Taaruf Ketujuh....

0
Diposting oleh cahAngon on 08 Desember 2011 , in ,
Ustad kenalan saya ini, Sayyid, termasuk sedikit di antara dai yang mau berbicara buka-bukaan soal jumlah taaruf (perkenalan) dirinya sebelum mendapatkan seorang istri.

Dengan enteng, lugas dan dibumbui canda, dia sebutkan angka belasan. Semuanya tak berhasil. Tak ada Muslimah yang berkenan menjadi pendamping hidupnya. Seingat saya, lebih banyak dirinya yang ditolak oleh para akhwat itu.

Sampailah pada taaruf kesekian belas, Sayyid berhasil mendapatkan istri. Dengan diuji soal harta menjelang pernikahan akhirnya dia—atas izin Allah—mendapatkan perempuan luar Jawa, yang belakangan pernah mengikuti forum kepenulisan saya di sebuah kampus.

Setiap berbicara pernikahan di ceramah-ceramahnya, Sayyid tak lupa menyinggung pengalaman pribadinya soal kegagalan di atas. Tak ada yang ditutupi-tutupi kecuali nama para akhwat yang pernah menolaknya, tentunya. Sayyid sepertinya ingin memberikan teladan soal kerja keras mendapatkan jodoh. Tidak cengeng hanya ditolak sekali atau maksimal tiga kali. Menceritakan dengan enteng dan penuh humor menjadi jalan Sayyid mengkatarsis pengalaman pahit. Meski kini digarasikan ceria, saya tidak yakin setiap menghadapi jawaban penolakan itu Sayyid selalu berlapang dada. Pasti ada rasa sedih, kecewa dan kenangan untuk ditinggalkan setelah penolakan itu. Tetapi di sinilah letak keistimewaan Sayyid. Dia tidak menjadikan sesaknya dada setelah ditolak sebagai sebuah bab bernama roman kepiluan. Garis takdirnya selaku pendakwah mengharuskan dia tetap tegar, serapuh apa pun isi hatinya saat tertolak cintanya. Dan Sayyid melalui itu dengan manis. Jauh lebih manis dari kisah pedih Sayyid yang lain di jazirah Mesir yang dirujuknya: Sayyid Quthb.

Sayyid adalah contoh baik fenomena taaruf ketujuh. Ketujuh di sini tidak merujuk taaruf sejumlah tujuh kali. Bukan itu maksudnya. Taaruf tujuh, dalam konteks ini, meminjam ilmu balaghah bahwa kata “tujuh” dalam bahasa Arab sering kali dipakai untuk menunjukkan arti banyak. Banyak yang tak terhitung.

Dalam Al-Qur`an kata “tujuh”, misalnya, dipakai dalam penciptaan langit (lihat surat al-Mulk [67]: 3; ath-Thalaaq [65]: 12); ilmu Allah (Luqman [31]: 27). Sepengetahuan saya, para mufasir tidak mengartikan tujuh di sini dalam arti denotatif, namun menunjukkan arti banyak, sebanyak-banyaknya.

Nah, jelaslah bukan bahwa taaruf ketujuh bukan berarti taaruf ketujuh kalinya, melainkan taaruf sebanyak-banyaknya tetapi dengan niatan ikhlas. Tak tebersit untuk mempermainkan perempuan atau sekadar gengsi-gengsian. Demi gengsi dalam taaruf, adakah? Ada, menjadi kebanggaan ketika berbincang-bincang lantas ketika dirinya berkata, “Kalau saya sudah taaruf dengan ikhwan sebanyak lima belas dan semuanya saya tolak! Tak ada yang sekufu.” Atau kalimat lain, “Situ baru taaruf dua kali gagal. Saya nih sudah taaruf dua puluh lima kali dengan akhwat, dan semuanya saya tinggalkan lantaran tak ada yang selevel!”

Taaruf ketujuh adalah seperti Sayyid berikhtiar serius, bukan untuk bangga-banggaan. Kalaupun dia menolak, ada landasannya; tidak asal putus. Pun kalau dia mengobati hatinya saat gagal mendapatkan jodoh gara-gara jawaban si akhwat di luar perkiraan optimisnya, pasti dia tengah mengamalkan ilmu ikhlasnya.

Taaruf ketujuh merupakan sebuah pencarian tanpa henti tidak dalam kerangka takabur dan ujub. Merasa diri berada di level aktivis nomor wahid, jam terbang tak terhitung, anak kesayangan ustad senior, akses ke jamaah dakwah luas. Semua ini hanya modal, tetapi tidak untuk dikedepankan sebagai alat menekan calon pendamping. Semua yang dilakukan pelaku taaruf ketujuh ya wajar-wajar saja. Menjadi dirinya sendiri dengan pelbagai kekurangan tanpa harus diselubungi dengan modal-modal tadi.

Seperti Allah yang bekerja menciptakan langit dalam enam masa (lihat: as-Sajadah [32]: 4), begitu pun kita dalam berikhtiar menjemput jodoh. Bagi saya, Sayyid merupakan kisah heroisme tersendiri. Lebih berkesan ketimbang kisah seorang ikhwan langsung mendapatkan pendamping dalam sekali usahanya. Tak ada keringat dan perihnya kaki berjalan saat tertolak. Rekomendasi ustad senior menjadi penentu pengabulan si akhwat—rasa-rasanya taaruf sukses ini sejatinya bukan kisah teladan mengenai bab kegigihan dan keluar dari rasa putus asa.

Maka, ditolak lantaran pendapatan masih serabutan; diusir calon mertua lantaran gelar hanya lulusan SMP; ditekan baik-baik mundur oleh guru mengaji si akhwat lantaran jenjang kadernya masih pemula; disurati si akhwat agar menjadi ustad dulu baru melamarnya; semua ini bagian dari episode merangkai rumah tangga sesungguhnya. Tidak seru dan tidak ada hujan pahala bila kita tembak langsung sukses. Sama halnya dengan tidak ada barakahnya mereka yang sekadar terobsesi bertaaruf lantaran demi gengsi berbangga-bangga dalam menolaki calon pendamping.

Taaruf, sungguh, sebuah kerja-kerja cinta yang menarik. Ada harap, ada sedih, ada haru, dan ada pinta. Mentaarufi ketujuh sebuah ikhtiar dengan sepenuh hati, insya Allah, membuahkan hasil yang tidak serampangan. Karena taaruf ketujuh bukan sebuah permainan sia-sia. Ia justru aktivitas serius dalam menggapai ridha-Nya. Jadi, ditolak berkali-kali hingga lima puluh kali, tetap semangat. Bahkan seorang Abu Bakar dan Umar pun pernah mengalami penolakan jawaban dari Muslimah yang hendak dipinangnya.

Ngomong-ngomong, mengapa saya harus merasa perlu bicara soal taaruf ketujuh? Ada maksud tersirat berbagi pengalaman pribadi jugakah? Terserah bagaimana Anda menebaknya, sobat![]

yusufmaulana

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar