ajal

ente tau ane begini
udah sok tau, senang dipuji ngomong sok suci kaya 'murabbi kaga' ngaca diri sendiri

ente tau ane gegabah
petantang - petenteng merasa gagah diri ngaku ikhwah kalo mo' muhasabah diri itu ga beda sama sampah

ente tau ane sekarang
udah kalah di medan perang ane pengen pulang ke kandang ke tempat ane dulu datang

saya ini sedang futur
tak lagi pandai bersyukur senang disanjung dikritik murung

saya ini sedang futur
malas ngurusin da'wah suka mencela qiyadah sedikit sekali muhasabah sering sekali meng-ghibah

ya, saya memang sedang futur
mengapa saya futur ?? mengapa tidak ada satu ikhwah pun yang menegur dan menghibur ?? kenapa batas - batas mulai mengendur ?? kepura-puraan, basa-basi kelakuan makin subur ?? kenapa diantara kita sudah tidak jujur ?? kenapa ukhuwah diantara kita sudah mulai luntur ?? kenapa diantara kita hanya pandai bertutur ??

ya Allah berikan hamba - Mu ini pelipur agar aku tak semakin futur apalagi semakin tersungkur

robbana dzolamna anfusana wa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunana minal khosirin.....

***


taris s di pojok kamar saudaraku 03.30

pandulangsa 

Luaskan Bentangan Cakrawala Kepahamanmu

0
Diposting oleh cahAngon on 24 November 2010 , in
Oleh: Cahyadi Takariawan
Sungguh sangat ingin aku sampaikan pesan penting ini pertama kali: luaskan bentangan cakrawala kepahamanmu. Bergerak dalam dinamika dakwah adalah pergerakan yang berlandaskan kepahaman, berlandaskan hujah, berlandaskan ilmu dan pengetahuan. Tak ada keberhasilan dakwah, jika tidak diawali ilmu dan kepahaman. Tidak akan ada keteguhan di jalan dakwah, jika tidak memiliki cakrawala pengetahuan yang memadai.

Coba aku ajak membuat perbandingan. Saat anak masih kecil, ia hanya bermain di dalam rumah saja. Ia akan bertanya tentang benda-benda yang ada di dalam rumahnya sendiri. Dengan mudah orang tua menjawab dan menjelaskan, karena itu benda-benda yang sangat umum dan dikenalnya dengan baik. Bertambah usia, si anak mulai bermain di halaman rumah. Ia bertanya tentang benda-benda yang ada di halaman rumah. Orang tua dengan mantap menjawab semua pertanyaan anak.

Bertambah lagi usianya, anak bermain di lingkungan tetangga. Ia membawa pertanyaan seputar lingkungan sekitar, dan ada beberapa pertanyaan yang mulai sulit dijawab orang tuanya. Semakin besar anak, pergaulannya semakin luas, permainannya semakin jauh, tidak hanya di lingkungan tempat tinggal. Ia mulai bepergian ke luar kota, ia mulai mengenal beraneka ragam jenis manusia. Pertanyaan yang dibawa pulang semakin banyak yang dirasakan sulit oleh orang tuanya. Apalagi saat dewasa anak mulai mengenal manca negara, ia mengunjungi berbagai negara. Pergaulannya tanpa batas geografis, betapa luas pengetahuannya dan akhirnya semakin banyak pertanyaan tidak terjawab oleh orang tuanya yang belum pernah bepergian ke luar negeri.

Apa yang terjadi? Ada senjang informasi, ada senjang tsaqafah, ada senjang wawasan, ada senjang cakrawala pemikiran,antara anak dengan orang tua. Kesenjangan ini menyebabkan dialog sering tidak menyambung, atau dialog menjadi tidak seimbang. Anak berbicara tentang teknologi tinggi, yang tidak terbayang oleh orang tuanya yang gagap teknologi. Anak bercerita tentang pesawat terbang, sementara orang tuanya belum pernah melihat bentuk pesawat kecuali melalui gambar. Merasakan naik pesawat, berbeda dengan orang yang hanya mengerti gambar pesawat.

