Salah Kaprah Terapi Herbal (bagian kedua)

0
Diposting oleh cahAngon on 01 Desember 2011 , in , ,
Seperti janji simbah sebelumnya, sekarang kita mbahas lagi beberapa hal yang terkait dengan herbal. Simbah lanjutkan hal-hal yang kurang benar di dalam terapi herbal.

3. Kesalahan dalam penggolongan bahan herbal.

Di dalam sebuah iklan produk herbal di satu majalah Islam yang terbit secara Nasional (simbah tak etis kalau menyebut merk dan nama majalahnya), disebutkan dengan nada agak gegap gempita :

MENGHADIRKAN HERBAL TERBAIK KELAS DUNIA !!!

Setelah menyebutkan kata “Herbal Terbaik Kelas Dunia” ini disebutkanlah bahan yang dimaksud, yakni : Gamat…..!?!?
Sang pembuat iklan bukannya tak tahu Gamat itu apa. Disitu disebutkan Gamat adalah: Binatang invertebrata pemakan makan organik yang hidup di dasar laut.
Tak beda jauh dengan satu iklan di satu website, bahkan di sebagian website terkenal (kalau pingin tahu, tanya mbah google dengan keyword Gamat Bahan Herbal), disebutkan bahwa Gamat nama lainnya adalah Teripang atau Mentimun laut, dan dimasukkan ke dalam golongan herbal.

Simbah bukan ahli zoologi atau palaentologi. Tapi karena disebutkan disitu dengan jelas bahwa gamat adalah binatang invertebrata, seharusnya bahan ini bukan dimasukkan ke dalam bahan herbal. Mungkin karena nama lainnya Mentimun laut, maka ada yang memasukkannya ke dalam bahan herbal. Padahal kata herbal sendiri maknanya tumbuhan, bukannya binatang.

Kerancuan bahan herbal ini juga dialami oleh Susu Kambing, yang bahkan produsennya merupakan satu perusahaan yang memakai kata herbal. Demikian juga dengan propolis, yang merupakan produk lebah. Sedangkan madu, memang ahli herbal memasukkan ke dalam bahan herbal dengan alasan yang kuat. Yakni madu terbentuk di sarang lebah, bukan di tubuh lebah. Lebah hanya berperan membawa dan menaruh di sarangnya, lalu menambahinya dengan enzim yang lantas membuat bahan nektar berubah menjadi madu.

Nuwun sewu kalo simbah rada-rada menggunakan bahasa agak serius. Lha kalo pakek bahasa mbambung ntar dikira guyonan. Jadi khusus episode ini simbah menuliskan naskahnya sambil mengelus kening. Walaupun sebetulnya letak otak bukan pas di kening. Lha daripada mengelus dengkul, simbah masih lebih dari sekedar mending. Jadi sampeyan jangan membaca sambil mengelus pantat… wah itu lebih parah.

Poin ini simbah sampaikan agar produsen bahan herbal berhati-hati dalam menyebutkan golongan produknya. Karena sebagiannya diawali dengan menyebut hadits shahih. Bahkan pakai tulisan arabnya. Kebetulan konsumennya juga gak paham apa itu herbal, jadi ya laris-laris saja produk itu.

4. Jika sudah memakai herbal, tak perlu obat kimia.

Pernyataan ini harus dilihat per kasus. Jika memang herbalnya memang berfungsi terapi dan itulah herbal of choice untuk kasus penyakitnya, ya silakan saja.

Namun jika fungsi herbal disitu adalah sebagai suplemen atau terapi pendukung, maka penggunaan obat sintetis kimia masih merupakan drug of choice yang harus tetap dipakai. Sehingga terapi herbal dan medis kimia seyogyanya ditempatkan sebagai komplemen yang saling melengkapi, dan bukannya substistusi dimana yang satu “harus” menggantikan yang lain. 5. Testimoni yang tidak cerdas.

Hampir semua penggunaan herbal mengandalkan ujung tombak testimoni sebagai pendukung utama promosinya. Namun seyogyanya sebuah testimoni yang mengungkapkan keberhasilan terapi herbal haruslah dengan bahasa yang cerdas. Syarat testimoni yang cerdas di antaranya sebagai berikut :

1. Diagnosa penyakit yang disebutkan haruslah tegak dengan penegakkan diagnosa yang benar dan obyektif. Misalnya : didukung dengan pemeriksaan yang menyebutkan angka-angka yang terukur dari pemeriksaan laboratorium, atau jika itu diagnosa kelainan organ dalam haruslah didukung alat pemeriksaan dalam. Semisal : ronsen, endoskopi atau USG dsb.

Di poin ini, seringkali testimoni satu penyakit hanya berdasar pengakuan tanpa data lab. Misal mengaku sakit liver. Trus minum herbal lalu mengaku sembuh. Lha tahu kalo livernya sakit darimana? Trus livernya sakit bagian apanya juga gak jelas. Padahal penyakit yang bisa menyerang liver jumlahnya rong ikrak tumplak. Ini testimoni membodohi, dan bukan hal yang cerdas. Jika mau cerdas, pengakuan sakit livernya haruslah disertakan data obyektif, misal USG, lalu data kimia darah, misal SGOT, SGPT, Bilirubin baik direct maupun indirect…dlsb. Jadi pengakuan sakit livernya obyektif, dan bukan pengakuan subyektif semata. Apalagi ternyata sakit livernya itu merupakan hasil diagnosa (semi tebakan) dari mbah Dukun Sembur… halah…Maka demikian halnya jika testimoni mengaku sakit ginjal, jantung, paru-paru dan penyakit dalam lainnya, harus disertai data obyektif.

2. Pengakuan diagnosa berdasar perkataan, “Menurut dokter, sakit saya adalah…” tidaklah mencukupi. Mengapa tidak mencukupi? Karena dalam mendiagnosa satu penyakit, pernyataan dokter akan satu diagnosa diawali dengan satu diagnosa yang derajatnya masih merupakan “kemungkinan”. Kemungkinan itulah yang nantinya dibuktikan dengan pemeriksaan pendukung dari lab maupun alat bukti pendukung lainnya. dan bahasa yang dipakai dokter pun jelas.

Jadi bahasa testimoni yang seringkali menggunakan kata, “Dokter sudah memvonis ini dan itu…” haruslah diperjelas alasan vonisnya. Karena untuk kepentingan bagusnya testimoni, seringkali diagnosa yang masih taraf “kemungkinan” sudah dianggap vonis oleh pasien.

Sebelum kening sampeyan panas karena kelamaan dielus-elus, simbah sudahi dulu poin testimoni ini. Insya Allah akan simbah sambung ke bagian ketiga tulisan ini mengenai bagaimana satu testimoni dianggap cerdas.

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar