• img

    KAMUFLASE...

    Akan aku ajak engkau menemui bunglon .. agar engkau menyaksikan sendiri tipu dayanya! Bunglon merubah warna dirinya sesuai dengan tempat ia berada .. agar engkau mengetahui bahwa yang seperti bunglon itu banyak .. dan berulang-ulang! Dan bahwasanya ada orang-orang munafik .. banyak pula manusia yang berganti-ganti pakaian .. dan berlindung dibalik alasan “ingin berbuat baik”...
  • img

    Jujur...

    Jika engkau hendak mengungkap kejujuran orang, ajaklah ia pergi bersama .. dalam bepergian itu jati diri manusia terungkap .. penampilan lahiriahnya akan luntur dan jatidirinya akan tersingkap! Dan “bepergian itu disebut safar karena berfungsi mengungkap yang tertutup, mengungkap akhlaq dan tabiat”...
  • img

    Pemimpin

    Seringkali terbukti bahwa tugas utama seorang pemimpin hanyalah bagaimana memilih orang yang tepat. Begitu berhasil memilih orang yang tepat seringkali tugas seorang pemimpin sudah selesai. Setidaknya sudah 80 persen selesai. Tapi begitu seorang pemimpin salah memilih orang, sang pemimpin tidak terbantu sama sekali, bahkan justru terbebani...
  • img

    Karena Ukuran Kita Tak Sama

    seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi...
  • img

    Kemenangan..

    Kemenangan sejati yang paling mendasar dan substansial adalah jika kebenaran tetap bersemayam di hati kita. Tidak terkontaminasi oleh racun-racun kehidupan, tidak tergoda oleh iming-iming apapun bentuknya, yang membuat hati kita diisi oleh nilai-nilai lain selain nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT, ...

Syafakallah yaa Akhi...

0
Diposting oleh cahAngon on 27 April 2011 , in
Syafakallah yaa Akhi...

Allahumma rabban naasi adzhibil ba'sa asyfi antasy syaafii laa syifaa'a illaa syifaa'uka syifaa'an laa yughaadiru saqaman. Imsahil ba'sa rabban naasi biyadikasy syifaa'u, laa aasyifa lahu illaa anta, as'alullaahal 'azhiima, rabbal ' arsyil 'azhiimi an-yasfiyaka.
Ikrar Aulia Ka.DPC PKS Jatinegara, Akh Irawan Sekum DPRa CeBeOe




Akh Irawan Irawan {patah tulang lengan kiri antara sikut dan bahu, korban tabrak lari tergilas mobil tgl 18-4-2011, pkl 20.00, di jl. Salemba Raya Jakarta Pusat depan Plaza Kenari }

 Ya Allah Tuhan segala manusia, jauhkanlah kesukaran/penyakit itu dan sembuhkanlah ia, Engkaulah yang menyembuhkan,tak ada obat selain obat-Mu, obat yang tidak meninggalkan sakit lagi. Hilangkan lah penyakit
itu, wahai Tuhan pengurus manusia. Hanya padamulah obat itu. Tak ada yang dapat menghilangkan penyakit selain Engkau, aku mohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhannya 'arasy yang agung, semoga Dia menyembuhkan anda. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibu Kita Kartini & Islam: Minadzdzulumati ilan-Nuur

0
Diposting oleh cahAngon , in
Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Sejak itu Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Waktu SMP dulu saya pernah membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat-surat Kartini (sekarang buku itu entah dimana L). Meski dulu saya belum begitu faham benar dengan isi buku itu, ada beberapa isi surat yang waktu itu agak ‘mengganggu’ pikiran saya ketika Kartini bersinggungan dengan Islam.

Saya baru-baru ini mendapati beberapa posting yang membahas surat-surat itu serta transformasi spiritual Kartini, saya coba sarikan.

Persinggungan awal Kartini dengan Islam dapat dibaca dari surat-surat berikut:

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]

Untuk ukuran seorang perempuan dan ukuran zaman itu (bahkan ukuran zaman sekarang sekalipun) pendapat Kartini ini benar-benar sangat kritis dan sangat berani.

Suatu ketika, takdir membawa Kartini pada suatu pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga adalah pamannya. Pengajian dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar(atau dikenal Kyai Sholeh Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan (ini dapat dipahami mengingat selama ini Kartini hanya membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya). Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut ini dialog-nya (ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat).

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah pertemuan itu nampaknya Kyai Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan terjemah Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini , Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.

Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah (how amazing…).

Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. (Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”).

Nampaknya masa-masa ini terjadi transformasi spiritual bagi Kartini. Pandangan Kartini tentang Barat-pun mulai berubah, setelah sekian lama sebelumnya dia terkagum dengan budaya Eropa yang menurutnya lebih maju dan serangkaian pertanyaan-pertanyaan besarnya terhadap tradisi dan agamanya sendiri.

Ini tercermin dalam salah satu suratnya:

“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)

Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda :

“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

Bahkan Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].

Di surat-surat lain :

“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902)

“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)

“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)

“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)

*)sumber: http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=230&catid=49:artikel

KulTwit @AdimasBayu: Sabar itu........

0
Diposting oleh cahAngon on 15 April 2011 , in
Kultwit #sabar & kaitannya dgn 'amal jama'i da'wah:

1. 'Umar ibn Khatthab b'kata, "Tdk ada jama'ah tanpa ketaatan." P'tanyaannya, "Seberapa kuat kita istiqomah b'jamaah tanpa ke-#sabar-an?"

2. #Sabar t'bentuk dari susunan huruf2 "sho-ba-ro" yg m'bentuk kata "shobron." Scr bahasa, b'arti "menahan" / "m'cegah."

3. Scr istilah, #sabar memiliki 3 makna yg integral, yaitu;

4. #sabar itu: a.Menahan diri dari gundah & rasa emosional yg b'lebihan,

5. #sabar itu: b.Menahan lisan dari keluh kesah & kata2 serapah yg buruk,

6. #sabar itu: c.Menahan diri dari p'buatan kufur & tdk ter-arah.

7. #sabar bukan kepasrahan, bukan kekalahan, & bukan ketidakmampuan.

8. Nabi memerintahkan umatnya utk ber-#sabar saat b'jihad. Adakah ketidakberdayaan dlm jihad?

9. Sedang jihad itu melawan musuh2 Allah dgn dakwah, yg puncak eskalasinya adalah qital (perang fisik).

10. #sabar itu keteguhan b'sama Allah, menerima ujian dari-Nya dgn lapang dan tenang (Amru bin Usman)

11. #sabar itu refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Qur’an & sunnah (Imam Al-Khawas)

12. #sabar adalah output dari keikhlasan yg murni & akal yg jernih. Itulah mengapa dgn #sabar, manusia jadi kuat.

13. Ada 2 alasan kenapa #sabar penting dlm amal jama'i da'wah:
14. (a) Krn jama'ah dakwah itu ada di jalan Allah, sedang iblis & pasukannya selalu m'intai utk menyelewengkan pengikut-Nya.

15. (b) Krn jama'ah dakwah b'isi manusia & bukan malaikat. Manusia itu ber'ego & ber'syahwat. Dinamis & pasti bisa salah.

16. #sabar dalam amal jama'i da'wah juga dibutuhkan karena adanya tantangan & hadangan.

17. Tantangan muncul karena dinamika medan dakwah yg terus b'kembang.
(adanya tantangan menunjukan da'wah itu telah berkembang-ed)

18. Hadangan hadir karena musuh2 Allah tdk suka melihat dakwah islam eksis & b'kembang.

19. Kita lebih banyak memaknai #sabar sebagai sikap respon atas dinamika ekstern (dari luar kelompok)

20. Tapi kurang bijak memaknai #sabar sbg sikap respon atas dinamika intern (dari dalam kelompok)

21. Hingga akhirnya kekurangan, kesalahan & kekhilafan intern disikapi dgn m'babi buta.

22. Yg keluar adalah cercaan, sumpah serapah, dan fatalisme. Lupa bahwa komunitas ini dihuni oleh manusia.

23. Mukmin yg b'interaksi dgn masyarakat manusia & ber-#sabar dgn (keburukan) mereka, disebut Nabi lbh baik...
24. ...daripada mukmin yg tdk b'interaksi dgn masyarakat manusia & tdk ber-#sabar dgn (kburukan) mereka.