Bagaimana jika gambaran anak di atas adalah realitas pergerakan dakwah, yang tumbuh dari kecil membesar, dari segmen yang sempit ke segmen yang tak terbatas, dari tertutup menuju keterbukaan ? Sementara orang tua tersebut adalah kader dakwah yang stagnan. Kesenjangan informasi ternyata membahayakan.

“Sedang apa kau di sini ?” tanya sang ayah.

“Aku sedang bersiap untuk terbang ke London”, jawab sang anak.

“London itu apa ?” tanya ayah.

“London itu nama sebuah tempat di Eropa”, jawab sang anak.

“Apa engkau bisa terbang ?” tanya ayah.

“Aku naik pesawat terbang”, jawab sang anak.

“Mengapa kamu pergi ke London ? Pergilah ke sawah saja tempat biasanya kamu bermain-main”, pinta sang ayah sembari keheranan.

“Biasanya anakku bermain di sawah, mengapa sekarang ia mau bermain ke London?” pikir sang ayah.

“Apakah anakku sudah menjadi kafir dan ikut-ikutan gaya hidup orang Barat ?” pikir ayah.

Tentu saja, pikiran itu berlebihan. Ayah “berhenti” informasinya hanya di sekitar rumah, paling jauh ke pasar kecamatan atau kabupaten. Sementara si anak terus berkembang, ia melanglang buana mengelilingi dunia. Wawasannya terus bertambah, sementara si ayah wawasannya sudah selesai dan titik. Agar seimbang, si ayah harus mulai dikenalkan naik pesawat terbang dan mengunjungi berbagai pulau dan negara.

Bahkan, untuk sekedar mengerti sebuah kelucuan pun, memerlukan wawasan pengetahuan yang memadai. Seseorang tidak mengerti apa yang lucu sehingga tidak tertawa, pada saat orang lain merasa sangat lucu dan tertawa terbahak-bahak. Salah satunya, karena senjang informasi.

Ada tsaqafah maidaniyah, wawasan keilmuan yang terbentuk karena interaksi seseorang dengan realitas lapangan dakwah. Semakin luas pergaulan dan lapangan aktivitasnya, akan semakin banyak tsaqafah yang didapatkan. Jika aktivis “berhenti” mendapatkan asupan wawasan dan informasi lapangan, pastilah akan terbentuk persepsi puritan yang sering tidak “nyambung” dengan realitas lapangan.

Ini yang harus dijaga, secara pribadi maupun jama’i. Jangan berhenti mencari keluasan kepahaman, baik tekstual dari kitab, maupun kontekstual dari realitas lapangan. Teruslah berjalan meniti kepahaman. Teruslah merasa haus dan dahaga dari ilmu dan pengetahuan, sehingga tidak lelah untuk mencari dan mencari. Walau bis Sin, walau di negeri China, atau di negeri manapun.***