25. Du'at harus #sabar kepada manusia secara umum. Lalu mengapa tdk bisa #sabar kepada sesama saudara fillah?

26. Sesungguhnya tantangan & hadangan dakwah ini berat & panjang. Maukah kita #sabar?

27. Sesungguhnya amal jama'i da'wah ini dilakoni oleh manusia biasa dgn segala karakteristik dasarnya. Maukah kita #sabar?

28. Cukuplah Allah yg akan m'ganjar segala upaya kita utk #sabar berada di jalan-Nya.

29. Semoga Allah lembutkan & tunjuki hati2 kita agar mudah dlm ber-#sabar di jalan-Nya.

30. Sekian kultwit #sabar kali ini. Mohon maaf & semoga bermanfaat.


*)dikutip Admin dari : http://twitter.com/adimasbayu
sumber :pkspiyungan.blogspot.com

Gajah,Sistem & PKS

0
Diposting oleh cahAngon , in

Jika Anda menjadi bagian dari luar sistem serta tujuannya berbeda dengan sistem, mari bekerjasama dengan hal yang disepakati dan bertoleransi dengan hal yang berbeda.
Oleh: Ferdian*
(Mahasiswa Pasca Sarjana TMI ITB 2010 dan Penasehat LSM ICON Bandung)
...
Suatu ketika seorang buta datang ke kebun binatang. Dia mau tau binatang yang bernama gajah. Sampai di kebun binatang dia sampaikan keinginannya kepada petugas kalau dia mau tau tentang gajah.

Petugas tsb mengantarkan ke kandang gajah. Kebetulan gajahnya sedang istirahat, duduk-duduk. Didekatkannya orang buta tersebut dan disuruh pegang oleh petugas.

Saat itu dia memegang belalai gajah. Bentuknya panjang, bulat, kulitnya kasar. Simpulannya orang buta, Gajah adalah hewan yang bentuknya panjang, bulat dan kulitnya kasar.

Sampai dirumah, dia ceritakan kesemua anggota keluarganya, bahwa Gajah adalah hewan yang bentuknya panjang, bulat dan kulitnya kasar.
Dikasih tau oleh anggota keluarga yang lain bahwa itu bukan gajah tetapi belalai gajah...tetapi tetap ngotot karena dia merasakan sensasinya memegang langsung.

--
Kisah di atas selalu saya ungkapkan mengawali kuliah tentang sistem. Baik kuliah dasar sistem, pengembangan sistem ataupun sistem yang sudah spesifik (mis.ERP). Dalam buku System Thinking - Gharajedaghi 2006, ada istilah Holistic Thinking. Holistic Thinking merupakan cara pikir secara menyeluruh dengan mengindahkan bagian-bagian dari objek pemikiran secara integral.

Holistic Thinking sering kali digunakan untuk menganalisis suatu sistem. Sistem merupakan entitas yang terdiri dari paling sedikit dua elemen dan memiliki relasi yang menghubungkan antar elemennya (Ackoff: 2006) atau a regularly interacting or interdependent group of items forming a unified whole (Daellenbach & McNickle: 2005).


Dalam buku Fifth Discpline, Peter Senge lebih suka dengan istilah System Thinking. System Thinking menjelaskan bagaimana memahami cara kerja sistem secara keseluruhan, karena tanpa orientasi sistemik maka tidak ada motivasi untuk melihat bagaimana disiplin lainnya saling berhubungan.

Untuk mengenal suatu sistem, maka perlu untuk mengenal 5 prinsip atau karakter sistem:

1. Openness: Sistem hanya dapat dimengerti oleh lingkup/cakupan sistem tersebut saja.
2. Purposefulness: Sistem ada karena dan pasti punya tujuan yang ingin dicapai.
3. Multidimensionality: Memandang dan mendefinisikan sistem tidak bisa hanya dari satu aspek saja. Sistem bisa dilihat dari beragam aspek. Aspek bisa dikatakan sudut pandang.
4. Counterintuitiveness: Sistem dapat mengeluarkan output yang tidak diharapkan
5. Emergent properties: Karakter suatu sistem terbentuk dari kolaborasi bagian-bagian dalam sistem.

--
Kisah orang buta dan gajah merupakan kolaborasi holislistik thinking atau system thinking dengan pengertian fundamental sistem. Orang buta mengatakan bahwa gajah adalah panjang, bulat dan kasar karena cara pandang dia yang tidak holistik atau sistemik. Dia hanya memanfaatkan informasi yg dia miliki tanpa bertanya atau membandingkan dengan informasi lainnya (misal bertanya kepada petugas kebun binatang saat di kandang gajah, dll).

Akibatnya jelas sangat fatal.

--
Belakangan ini isu tentang PKS persis dikondisikan sebagaimana orang buta memandang gajah. Diperlihatkan dari sudut pandang sesuai kepentingan.

PKS dalam bulan ini saja sudah disudutkan dengan berita dari mantan kadernya (YS) dan yang terakhir mengenai pornografi.

Saya melihat ada 3 subjek pandang untuk 2 kasus ini:

1. Subjek bebas nilai
Ucapan subjeknya: "Ah masa iya PKS kayak gitu?"
Tindakan subjeknya: Mencari dan membandingkan berita dengan tag PKS dari sisi pro dan kontra.

2. Subjek pro PKS
Ucapan subjeknya: "Kita tunggu saja klarifikasi dari internal partai, tetaplah berhudznuzon" atau istilahnya tabayun.
Tindakan subjeknya: Mencari tau ke murobi, membuat tulisan bijak dan tetap berhudznuzon.

3. Subjek anti PKS
Ucapan subjeknya: "tuh kan, semua partai sama saja! Munafik".
Tindakan subjeknya: Mencari pembenaran.

Entah Anda menjadi subjek yang mana.

--
Berpikir holistik atau sistemik bukan hanya penting, tetapi bahkan menjadi cara pikir agar tidak "menjudge buku hanya dari cover-nya".

Proporsional-lah. Jika Anda menjadi bagian dari sistem tersebut, Anda punya kesempatan besar memelihara dan memperbaiki sistem agar menjadi lebih baik.

Jika Anda menjadi bagian dari luar sistem dan mempunyai tujuan yang sama dengan sistem, mari berlomba dalam kebaikan bukan malah tertawa bahkan menghina.

Namun jika Anda menjadi bagian dari luar sistem serta tujuannya berbeda dengan sistem, mari bekerjasama dengan hal yang disepakati dan bertoleransi dengan hal yang berbeda.

Mari bekerja untuk Indonesia!

Salam
sumber : pkspiyungan.blogspot.com

Salah Faham Tentang Istikharah

0
Diposting oleh cahAngon on 13 April 2011 , in
Hakekat istikharah adalah “penyerahan urusan dan pilihan terbaik kepada Allah SWT”, sesuai dengan namanya: “istikharah” yang artinya meminta dan menyerahkan yang terbaik, meskipun urusan itu bisa jadi tidak disukainya. Oleh : Musyafa Ahmad Rahim, Lc.
(Kaderisasi DPP PKS)

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ، يَقُولُ: " إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي - أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ - فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي - أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ - فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي " قَالَ: «وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ» (رواه البخاري [1162، 6382، 7390] وغيره).

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata: Rasulullah SAW mengajarkan istikharah kepada kami dalam segala urusan, semuanya, sebagaimana beliau mengajarkan sebuah surat dari Al-Qur’an, beliau bersabda: “Jika salah seorang diantara kamu mempunyai keinginan terhadap sesuatu, hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat yang bukan fardhu, kemudian membaca doa: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon yang terbaik kepada-Mu dengan wasilah ilmu-Mu dan memohon takdir kepada-Mu dengan wasilah qudrat-Mu, dan aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu yang agung, sebab Engkau memiliki qudrat (kemampuan) sedangkan aku tidak memilikinya, dan Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau adalah Dzat yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini – dipersilahkan menyebutkan urusan dan hajatnya- adalah yang terbaik untukku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku’ – atau ia berkata: ‘urusanku sekarang dan kemudian’ –‘ maka takdirkanlah untukku dan mudahkanlah untukku, kemudian, berikanlah keberkahan kepadaku dalam urusan itu, dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini – dipersilahkan menyebutkan urusan dan hajatnya – adalah buruk untukku dalam agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku’ – atau ia berkata: ‘urusanku sekarang dan kemudian’ – ‘maka palingkan ia dariku dan palingkan diriku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku di mana pun ia berada, kemudian, jadikan diriku ridha kepadanya’”.

(HR Bukhari [1162, 6382 dan 7390) dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

Pemahaman-pemahaman salah tentang Istikharah:

1. Hanya Diperlukan Saat Ragu-Ragu Memilih

Sebagian orang memahami bahwa shalat istikharah hanya disyari’atkan saat seseorang ragu-ragu dalam memilih diantara dua perkara.

Pemahaman ini tidaklah benar, sebab hadits Rasulullah SAW menjelaskan: “Idza hamma ahadukum bil amri” (Jika salah seorang diantara kamu mempunyai keinginan terhadap sesuatu).

Terlihat di sini bahwa Rasulullah SAW TIDAK BERSABDA: “Idza taraddada” (jika salah seorang diantara kamu ragu-ragu).

Perlu juga diketahui bahwa kata: “hamma” menunjukkan suatu peringkat dari suatu keinginan. Ia adalah marhalah (tahapan) lebih rendah dan lebih ringan dari azam yang berarti tekad.

Agar lebih jelas peringkat-peringkat ini, baik juga kita kutip perkataan seorang pelantun yang menjelaskan hal ini:

مَرَاتِبُ الْقَصْدِ خَمْسٌ: (هَاجِسٌ) ذَكَرُوْا ÷ فَـ (خَاطِرٌ)، فَـ (حَدِيْثُ النَّفْسِ) فَاسْتَمِعَا

يَلِيْهِ (هَمٌّ) فَـ (عَزْمٌ) كُلُّهَا رُفِعَتْ ÷ سِوَى اْلأَخِيْرِ فَفِيْهِ اَلأَخْذُ قَدْ وَقَعَا

Perintah “maksud” atau “tujuan” itu ada lima yang mereka sebutkan: “Hajis” (gerakan hati), lalu “Khathir” (lintasan, gagasan), lalu “Haditsun-nafs” (suara jiwa), maka dengarkanlah.

Disusul “hammun” (keinginan), lalu “azam” (tekad). Semua itu tidak terhitung dan tidak tercatat kecuali dua tingkatan yang terakhir. Inilah pendapat yang terpilih.

Jadi, seandainya seseorang berkeinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia tidak mempunyai opsi pilihan kecuali satu pilihan saja, dimana ia telah mempunyai “hamm” (keinginan) untuk melakukannya, maka sebelum ia benar-benar melakukannya, hendaklah ia melakukan shalat istikharah, dan jika ia memiliki “hamm” untuk tidak melakukannya atau meninggalkannya, hendaklah ia melakukan istikharah terlebih dahulu.

Adapun jika dihadapannya ada sekian banyak opsi pilihan, maka:

- Pertama sekali hendaklah ia melakukan musyawarah, meminta pendapat kepada orang-orang yang terpercaya, baik dari kalangan ahli ilmu, ulama’, maupun pakar dan ahli, agar mereka membantunya untuk menyisakan satu pilihan saja dari sekian banyak pilihan, lalu,

- Jika ia berkeinginan melakukan pilihan yang tinggal satu ini, sebelum ia benar-benar melakukannya, hendaklah ia melakukan istikharah.

2. Istikharah Hanya Berlaku Untuk Urusan Tertentu Saja

Sebagian orang meyakini bahwa istikharah hanya disyariatkan untuk dilakukan terhadap urusan-urusan tertentu saja, misalnya: urusan pernikahan, bepergian dan semacamnya. Atau istilahnya: urusan-urusan besar, strategis, genting dan berdampak panjang atau luas.

Keyakinan ini tidaklah benar, sebab, sahabat nabi yang meriwayatkan dan menyampaikan informasi itu kepada kita, yaitu Jabir bin Abdillah As-Salami mengatakan: “kana yu’allimuna al-istikharata fil umuri kulliha”, artinya: “Rasulullah SAW mengajarkan kepada kami untuk melakukan istikharah dalam segala urusan, semuanya”.

Jelas di sini bahwa ia tidak mengatakan: “fi ba’dhil umur” (pada sebagian urusan), atau “fil umuri al-kabirah” (dalam urusan-urusan besar”.

Akibat dari keyakinan yang salah ini, manusia menjadi ogah melakukan istikharah dalam urusan yang mereka pandang kecil, remeh, sepele, tidak penting, tidak strategis, tidak berdampak panjang, tidak berdampak besar dan sebagainya, padahal, bisa jadi, dan ini sangat mungkin, urusan yang dipandang kecil itu sebenarnya memiliki dampak serius dan besar bagi kehidupan dunia dan akhirat-nya.

3. Mesti Shalat Khusus Istikharah

Ada juga sebagian manusia yang meyakini bahwa istikharah mestilah dilakukan dalam bentuk shalat khusus yang bernama shalat istikharah.

Keyakinan ini pun tidaklah benar, sebab hadits nabi menjelaskannya demikian: “falyarka’ rak’atain min ghairil faridhah” (hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at yang bukan fardhu).

Penegasan Rasulullah SAW: “min ghairil faridhah” (yang bukan fardhu) mencakup shalat tahiyyatul masjid, shalat sunnat Rawatib, Shalat Dhuha, Sunnat Wudhu dan shalat-shalat sunnat lainnya. Sehingga, sangat dimungkinkan, disamping diniatkan sebagai shalat-shalat sunnat tersebut, disertai juga niat istikharah dan hal ini termasuk yang dibenarkan oleh syari’at, dimana terjadi double niat dalam sebuah ibadah, yaitu saat salah satu ibadah bukan menjadi tujuan utama, semacam shalat istikharah ini.

4. Harus Ada Rasa Plong Setelah Istikharah

Ada lagi sebagian manusia yang meyakini keharusan adanya insyirah shadr (dada yang plong) setelah melakukan istikharah.

Hal ini sebenarnya tidak ada dalilnya, sebab, hakekat istikharah adalah “penyerahan urusan dan pilihan terbaik kepada Allah SWT”, sesuai dengan namanya: “istikharah” yang artinya meminta dan menyerahkan yang terbaik, meskipun urusan itu bisa jadi tidak disukainya. Bukankah Allah SWT berfirman:

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (البقرة : 216)

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS.Al-Baqarah: 216)

Akibat harus adanya insyirah tersebut, sering terjadi, seseorang malah menjadi semakin bingung dan semakin ragu-ragu setelah ber-istikharah. Dan bisa jadi ia lalu melakukan istikharah berulang-ulang. Alih-alih mendapatkan insyirah shadr (rasanya plong di dada), justru ia semakin ragu dan semakin bingung, terlebih jika dari awal memang ia sudah memiliki perasaan tidak sreg kepada apa yang akan dilakukannya.

Terkadang juga, sepertinya seseorang “memaksa” Allah SWT agar menyetujui pilihannya, sehingga cara dan sikap ini tentunya tidak bisa disebut istikharah lagi, sebab, seperti telah dijelaskan, istikharah artinya adalah memohon dan menyerahkan yang terbaik kepada Allah SWT, dan bukan memaksa Allah SWT untuk menyetujui pilihannya.

Yang benar adalah bahwa apa yang dikehendaki Allah SWT, akan dimudahkan urusannya oleh Allah SWT: “faqdirhu li wa yassirhu li” takdirkan dan mudahkanlah untukku.