*sumber www.cahyadi-takariawan.web.id

Anak Muda di Suatu Hari Jum’at

0
Diposting oleh cahAngon on 23 November 2010 , in

Di sebuah lembah. Anak muda itu di bawa bapaknya. Tak terasa hari Jum’at tiba, Ia pun ikut bapak nya jum’atan. Hudzaifah menjadi khatib, isinya singkat, “ Sesungguhnya kiamat sudah dekat, dan bulan pun terbelah, Sungguh saatnya (kiamat) telah dekat. Sungguh bulan telah terbelah, telah dekat bagi dunia saat perpisahannya. Sungguh hari ini masih gelap ( hasilnya). Sedang besok manusia harus berlomba.”
Usai sholat anak  itu bertanya pada bapaknya, “Besok orang-orang harus ikut berlomba apa Pak?”
“Kamu ini memang bodoh. Maksudnya, hari ini manusia harus beramal di dunia, dan esok di akhirat akan mendapat pahalanya,” jawab bapaknya.
Pada Jum’at berikutnya, anak muda itu menghadiri shalat lagi. Hudzaifah berkhutbah lagi, dengan tema itu lagi, hanya di akhirnya ia menegaskan “ Sesungguhnya persinggahan akhir itu adalah akhirat, sedangkan yang menjadi pemenang dalam perlombaan adalah mereka yag melenggang ke surga. Anak muda itu pun semakin mengerti.
Seperti anak muda itu. Banyak dari kita harus belajar lebih jauh, tentang hidup yang sejatiya adalah perlombaan. Dengan keutuhan makna dan kesungguhan arti, belum semua kita telah benar-benar berlomba. Orang-orang berlari mengejar takdirnya, juga harapan-harapannya, tapi siapa yang benar-benar bersungguh-sungguh? Sebagian bahkan hanya menonton, sebagian diam dan masa bodoh, sebagian lagi tertatih, seperti kereta tua yang tak kunjung mengantarkan penumpangnya pada cita.
Di usia kita yang entah berapa, kita mesti bertanya, sejauh mana kita telah menempuh jalan dan seberapa banyak kita telah menabung bekal. Ini bukan soal dimensi usia, dimana seseorang mengurutkan zaman produktifitasnya kedalam fase yang tidak jelas : kecil bermain, muda foya-foya,lalu tua bertobat dari dosa. Ini adalah murni soal semangat untuk berdedikasi secara baik dan maksimal.
Sebab pada akhir dan ujung kesudahannya, hidup memang perlombaan mengejar surga, yang pasti berlomba mutu dan beradu cepat adalah keniscayaan hidup orang-orang beriman. Begitulah yang semestinya kita jalani. Diatas reruntuhan peradaban yang pahit untuk di kenang, kita harus mengerti begitu banyak logika kehidupan.
Logika hidup adalah musafir yang hanya mampir untuk minum, atau logika hidup adalah sampan kecil yang mengarungi samudera, yang harus membawa bekal yang cukup, logika hidup adalah waktu, siapa yang membunuh waktu maka ia membunuh hidupnya. Hanya yang menggunakan waktunya dengan baik, tepat dan benar, yang membangun kehidupannya sendiri. Logika hidup adalah persaingan antara mimpi manusia yang panjang dan ajal yang memenggal. Begitu juga dengan logika, hidup yang beradu dengan godaan, kehendak yang lelet, tenaga yang lunglai, serta panggilan syetan yang memlambai sepanjang perjalanan.
Di atas semua logika itulah, hidup kita mungkin tak ubahnya seperti kereta tua. Itu tak boleh terjadi, sebab sepotong hidup hanya sekali datang, sesudah itu secepatnya pergi, bahkan alangkah cepatnya menghilang. Pagi datang dan segera saja di sapu siang, Sore memburu dan tiba-tiba di lipat malam. Hari-hari terasa membosankan, rutinitas berjalan dengan ritme yang beku. Hidup seperti itu? Duh , kemana kita menatap? Ke masa  depan yang gelap, atau ke masa lalu yang menjadi hantu. Atau kesejahteraan hidup yang tak juga terengkuh, beban semakin berat gairah semakin menipis.
Gerak dan pilihan untuk terus maju, adalah prinsip besar yang harus kita pilih. Hidup ini selalu di ambang dua tuntutan. Pertama tuntutan untuk terus berkompetisi secara waktu. “ Dan bersegeralah kamu kepada surga Allah, yang luasnya seluas langit dan bumi…..”Ya, ke surga pun kita mesti bersegera. Ini adalah dimensi waktu yang mengajarkan kita soal persaingan mempercepat perolehan bekal ke surga dengan sebaik mungkin memanfaatkan kesempatan. Ini benar-benar soal kompetisi menggunakan waktu, bahkan pada dasarnya itu kompetisi dengan usia kita sendiri, tidak ada yang bisa berharap pada orang lain, kecuali sebatas permintaan tolong yang wajar, basa basi, atau bahkan kalau lebih pun selalu ada pamrih, tersembunyi maupun terang-terangan.
Yang Kedua, adalah soal dimensi kualitas, mutu, bobot, dan apa yang harus kita lakukan dengan sebaik mungkin. “ Dan berlombalah kamu dalam kabajikan….”. Perlombaan selalu ada yang menang dan ada yang kalah, karena dimensi mutu, memberi penegasan bahwa menjadi cepat saja tidak cukup, tapi bagaimana kita bisa menjalani hidup sebagai orang-orang  yang  punya mutu, prestasi, karya, dedikasi, dan kualitas pribadi dalam beragam pilihan yang kita tekuni.