Dan apa yang ditakdirkan dan dimudahkan Allah SWT itu, kita mohonkan untuk diberkahi oleh-Nya: “tsumma barik li fihi” kemudian berkahilah ia untukku. Wallahu a’lam

5. Mesti Mimpi

Sebagian orang meyakini bahwa setelah istikharah mestilah mimpi melihat sesuatu yang menunjukkan bahwa pilhannya tepat dan benar, atau memberi petunjuk kepada yang mana seseorang harus memilih. Sehingga, bisa jadi seseorang lama sekali menunggu dan tidak segera melakukan sesuatu dikarenakan ia belum bermimpi seperti yang diharapkan.

Keyakinan seperti tidak memiliki dalil sama sekali. Sebab, apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hendaklah seseorang segera melakukan suatu perbuatan setelah ber-istikharah dengan penyerahan sepenuhnya kepada Allah SWT, sebagaimana telah dijelaskan di depan. Jika ia bermimpi melihat sesuatu yang baik, hal itu merupakan nurun ‘ala nur (cahaya di atas cahaya), yaitu cahaya penyerahan kepada Allah SWT yang merupakan refleksi keimanannya – insyaAllah – dan cahaya mimpi baik yang Allah SWT berikan kepadanya. Namun, jika tidak bermimpi, ya silahkan terus jalan saja dan tidak usah menunggu mimpi.

Inilah sebagian keyakinan yang salah tentang istikharah semoga ada manfaatnya.

Bagi yang ingin pendalaman lebih jauh, silahkan merujuk ke sebuah buku kecil berjudul: Sirrun Najah wa Miftahul Khair wal Barakah wal Falah (Rahasia Sukses dan Kuci Kebaikan, Keberkahan dan Keberuntungan) yang ditulis oleh Syekh DR. Muhammad bin Abdul Aziz al-Musnid.

Menjaga Karamah Basyariyah

0
Diposting oleh cahAngon on 08 April 2011 , in
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً


“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizqi dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra, 17: 70)


Ikhwah fillah, di muqaddimah jalasah ini tadi telah saya bacakan ayat yang sangat masyhur dan sering dinukil dari surat Al-Isra’. Dalam ayat ini terlihat betapa Allah SWT secara fitrah, kata orang Malaysia secara ‘semula jadi’, menciptakan manusia dalam kemuliaan : “وَلَقَدْ كَرَّمْنَا”. Akan tetapi kemuliaan ini adalah al-karamah bittakrim, kemuliaan karena dimuliakan dan bukannya al-karamah dzatiyah, kemuliaan an sich atau kemuliaan yang melekat dengan sendirinya.Sebagai makhluk mulia manusia dikaruniai kemampuan lebih oleh Allah SWT. Inipun bukan karena usahanya sendiri, melainkan karena Allah SWT telah mempersiapkan seluruh ciptaan-Nya untuk manusia:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman, 31: 20).

Semua yang ada di langit dan di bumi telah ditundukkan dan disiapkan-Nya untuk mendukung manusia menngimplementasikan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan menerjemahkan bakat-bakat yang ada dalam dirinya, karena keseluruhan ciptaan Allah itu musakhar, yakni telah dipersiapkan untuk didayagunakan oleh manusia. Oleh sebab itulah frasa dalam ayat tersebut. “Walaqad karramnaa banii aadam” diikuti dengan frasa: “Wahamalnaahum fil barri wal bahri” sebagai simbol yang mewakili seluruh kemampuan rekayasa manusia dalam memanfaatkan al-kaun (universe). Manusia bisa membuat dan merekayasa kendaraan dan bahkan masalah kendaraan bisa menjadi ukuran prestise dan kehormatan seseorang.

Makhluk-makhluk selain manusia, yang ada di bumi ini berkendaraan hanya artifisial sifatnya. Gajah misalnya, ada yang bisa naik motor, tapi hanya artifisial yakni hanya di ruang lingkup sirkus saja. Demikian pula dengan monyet yang sudah dilatih untuk bisa naik sepeda atau mobil. Mereka hanya bisa beratraksi di dalam tenda sirkus, karena bila dilepas di jalan raya besar kemungkinannya akan semakin menimbulkan keruwetan dan kemacetan. Sementara manusia mampu merekayasa pendayagunaan potensi yang dipersiapkan oleh Allah untuk mendukung ta’yid dari Allah sehingga ia berkendaraan di darat, laut, udara dan angkasa luar.

Kemudian “warazaqnaahum minath thayyibaat”, artinya Allah memberi rizqi kepada manusia dari yang baik-baik saja. Bisa kita bandingkan misalnya dengan hewan ayam yang makan dari comberan dan cacing yang mendapatkan rizqi dari lumpur, sementara manusia hanya mengkonsumsi yang baik-baik.

Apalagi manusia dengan kelebihan akal dan fitrahnya mampu membuat hal-hal yang thayyibat menjadi tampil semakin lebih thayyib. Misalnya manusia merekayasa, mengolah masakan berjam-jam bahkan berhari-hari agar tampil lezat dan prima seperti tomat yang diubah menjadi seperti bunga mawar untuk hiasan demikian pula cabe, timun dll, padahal untuk menghabiskan semua santapan tersebut mungkin hanya dibutuhkan waktu 1/4 atau 1/2 jam saja. Demikian juga gula-gula dan coklat yang dibuat dalam berbagai bentuk cetakan.
Selanjutnya dalam firman Allah SWT tersebut disebutkan,

وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Kami utamakan / lebihkan manusia di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya”. Keutamaan ini juga karena tafdhil, dimuliakan oleh Allah, semata-mata al-fadhlu minallah, kemuliaan dan kelebihan dari sisi Allah bukan kemuliaan an sich atau kemuliaan yang dengan sendirinya. Lalu kemuliaan yang dimiliki manusia ini pun ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa tafdhila, di atas makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Ada mufassir yang mengatakan keutamaan manusia tersebut ‘alaa jama’il khalaiq, di atas semua makhluknya kecuali malaikat. Tetapi mufassir lainnya, mengatakan kelebihan dan keutamaan manusia juga di atas malaikat. Menurut sebagian mufassir tersebut malaikat masih mafdhul di bawah manusia, karena ia memang tidak memiliki syahwat sehingga bisa konsisten dalam kepatuhannya kepada Allah. Sementara manusia yang memiliki akal, bakat dan mampu mengendalikan syahwatnya ia bisa mencapai derajat melebihi malaikat karena walau pun memiliki syahwat ia tetap berjuang dengan iman dan akalnya untuk konsisten di jalan-Nya. Namun bila manusia tidak mengoptimalkan takrim dan tafdhil dari Allah bahkan malah memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, ia bisa meluncur ke derajat yang sangat rendah yakni lebih rendah dari binatang,

أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (الأعراف)
Mereka itu tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Bila manusia-manusia yang bertaqwa tidak melepaskan diri dari takrim dan tafdhil, ia bisa dianggap melebihi malaikat. Buktinya ada malaikat yang ditugaskan Allah menjaga dan memberinya rizqi serta mencatat segala amal perbuatannya, seolah-olah mereka pelayan manusia. Bahkan secara tidak langsung Allah mempersiapkan malaikat menjaga manusia tidur, karena bayangkan saja bila manusia tidur tidak dijaga malaikat maka segala binatang seperti semut bisa memasuki lubang hidung, mulut dan lainnya.

Berkat penjagaan / ri’ayah Allah melalui malaikat-malaikat maka orang tidur bisa aman. Begitu pula bila ada bayi atau anak kecil yang jatuh dari ranjang tetapi tidak cidera, orang-orang tua kita biasa berucap, “Wah anak kecil nggak punya dosa jadi masih selalu dilindungi dan dijaga oleh malaikat”. Atau ketika ia menatap terus ke atas dan berkata “aaah” dikomentari orang-orang tua, “Wah dia lagi ngelihat dan ngobrol dengan malaikat”. Wallahu a’lam hadza minal ghaibiyat.

Ditilik dari sudut tafsir yang manapun, tetap saja dapat disimpulkan manusia adalah makhluk termulia di sisi Allah SWT. Takrim dan tafdhil dari Allah tersebut terkait dengan kemanusiaannya dan takrim serta tafdhil tersebut tentu saja akan meningkat bila kemanusiaan tersebut ditambah dengan aspek keislamannya. Apalagi bila dilengkapi dengan aspek keda’wahan dan kejama’ahannya. Seyogyanyalah ada nilai plus atau nilai lebih dari sekedar nilai kemanusiaan atau bahkan dari keislaman. Kita harus menampilkan diri sebagai syakhsiyah mukarramah (pribadi yang mulia) atau syakhsiyah mufadhalah (pribadi yang utama) demikian pula dengan jama’ah mukarramah dan jama’ah yang mufadhalah. Hal itu insya Allah bukan perwujudan sifat riya’, sombong atau ghurur melainkan lebih sebagai konsekuensi dari takrim dan tafdhil yang diberikan Allah. Kita harus benar-benar menjaga, memelihara dan menunjukkan karunia yang diberikan Allah tersebut.

Ikhwah fillah, sekali lagi saya tekankan bahwa kita sebagai da’i berkewajiban meng’izharkan, mengekspresikan, merealisir karamah basyariyah (kemuliaan kemanusiaan) dan fadhail basyariyah (keutamaan kemanusiaan) agar benar-benar nampak kehormatan, kelebihan dan keutamaan manusia sebagai makhluk yang mukarramah dan fadhailah. Bukankah rasulullah SAW juga bersabda, “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia)?

Jadi kita tidak mungkin menampilkan takrim dari Allah tanpa kita memiliki akhlaqul karimah. Dan kita juga tidak mungkin merefleksikan dan merealisir tafdhil Allah dalam kehidupan kita bila kita tidak produktif dalam fadhail amal. Hal tersebut harus benar-benar kita camkan dan upayakan, karena bila kita lalai—na’udzubilah, kita akan meluncur jatuh bukan saja dari kejama’ahan, keda’ian dan keislaman, melainkan bisa pula meluncur jatuh dari kemanusiaannya menjadi seperti hewan atau bahkan lebih buruk lagi dari hewan.

أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (الأعراف)
Ayat tersebut sering dilewati begitu saja dalam membacanya, sehingga kadang-kadang kebanggaan kita akan status sebagai makhluk mulia hanyalah kebanggaan semu belaka.

Sebagai da’i sudah tentu tugas kita adalah mambuktikan takrim dan tafdhil dari Allah serta tidak berhenti pada kebanggaan semu saja, hal itu dilakukan dengan cara melahirkan makarimul akhlaq dan fadhail amal dari diri kita.

Prioritas kita untuk senantiasa merefleksikan takrim dan tafdhil dari Allah dengan cara memegang teguh makarimul akhlaq dan fadhail amal adalah dalam rangka itsbatul wujud atau membuktikan eksistensi kita sebagai manusia, sebagai muslim, sebagai da’i dan sebagai jama’ah dakwah. Karena bila eksistensi kita tidak terkait dengan hal itu, kita akan dihinakan oleh Allah SWT.

Dalam do’a qunut setiap witir kita berdo’a, “Allahummahdinii fiman hadait, wa ‘afinii fiman ‘afait, watawallanii fiman tawallait wa barik lii fii ma a’thait waqinii syarra ma qadhait walaa ya’izzu man ‘adait walaa yadzillu man wallait”. Dua kalimat ini sarat dengan makna, jika kita mu’adatillah, memusuhi Allah, wali-wali Allah dan program-program Allah, maka kita tidak akan memiliki izzah, gengsi atau harga diri, jangankan sebagai da’i, sebagai manusia saja tidak (walaa ya’izzu man ‘adait).

Kemudian walaa yadzillu man wallait, tidak akan dihinakan siapa saja yang memiliki wala’ (loyalitas) kepada Allah. Sehingga betapapun ekonomi kita lagi morat-marit dan kedudukan secara sosial, politik serta ekonomi dianggap rendah oleh orang lain, kita tidak mungkin hina dan dihinakan selama wala’ kita utuh.

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (المائدة)
Allah menegaskan walaa yadzillu, tidak mungkin hina karena izzah kita terkait dengan a’azzul a’azz, dzat yang paling mulia, aziz di atas segala yang mulia. Jadi izzah, gengsi kita terkait dengan izzah, gengsi Allah SWT.

Oleh karena itu dalam konsep Islam, wala’ terkait erat dan langsung dengan izzah. Merosotnya wala’ akan menyebabkan merosotnya pula izzah. Dahulu dalam madah tamhidiyah, saya qarinahkan di antara dua ayat yakni antara innama waliyyukumallahu wa rasuul walladzina amanu dan kemudian refleksi atau implementasinya nampak dalam ayat wa ‘athiullah, wa ‘athiurrasul wa ulil amri minkum. Wala’ kita kepada walladzina amanu dan taat kita kepada ulil amri minkum hanya melekat sepanjang orang-orang yang beriman dan pemimpin-pemimpin tersebut berada di jalur ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian wala’ (loyalitas) yang kita miliki juga terkait dengan aziz dan dzalilnya kita. Jika wala’ kita kepada Allah, rasul dan ulil amri minkum meningkat maka izzah kitapun meningkat. Namun bila wala’ kita menurun maka—na’dzubillah, kitapun akan meluncur ke lembah kedzalilan, kehinaan. Hal itu saya gambarkan dalam madah tamhidiyah dengan satu kalimat: abdul azizi azizun, abdul dzalili dzalilun, abdul karimi karimun dst.

Kalimat singkat tersebut di atas mencerminkan refleksi asma’ul husna dan ash-shifatul ulyanya atas diri kita. Rasulullah SAW memang menganjurkan agar kita memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Allah. Bukan berarti menyamai-Nya, melainkan bagaimana caranya keagungan sifat-sifat Allah tersebut terefleksi atau terimbas ke dalam diri kita sesuai dengan kadar kemampuan kita.

Allah SWT menurunkan konsepnya berupa Al-Qur’an untuk menjaga kemuliaan kita, oleh sebab itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang diungkapkan dengan kata dzikr, misalnya dalam QS. 43 ayat 44:

وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلونَ (الزخرف)
Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan / kehormatan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban.

Artinya kehormatan dan kemuliaan diri kita sangat terkait dengan komitmen kita terhadap Islam, da’wah dan Qur’an itu sendiri. Dalam Al-Qur’an kata dzikr memiliki dua makna yakni bisa berarti peringatan bagi orang yang lalai, namun bagi mu’min kata dzikr berarti penghormatan baginya. Karena itu disebutkan dzikrun lidzakirin, kehormatan adalah untuk orang-orang yang selalu berkomunikasi dengan Allah SWT. Bahkan dalam surat Shaad (38) ayat 1:

ص وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ
Saad, demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan. Para mufassirin menyebutkan bahwa wal qur’aani dzil dzikir adalah lisharfin wa karamatin wa hurmatin artinya Qur’an memiliki sharf-sharf, dengan derajat-derajat / tingkat-tingkat kehormatan. Bila seseorang lulus ujian doktor dengan predikat cum laude hal itu disebut sharf dan bila lulusnya lebih bagus lagi disebut summa cum laude itu sepadan dengan karamah. Akhirnya bila lulusnya lebih gemilang lagi disebut magna cum laude itu sepadan dengan hurmah.

Jadi jelaslah bagi kita bahwa sharf, karamah dan hurmah kita terkait erat dengan Al-Qur’an untuk menjaga takrim dan tafdhil dari Allah SWT. Bila kita tidak bisa menjaga takrim dan tafdhil dari Allah dan mendapatkan sharf, karamah dan hurmah karena komitmen kita dengan Al-Qur’an, apa bedanya kita dengan “ammatinnaas”, manusia kebanyakan atau manusia pada umumnya.