Tetapi kenyataannya, ada banyak hal yang tidak berhasil kita gapai, lantaran tidak maksimalnya kita dalam mencari dan mengejar, ini bukan soal keinginan untuk nrimo dan pasrah, ini tidak ada kaitannya, ini murni soal bagaimana dengan daya kita punya, kita bisa memberi  sebanyak mungkin kebajikan, menanam sebaik mungkin arti. Kecuali bila memang kita tak punya mau, atau hanya kepasrahan semata yang kita buru : barangsiapa yang lambat amalnya, tidak akan di percepat oleh nasabnya” begitu Rasulullah berpesan. Hidup benar-benar pertarungan semangat untuk bergegas dan kehendak untuk bersegera.
Sudah seberapa maksimal kita mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita. Adakah kita seperti kereta tua yang tak mampu melaju, tidak juga memberi rasa nyaman, ia hanya menarik dilihat sebagai saksi sejarah, bahwa dirinya pernah hadir, mengisi sepotong masa di muka bumi. Hidup seperti kereta tua, hanya memberi ruang pada sisi dokumen sejarah semata, seperti prasasti bisu. Kita pernah ada, hanya itu tidak lebih. Menjadi ada memang karunia, sebab kita tidak bisa mengadakan diri kita sendiri, tapi menjadi ada tidak cukup, kita ada karena kita di perintahkan untuk punya makna, Menyembah-Nya, memakmurkan bumi-Nya, berbuat baik pada sesama, menahan diri dari gejolak jiwa yang menyimpang, begitu seterusnya. Tanpa itu kita benar-benar seonggok kereta tua, semakin bertambah hari semakin tua, kian keropos dan karatan, di dera kelemahan diri yang tak kuasa di hindari, tidak harus aus oleh terpaan angin atau guyuran hujan, kereta tua itu mati oleh dirinya sendiri.
Di suatu hari jum’at, seorang anak muda telah belajar untuk seluruh hidupnya, tentang arti perlombaan. Tapi hari ini banyak yang butuh berhari-hari untuk mulai mengerti. Setiap manusia berlomba untuk nasib dan kepastian diri sendiri di akhirat kelak, bergegas, bersegera, sebab yang menang adalah yang lolos dari neraka dan masuk surga, yang lambat, seperti kereta tua tanpa kehendak, tanpa arah dan tanpa tenaga, akan menyesal suatu hari kelak. Kereta tua adalah hidup yang tak pernah sampai, mimpi bahagia yang terlalu sederhana, atau perjalanan cita-cita yang sangat lamban dan tidak menghantarkan.

Di sadur dari :
Ahmad Zairofi AM
Lelaki Pendek Hitam Lebih Jelek dari Untanya
Jakarta : Tarbawi Press, 2006

Dengan perubahan seperlunya

Mengetuk Pintu Paksa..

0
Diposting oleh cahAngon on 01 November 2010 , in
Saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku kuletakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?
-Imam An Nawawi-