Ikhwah fillah, saya katakan kita ini tandzim nukhbawi (organisasi kader) artinya secara tandzim atau organisasi, jama’ah kita adalah jama’ah kader yang terbukti dengan adanya detail-detail perangkat tarbawi dengan segala tahapannya. Seseorang harus melalui berbagai tahapan untuk bisa menjadi anggota dewasa atau mas’ul.

Tanggung jawab kita adalah menjaga kehormatan, kemuliaan dan kelebihan kita yang sudah dikaruniai Allah SWT. Alat untuk menjaga kemuliaan sudah pula diberikan Allah yakni berupa Al-Qur’an dan Islam itu sendiri. Refleksi secara moral adalah berupa keutuhan wala’ (loyalitas) kita kepada Allah, rasul dan ulil amri, sedangkan refleksi secara operasional adalah dalam bentuk taat kepada Allah, rasul dan ulil amri. Jika refleksi moral dan operasional tidak ada, maka na’udzubillah kita akan merosot dari izzah menjadi dzillah (hina). Itu merupakan satu kepastian. Memang refleksi moral dan operasional adalah sesuatu yang sangat mendasar dan penting serta perlu senantiasa diperteguh kembali karena faktor-faktor yang bisa melunturkan aqidah sangat banyak.

Hal yang sekarang ini saya khawatirkan adalah antum para mas’ulin (lapisan pemimpin) dalam jamaah terkena istiftan, fitnah karena sering tampil di mana-mana dan memperoleh kemasyhuran di mimbar-mimbar khutbah, seminar, undangan-undangan yang berkelas nasional atau bahkan internasional. Kekhawatiran saya adalah jika kesemuanya itu kemudian akhirnya melunturkan refleksi moral sumber kehormatan kita yakni wala’ (loyalitas) dan refleksi operasionalnya berupa taat, sehingga akhirnya menyebabkan meluncurnya antum di bawah kehormatan sebagai manusia.

Fitnah tersebut biasa disebut fitnah ‘alal kibar atau fitnah yang menimpa orang-orang besar dan memiliki posisi. Padahal sekali lagi saya tekankan, Allah SWT telah memberikan kehormatan yang begitu besar kepada manusia seperti tergambar dalam adegan ketika Rasulullah seolah-olah berdialog dengan ka’bah. Inti dialog Rasulullah dengan ka’bah ialah pengakuan beliau tentang kehormatan dan kemuliaan yang dimiliki ka’bah sebagai baitullah, tetapi kemudian beliau bersumpah: “Wallahi lahurmatul mu’min a’zhamu ‘indallahi hurmatan minki”. Rasulullah menegaskan bahwa kehormatan seorang mu’min lebih agung dan lebih besar di sisi Allah dibandingkan dengan kehormatan ka’bah. Padahal bayangkan setiap tahunnya dua juta orang berkeliling thawaf di musim haji dan setiap hari kurang lebih 1,4 milyar muslim sujud menghadap kiblat atau paling tidak mengakui ka’bah sebagai kiblatnya.

Oleh sebab itu kehormatan yang diberikan Allah SWT jangan kita sia-siakan bahkan hendaknya selalu kita jaga dan tingkatkan agar kita lebih dekat dengan-Nya (aqrab ilallah). Kedekatan kita dengan Allah Yang Mulia akan membuat kita menjadi mulia pula, abdul karim karimun (hamba Yang Mulia akan mulia pula).
Dalam kitab tafsir Al-Qur’an, para ulama tafsir menyebutkan bahwa puncak kemuliaan seorang manusia ditunjukkan justru dalam posisi kehambaannya, sebagai abdun.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Di ayat tersebut Rasulullah disebutkan dengan bi’abdihi dan bukan birasulihi atau bimuhammadin, karena manzilatil ulya’ indallah justru adalah manzilah ‘ubudiyah.

Manazilatul ‘ubudiyah adalah manzilatul ‘ulya dan akramuhum ‘azhomuhum lillah atau yang paling mulia adalah yang paling tinggi nilai ‘ubudiyahnya kepada Allah. Hal tersebut merupakan persoalan aqidah yang sangat mendasar sehingga menjadi sumber ya’ tazzu bi-imanihi, bi-islamihi, bida’ watihi, bijihadihi (kebanggaan akan keimanan, keislaman, da’wah dan perjuanganya).
Hal ini penting saya tekankan mengingat saat ini masih banyak orang yang berebut mencari eksistensi diri dan golongannya melalui beraneka ragam manuver. Mereka saling berebut kedudukan yang sebetulnya sudah lapuk dan sebentar lagi akan hancur.

إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقاً (الاسراء: من الآية81)
Padahal untuk mencari itsbatul wujud, tahqiqu dzat atau eksistensi diri, manusia harus kembali pada hal yang sangat elementer atau mendasar, yakni prinsip-prinsip aqidah.

Ikhwah fillah, Allah SWT banyak memperingatkan kita tentang sumber kemuliaan di dalam Al-Qur’an. Misalnya di dalam QS. 49:13,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات)
Juga di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha di bab jihad disebutkan: ‘Karamul mu’minin taqwahum wa dienuhu nasabuhu’. (Kemuliaan seorang mu’min terletak pada ketaqwaannya dan dien / agamanya adalah nasabnya).

Orang pada umumnya suka membanggakan asal usul keturunannya, misalnya berdarah biru atau keturunan bangsawan. Di Banten umpamanya dipanggil dengan Tubagus dan di Jawa dengan Den Mas (dari raden mas) atau Gus. Padahal Rasulullah bersabda bahwa kebanggaan kita akan nasab atau keturunan haruslah terkait dengan sejauh mana intima’ (komitmen) diri kita, orang tua dan nenek moyang kita terhadap Islam. Kemudian dilanjutkan hadits tersebut disebutkan juga ‘wa muru’atuhu khulquhu’ (harga dirinya terletak pada akhlaknya). Tinggi rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh tinggi rendahnya akhlaknya.

Ikhwah Fillah, jika kita gegabah atau melalaikan nilai-nilai elementer aqidah yang implementasi moralnya berupa keutuhan wala’ pada Allah, Rasul dan orang-orang beriman serta implementasi operasionalnya berupa keutuhan ketaatan kepada Allah, Rasul dan pemimpin mu’min, maka na’udzubillah kita dapat dimusnahkanNya dan digantikannya dengan kaum yang lain yang sesuai dengan kehendakNya (QS. 5:54),

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (المائدة)

Dalam QS. Al-Faathir ayat 15-17 Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ. إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ. وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ (فاطر)

Hai manusia kamulah yang membutuhkan Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.

Wahai umat manusia kalian semua fuqara ilallah dan Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Terpuji. Kata fuqara ilallah menunjukkan ketergantungan total manusia pada Allah. Untuk sekadar bisa bernafas saja kita sudah bergantung pada Allah. Kalau bukan Dia siapa yang bisa menjamin zat asam (O2) secara gratis kita hisap. Jangankan dicabut, sekadar dikurangi atau ditambah sedikit saja kadar kepekatannya sudah sangat berbahaya. Bila kadar zat asam di udara di tambah, paru-paru kita akan kebakaran.

Ketergantungan lainnya misalnya ketika kita tidur selain dijaga oleh malaikat dari serangga-serangga, ternyata di tubuh kita juga terjadi proses alamiah berupa keluarnya lendir-lendir yang menjijikkan namun berguna untuk mencegah serangga masuk ke lubang-lubang tubuh kita. Saya pernah membaca di dalam kitab Ath-Thibb Mihrabul Iman (Kedokteran adalah pintu gerbang keimanan) bahwa segala sesuatu yang sepintas menjijikkan justru merupakan bagian dari takrim dan tafdhil Allah terhadap kita. Jadi di saat tidur pun kita benar-benar fuqara ilallah. Dialah yang telah melindungi kita dengan memberikan penjagaan berupa aparat ruhi ghaibi (malaikat) dan instrumen-instrumen alami berupa keluarnya lendir-lendir.