”Aku merasa bagai hewan sembelihan”, tulis seorang pemuda yang kelak menyejarah, ”Yang digiring ke padang penjagalan.” Itulah yang dirasakannya ketika Sultan Nuruddin Mahmud Zanki memerintahkannya menyertai sang paman mempertahankan Mesir dari serbuan Amalric, Raja Yerusalem di tahun 1164. ”Seakan jantungku ditoreh belati”, ia melanjutkan penuturannya sebagaimana direkam oleh sejarawan Ibnu Syaddad dalam karyanya Al Mahasin Al Yusufiyyah. ”Dan ketika itu aku menjawab: Demi Allah, bahkan seandainya aku diberi seluruh kerajaan Mesir, aku takkan berangkat!”
Pemuda ini begitu membenci pertempuran, ngeri membayangkan darah, bergidik melihat luka, dan tak tega mendengar jerit kesakitan. Ia tenggelam dalam keasyikan akan hobi-hobinya. Ia suka bermain bola. Ia gemar bertamasya dengan kuda anggunnya. Ia fasih bersyair. Ia ganteng dan flamboyan. Ia melankolik. Ia sensitif. Ia gampang menitikkan air mata oleh hal-hal sepele. Ia sakit-sakitan. Semua kondisi dan perjalanan masa mudanya membuat banyak sejarawan enggan menuliskan pertiga awal hidup pemuda ini. Menurut para sejarawan itu, kisah masa mudanya akan membuat keseluruhan sejarah hidupnya ternoda.
Pendapat para sejarawan ini dibantah Dr. Majid ’Irsan Al Kilani dalam disertasinya, Hakadza Zhahara Jiilu Shalahiddin. Menurutnya, mengisahkan masa mudanya akan menampakkan betapa Islam memang bisa mengubah sesosok pribadi lembek menjadi pribadi pejuang. Bahwa celupan Ilahiyah memang mampu menyusun ulang komposisi jiwa seseorang. Seorang pengecut bisa menjadi pemberani. Seorang pecundang di masa lalu, tak kehilangan peluang menjadi pahlawan di masa depan.
Inilah jalan cinta para pejuang. Sungguh hidayah Allah itu diberikanNya pada siapapun yang dikehendakiNya. Maka di jalan cinta para pejuang, kita tak boleh memandang tinggi diri dan merendahkan orang lain, apalagi menyangkut masa lalu.
Kembali pada pemuda yang menarik hati ini. Sejak tahun 1164 itu memang hidupnya berubah. Dulu ia membayangkan semua hal dalam pertempuran sebagai kengerian belaka. Tetapi begitu Sultan Nuruddin dan sang paman, Asaduddin Syirkuh, memaksanya terjun ke kancah jihad, ia terperangah. Meski kengerian itu tetap, ia menemukan banyak keindahan. Persaudaraan. Pengorbanan. Rasa dekat dengan maut. Kekhusyu’an. Kenikmatan ibadah. Keberanian. Kepahlawanan. Dulu ia membayangkan. Kini ia ’dipaksa’ merasakan. Akhirnya, ia menemukan gairah yang begitu menggelora untuk membebaskan kiblat pertama ummat Islam, Al Quds, dari penjajahan Salib. Hidupnya tak pernah sama lagi.
Setiap debu yang menempel di jubahnya dalam jihad dari tahun 1164 hingga wafatnya, 1193, ditapisnya dan dihimpun. Ia berwasiat agar debu-debu itu dijadikan bulatan-bulatan tanah pengganjal jasadnya di liang kubur. Ia berharap debu-debu itu menjadi saksi baginya nanti di hadapan Allah. Semoga Allah memuliakannya. Pemuda itu bernama Yusuf. Tapi kelak kita memanggilnya Shalahuddin Al Ayyubi.
♥♥♥

Paksaan. Adakah ia menjadi salah satu tabiat dari jalan cinta para pejuang? Tentu saja bukan. Kecuali dalam tanda kutip. Di dalam tanda kutip itulah paksaan menjadi sebuah kepahlawanan. Ia serupa sebuah pertempuran melawan ego dan nafsu diri. Awal-awal, bisa jadi seseorang dipaksa lingkungan. Lalu ia memaksa diri. Awal-awal jiwanya payah, jasadnya lelah. Lalu terbiasa. Lalu terasa nikmat. Lalu ia mengaca, menghayati kembali makna keikhlasan. Begitulah jalan cinta para pejuang, kepayahan dan keindahannya tak berujung.
Tetapi bukankah memang dalam kehidupan ini banyak yang harus kita jalani melalui lorong keharusan? Ada ibadah wajib. Ada keharusan dalam tiap peran kita sebagai pribadi, sebagai suami, sebagai ayah, sebagai warga. Semua kewajiban itu kita jalani agar kita selamat sampai ke surga Allah. Dan di jalan cinta para pejuang, perlu dipasang pintu tambahan agar kita lebih cepat sampai ke tujuan itu. Itulah pintu pemaksaan.
Pintu pemaksa Shalahuddin mewujud di bumi sebagai Sultan Nuruddin dan Asaduddin Syirkuh. Apa jadinya jika pintu pemaksa itu turun langsung dari langit? Muhammad, insan terpilih itu merasakan kengeriannya. Bukan karena keengganan. Tapi siapa yang mampu menepis rasa lemah dan tak mampu ketika ditimbuni tugas untuk mengubah wajah bumi yang coreng-moreng? Di Gua Hira, ia Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dipaksa membaca. “Aku tak bisa membaca”, katanya memohon belas.
Tetapi Jibril terus memaksanya, mendesaknya. ”Bacalah!” Jibril mendekapnya hingga ia nyaris kehilangan nafas. Saat dadanya telah sesak, nafasnya teperkosa, dan rasa takut membuat jantungnya seakan naik ke tenggorokan, Jibril lalu melepasnya.
”Bacalah!”
Terengah, dengan merinding, keringat menderas, dan wajah pias pasi ia menjawab lagi, ”Aku tidak bisa membaca.”
Lalu Jibril membimbingnya.”Bacalah dengan asma Rabbmu yang telah mencipta. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu Yang Paling Pemurah. Yang mengajar dengan pena. Ia ajarkan pada manusia apa-apa yang belum diketahuinya.”
Muhammad Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam mencoba mengeja. Dengan getar mengharu biru, dengan perasaan tercekam, dengan keringat yang terasa bagai lelehan salju di kulitnya yang memucat. Ia menirukan bacaan itu. Jibril telah memaksanya. Dan bermula dari paksaan itulah dia memenuhi takdir kesejarahannya untuk mengubah dunia. Pulang dari Gua Hira’ raganya bagai melayang tapi terantuk-antuk saat berjalan. Terasa ringan, seolah melarikan diri dari kejaran. Tapi sekaligus serasa tak ke mana-mana; bumi dan isinya telah dipikulkan ke pundaknya. Maka ia hanya menjejak-jejak, tersaruk-saruk meniti beban yang ditanggung punggung.
Pucatnya belum hilang. Keringatnya bertambah banjir. ”Zammilunii! Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah tanpa banyak tanya mengembangkan kemul, mendekapkannya ke tubuh mengigil itu. Ditatapnya lelaki baik hati yang telah 15 tahun mengisi hidupnya itu. Dengan tatapan percaya. Dengan bening yang menghadirkan tenang. Dengan senyum yang menguatkan.
Beberapa hari setelahnya, demikian Imam Al Bukhari meriwayatkan, Sang Nabi sedang berjalan. Tiba-tiba sosok yang menemuinya di Gua Hira’ itu tampak, sedang duduk di atas sebuah singgasana yang menyemanyam di antara langit dan bumi.”Aku mendekatinya”, kata Sang Nabi, ”Lalu tiba-tiba aku terjerembab menyerusuk ke tanah. Aku ketakutan lagi. Aku mencoba bangkit dan berlari. Hingga terdengar seruan berulang-ulang, ”Ya Muhammad, aku Jibril.. Dan engkau Rasulullah!”
Sang Nabi kembali pulang dengan gigil yang makin mengkhawatirkan Khadijah. Diselimutinya penuh kasih. Disapunya dahi yang digenangi keringat dengan jemari lembut, dikecupnya dengan senyum yang tulus dan memejam mata. Dihiburnya penuh cinta. ”Sungguh engkau adalah seorang yang selalu menyambung silaturrahim, tempat bergantung anak-anak yatim, dan penyantun orang-orang miskin. Demi Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan engkau.”