Oleh sebab itu dulu pernah saya kisahkan bagaimana seorang perampok bermaksud merampok seorang ulama di Syam. Saat itu sang ulama sedang shalat tahajud dan membaca ayat,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ. فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ (الذريات:22-23)
Linggis perampok itu terjatuh dan ia terduduk lemas seraya berucap: “Ya Allah thalabtuhu fid dunya wa huwa fis sama” (Ya Allah saya mencari rizqi di dunia ternyata adanya di langit). Sang ulama mendengar suara linggis jatuh, keluar dan mendapati pencuri itu sedang menangis. Pencurinya diajaknya masuk, bahkan kemudian dibekali dan ternyata pada musim haji berikutnya ulama tersebut bertemu dengan mantan pencuri itu sedang thawaf. Ia benar-benar telah taubat.

Artinya yang terpenting adalah as-Sama’, kalaupun kita berusaha itu sekadar wasail (sarana) dan merupakan hakikat syari’at, namun hasilnya belum tentu, tergantung yang di langit. Kita wajib mencari, namun hasilnya kita serahkan kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib pernah menasehati Hasan dan Husein bahwa rizki itu ada dua macam yakni rizqun tathlubuhu (rizki yang kamu cari) dan rizqun yathlubuka (rizki yang mencari kamu). Namun Sayyidina Ali tidak memisahkan kedua-duanya: rizqun tathlubuhu wa rizqun yathlubuka. Karena rizqi ingin cepat sampai ya tathlubuhu (dicari) karena kalau menunggu yang yathlubuhu, bisa-bisa datangnya agak lama.

Saya pernah membaca dalam kitab tentang sufi, di antaranya ada kisah orang yang ingin menguji Allah SWT, apa iya ada rizqun yathlubuka, rizki yang mencari dan menghampirimu. Akhirnya ia tidak mau kerja, tidak mau berusaha dan tidak berinteraksi dengan orang lain. Ia menyendiri di dalam gua di tengah hutan, ternyata lama-lama jatuh sakit dan mengerang-erang. Ada orang kampung sedang mencari kayu bakar mendengar suara mengerang-erang di dalam gua. Karena ia tidak berani masuk sendirian, ia memanggil orang-orang kampung lebih dulu. Maka masuklah orang-orang itu ke tengah gua, beramai-ramai. Melihat si sufi ini sakit dan kelaparan, mereka membuka nasi bekal kemudian menyuapi dan mengobatinya. Sambil disuap, si sufi tadi bergumam: “Shadaqallah warrasul”. Saya enggak nyari rizki, orang-orang datang ramai-ramai bawa timbel. Namun untungnya si sufi ini berpikir positif, wah tidak nyari saja dapat rizki, apalagi kalau saya mau usaha mencari.

Kesadaran ‘Antum fuqara ilallah’ ini harus tertanam di dalam diri kita di semua bidang kehidupan, agar kita tidak mengkambing hitamkan dakwah. Misalnya menyesal menjadi da’i atau berada di dalam harakah dakwah ini karena hidup miskin atau pas-pasan.

Padahal bila kita berhenti berdakwah juga belum tentu jadi kaya. Wa huwal ghaniyul hamid. Dan Dialah Yang Maha Kaya lagi Terpuji, karena Dialah yang benar-benar memiliki dan menguasai segala sesuatu.

Majalah Al Intima'

Belajar Itsar dari Mereka

0
Diposting oleh cahAngon , in

Dalam risalah ta’lim Hasan Al-Banna,menuliskan:


“Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokoh ikatan dan semulia-mulianya. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembarnya kekufuran. Kekuatan yang pertama adalah kekuatan persatuan; tidak ada persatuan tanpa cinta kasih; minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan maksimalnya adalah itsar (mementingkan orang lain dari diri sendiri).” Di dunia ini begitu banyak hal yang kita cintai, sampai-sampai ketika kehilangannya kitapun bersedih bahkan meratapinya. Lalu apakah arti saudara seiman,sefikroh,dan sejamaah bagi kita? Apakah ia harta yang berharga juga bagi kita? atau ia hanya sebagai tempat kita berkeluh kesah dan meminta tolong saja?

Berjuta cerita tentang arti ukhuwah, terlalu banyak canda yang terlepas dan tak sedikit pula derai air mata mengharu biru di jalan ini. Sejenak, marilah kita belajar itsar (mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupkan tingkat tertinggi dari ukhuwah saat perang Yarmuk dimana kaum muslimin saat itu menghadapi 240.000 tentara Romawi. Sedangkan jumlah kaum muslimin hanya 40.000, keadaan yang tidak seimbang secara hitungan matematis.

Kita mengetahui bahwa perang ini dimenangkan oleh pasukan muslimin. Disinilah Allah menetapkan bagaimana Yarmuk menjadi saksi atas indahnya persaudaraan Islam. Diantara 40.000 tentara itu terdapat Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahl, Iyash bin Abi Rabiah. Saat usai peperangan,ketiganya terluka sangat parah sehingga mereka tergeletak tak berdaya. Walaupun begitu tak ada satupun guratan kekecewaan atas luka yang mereka derita. Ketika regu penolong data dengan membawa minuman. Harits mengisyaratkan tangannya agar relawan yang membawa air minum itu kepada dirinya. Datanglah relawan tersebut dengan bejana berisi air minum namun belum sampai ke mulutnya.

Harits melihat saudarahnya, Ikrimah, dalam kondisi yang parah juga. maka ia mengurungkan niat untuk meminum air tersebut seraya menunjuk Ikrimah. Relawan bersegera membawa bejana berisi air itu kepada Ikrimah. Hampir saja Ikrimah meminumnya, tetapi tiba-tiba diurungkan begitu matanya melihat saudaranya, Iyash, yang dalam pandangannya lebih membutuhkan air minum. Maka ia pun mengurungkan niatnya dan menutup mulutnya seraya menunjuk Iyash. Relawan bersegera membawa bejana tersebut kepada Iyyash dengan tergesa-gesa. Belum sempat Iyyash meneguk air tersebut, malaikat maut lebih dahulu menjemputnya sehingga ia syahid.

Relawan pun mendatangi Ikrimah, ia juga telah syahid. Relawan pun mendatangi tempat harits, ternyata Harits pun mengalami keadaan yang sama dengan dua sahabatnya yang syahid. Allahu Akbar, alangkah indahnya persahabatan diantara mereka. Merekalah yang menjadikan itsar tidak hanya terbatas pada waktu lapang, tapi juga ketika saat sempit bahkan ketika maut menjemput.

"Tidak (sempurna) iman seseorang sehingga mencintai manusia sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri dan mencintai saudaranya hanya karena Allah AZZAWAJALLA " (Musnad Ahmad:13372). Implementasinya begitu sulit memang, terlebih lagi di jalan dakwah ini. Sehingga Imam Syahid Hasan Al-Banna melanjutkan pengertian ukhuwah di awal dengan :

“Al-Akh yang tulus melihat saudara-saudaranya yang lain lebih utama daripada dirinya. sendiri, karena ia, jika tidak bersama mereka, tidak dapat bersama yang lain. Sementara mereka, jika tidak dengan dirinya, dapat bersama dengan orang lain. Dan sesungguhnya serigala hanya makan kambing yang terlepas sendirian. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, yang satu mengokohkan yang lain. "Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka menjadi pelindung bagi lainnya. Demikianlah seharusnya kita.”

Begitu banyak cerita tentang itsar namun pada akhirnya, kita akan kembali diuji seberapa besar cinta kita terhadap saudara-saudara kita sehingga Allah akan membalasnya dengan naungan di hari akhir nanti.

“..dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Referensi: Teladan Tarbiyah Dalam Bingkai Arkanul Bai’ah oleh Parman Hanif M.Pd

Memahami #Jihad

0
Diposting oleh cahAngon , in
1. #Jihad berakarkan ‘al juhdu’; kesungguhan yang dikerahkan hingga batas kepayahan. Pada orang demikian; pertolongan Allah dekat & datang.

2. Pada kesempatan ini izinkan Salim batasi bahasannya pada; Apa Saja nan Termasuk Ruang Lingkup #Jihad; rasam diambil dari Ibn Al Qayyim.