Saat itulah, paksaan kembali hadir. Ia yang menjingkrung hangat di dalam selimut disentak wahyu. Ia menggigil lagi, bersimbah dingin yang merembes dari pori-pori. Wahyu itu, Surat Al Mudatstsir, menyengatnya dengan kalimat-kalimat perintah. Bergemerincing memekakkan. Pendek-pendek. Tegas. Jelas. ”Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berikan peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu sucikanlah! Dan dosa-dosa tinggalkanlah! Dan janganlah kau memberi dengan maksud mendapat yang lebih banyak!”
Maka senarai pemaksaan itu semakin panjang dengan penegasan di rangkaian ayat yang juga membangunkannya dari kehangatan selimut lembut, Surat Al Muzammil. ”Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”, begitu firmanNya di ayat kelima. Maka dimulailah sebuah proses panjang yang melelahkan pada diri Sang Nabi untuk mengubah dunia. Kata ’paksa’ tentu bermakna bahwa beliau, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam menjalani segala itu bukan dengan leha beruncang kaki, tapi dengan berlelah-lelah. Payah. Bangun untuk shalat di malam hari. Berjalan kian kemari di siang hari, menyeru kerabatnya, menyeru kaumnya.
Dalam lelah itu, bertambah-tambah beban yang harus ditanggungnya. Bertimpuk-timpuk umpatan, ejekan, dan disebut gila. Iming-iming, intimidasi, dan fitnah. Guyuran isi lambung unta saat sujudnya. Duri-duri yang ditebar sepanjang pias. Pernah juga ia berdarah-darah dikejar orang, dilempar batu, disrimpung kayu, direcok senjata. Tapi ada lagi yang lebih menyesakkannya. Saat ia menyaksikan sahabat-sahabat yang dalam imannya harus disiksa, dipanggang dengan salib di pasir menyala, dan dibunuh.
Dari Shalahuddin, dari Sang Nabi, kita belajar tentang salah satu jalan untuk meretas keberhasilan. Jalan pemaksaan diri dalam maknanya yang positif. Sunnah kehidupan menegaskan adanya pintu keharusan dan pemaksaan. Bagi mereka yang secara sadar memilihnya, ada lompatan yang mengantar mereka pada mutu diri yang lebih tinggi. Berbuka terasa nikmat karena kita berpuasa. Yang manis terasa lebih menggigit karena kepahitan telah kita telan. ”Mawar merekah indah”, kata Jalaluddin Ar Rumi, ”Karena awan-awan merelakan diri jatuh ke bumi.”
Maka begitulah, jalan cinta para pejuang memiliki tabiat berlelah-lelah. Ada yang membuat kita harus memaksa diri. Goda kantuk di saat kewajiban bertumpuk. Ranjang yang hangat, isteri yang cantik, selimut yang lembut, dan dingin yang bersiraja di luar sana. Bagaimanapun, ini adalah pilihan bagi mereka yang memiliki keberanian. Ada istilah eustress. Eustress, kata Stephen R. Covey dalam The 8th Habit, adalah sesuatu yang mendesak kita, yang berasal dari keinginan untuk hidup bermakna.
Banyak orang menyamakan disiplin dan memaksa diri dengan tiadanya kebebasan. Kata mereka, ”Keharusan membunuh spontanitas. Tak ada kebebasan dalam keharusan. Saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Itulah kebebasan, bukan tugas.” Pada kenyatannya sebaliknyalah yang benar. Hanya orang-orang yang berdisiplinlah yang benar-benar bebas. Orang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana hatinya, budak kesenangan, dan nafsu-nafsunya.
Allah mengaruniai kita dua daya; untuk berbuat durhaka dan berbuat taqwa. Untuk menjadi jahat, dan untuk menjadi baik. Seringkali, daya yang kita butuhkan untuk meniti kebaikan sama besarnya dengan daya yang kita hajatkan untuk mengelak dari keburukan. Bahkan mungkin lebih berat, jika kita pertimbangkan goda dari luar diri kita. Ada isteri, anak, dan harta yang tidak berkah hingga menjadi fitnah, -Na’udzu billaahi min dzalik-. Ada syaithan dari jin dan manusia. Mereka berseliput di seputar kita, tak rela kita menjadi baik, tak ingin kita mukti dan mulia. Maka melawan mereka –dengan bijak hati dan keikhlasan tertinggi- adalah pintu pemaksa lain yang harus kita ketuk.
Di jalan cinta para pejuang, kita ucapkan ”Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.. Tiada daya untuk taat, dan tiada kekuatan untuk menjauhi maksiat kecuali dengan pertolongan Allah.” Dan sesudah mengucapkannya, kita harus memaksa diri melangkahkan kaki di jalan cinta para pejuang. Walau terantuk, walau tersaruk, walau terhuyung. Walau kadang limbung digalut bingung..

kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar
hanya dirimu yang mengerdil
tenanglah, semata karena Allah bersamamu
maka tugasmu hanya berikhtiyar
dan di sana pahala surga menantimu

 salim-a-fillah