3. Dalam Madarijus Salikiin, beliau golongkan #Jihad berdasarkan ‘lawan yang harus dihadapi’. Salim akan urai dengan tambahan keterangannya.

4. #Jihad-un Nafs, Jihadusy Syaithan, Jihadu Ahlil Ma’ashi wal Bida’ , Jihadu Ahlil Kufri wasy Syirki

5. Jihadun Nafs (#Jihad terhadap diri) adalah bagian yang mendasar & pokok dari pembagian jihad oleh Ibn Al Qayyim ini. Terdiri atas 5 poin.

6. Ke-5 #Jihad-an Nafs: mengimani Al Huda & Dinul Haq (QS 61: 9), mengilmuinya, mengamalkannya, menda’wahkannya, & bersabar dalam ke-4-nya.

7. Beriman adalah #Jihad. Sebab iman kadang adl mata yang terbuka, mendahului datangnya cahaya; ia keyakinan hati yang menyusur jalan bukti.

8. Berilmu adalah #Jihad. Sebab ia menghajatkan kesungguhan mengerahkan waktu, tenaga, fikiran, harta, & kesabaran untuk berpayah memahami.

9. Beramal adalah #Jihad. Sebab setiap ilmu mengejar-ngejar jiwa & raga yang kadang disergap lelah & malas agar ianya diamalkan, dibaktikan.

10. Berdakwah adalah #Jihad. Sebab menyampaikan ilmu, membawakan kebenaran, memerintahkan yang baik, mencegah yang munkar; membawa bahaya.


11. Bersabar dalam mengimani, mengilmui, mengamalkan, & mendakwahkan adalah #Jihad; sebab ke-4 hal itu hanya bisa ditanggung jiwa nan kokoh.

12. Bersabar mengimani adalah #Jihad. Saking beratnya kadang harus memejam mata. Seperti Muhammad di Badr. Seperti Ibrahim sembelih putra.

13. Bersabar mengilmui adalah #Jihad. Seperti Sulaiman memahamkan Dawud, Al Bukhari kembarai ratusan negeri, Asy Syafi’i menjaga hafalan.

14. Bersabar mengamalkan itu #Jihad. Seperti ‘Abdullah ibn ‘Amr puasa Dawud sampai akhir hayat, Sa’id ibn Al Musayyab selalu QL 50 tahun.

15. Bersabar mendakwahkan itu #Jihad. Seperti Mush’ab taklukkan Madinah, Ibnul Jauzy islamkan 30.000 pagan, Fadlan Garamatan jelajahi Papua.

16. Selanjutnya Jihadusy Syaithan; #Jihad melawan syaithan. Ini ada 2 poin, yakni melawan syubhat (rancu fikiran) & syahwat (hawa nafsu).

17. Melawan syubhat itu #Jihad. Imam Ahmad menentang faham ‘ke-mahkluq-an Al Quran’; sebab ia berujung ‘kalau makhluq bisa salah bisa benar’

18. Melawan syubhat itu #Jihad. Contoh: soal bangkai, kata Al ‘Ash ibn Wail; “Yang dibunuh sendiri halal, kok yang dibunuh Allah haram?”

19. Melawan syubhat itu #Jihad. Kata Al Walid ibn Mughirah, “Quran adalah sihir nan dipelajari”. Sampai kini belum ada argumen secerdas dia.

20. Melawan syubhat itu #Jihad. Hingga kini penerus jejak syubhat terus ada. Penyesatan logika adalah cara merusak ‘aqidah yang efektif.

21. Melawan syahwat adalah #Jihad. Seperti Yusuf berlari dari goda jelita, seperti Al Miski melumurkan kotoran ke tubuhnya saat diajak zina.

22. Melawan syahwat itu #Jihad. Menyegerakan menikah; berlari dari yang haram & keji menuju yang halal lagi suci perlu keberanian tinggi.

23. Mengendalikan syahwat itu #Jihad. Cinta ialah ujian yang menghanyutkan. Bahkan zina -dosa besarnya- kadang masih bisa membuat orang iba.

24. Melawan syahwat itu #Jihad. Sebab di dunia maya; berpindah dari keshalihan menuju dosa nista bisa dilakukan hanya dengan satu klik saja.

25. Melawan syahwat itu #Jihad. Sebab ujiannya berkelindan & rumit; wanita, harta, tahta berpadu; lalu didayaguna syaithan habis-habisan.

26. Melawan syahwat itu #Jihad. Sebab harta & kenikmatan dunia itu memabukkan, menagihcandukan & tak memberi puas seberapapun banyaknya.

27. Melawan syahwat itu #Jihad. Sulaiman memang hebat; berkuasa atas manusia, jin, hewan, & angin tapi tak dimabukkan sombong & bangga hati.

28. Melawan syahwat itu #Jihad. Fir’aun tak sekuasa Sulaiman; hanya Nil, Mesir & Bani Israil; tapi dia tak tahan tuk berkata, “Aku Tuhan!”

29. Selanjutnya adalah Jihadu Ahlil Ma’shi wal Bida’; #Jihad berjuang untuk tundukkan kemunkaran, kemaksiatan, & bid’ah-bid’ah yang merusak.

30. #Jihad ini ditegakkan pertama-tama dengan tangan; kekuatan, kekuasaan, kewenangan, pengaruh; jika kita memiliki kemampuan untuk itu.

31. #Jihad tangan ini misalnya dalam bentuk penegakan aturan yang melindungi masyarakat dari bahaya kemunkaran yang akal sehatpun sepakat.

32. #Jihad tangan meliputi penggunaan segala kewenangan; eksekutif, legislatif, yudikatif; dalam koridor hukum nan berlaku tuk jaga maslahat

33. Jika ahli kebaikan belum memiliki tangan, maka tingkatan selanjutnya harus diambil: #Jihad Lisan. Cegah keburukan dengan hujjah terbaik.

34. Sampaikan pendapat dengan cerdas, santun, mengena (ingat lagi #KulTwit #Berpendapat ya. Record di @ipotisme). Ia bisa jadi #Jihad utama.

35. #Jihad Lisan bertingkat-tingkat sesuai kapasitas, kapabilitas, & kredibilitas kita. Tokoh memiliki beban yang lebih suarakan kebenaran.

36. Jika yang dihadapi ialah kuasa yang lebih besar; menasehati dalam sunyi tetap utama. Jika tak mempan, nasehat publik jadi pilihan #Jihad

37. “Seutama-utama #Jihad adalah kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim-menyimpang.” (HR Abu Dawud)

38. Jika #Jihad Lisan juga tak kita mampu; ambil pilihan terrendah; dengan hati. Mengingkari-tak menikmati itu perlawanan terakhir-terlemah.

39. Berikutnya Jihadu Ahlil Kufri wasy Syirki, #Jihad melawan kekafiran & kemusyrikan. KIta akan lihat betapa agungnya Islam di bahasan ini.

40. Kalau #Jihad melawan kemunkaran & maksiat berurut keras ke lemah (tangan-lisan-hati); kekufuran & kemusyrikan justru beralur sebaliknya.

41. Sebab, #Jihad melawan kemunkaran & maksiat sejalan dengan logika umum bahwa keduanya merusak. Sebaliknya, kufur & syirik soal sensitif.

42. Keyakinan agama apapun dihormati Islam. Tinjau sejarah; semua perang #Jihad Nabi bukan karena lawannya kafir, tapi sebab mereka zhalim.

43. Maka #Jihad di bagian ke-4 ini dibagi 4 tingkatan urut oleh Ibn Al Qayyim berdasar sarana; doa-hati, bayan-penjelasan, tombak, pedang.

44. #Jihad melawan kekafiran & kemusyrikan pertama-tama ialah dengan doa; seperti Nabi doakan Umar ibn Al Khaththab & Abu Jahl ibn Hisyam.

45. Nabi doakan agar Umar diberi hidayah oleh Allah hingga diijabah tahun ke-6 Nubuwwah>< Sementara Abu Jahl, sebelum diperangi.. #Jihad

46. ..di Badr -itupun dia yang menyerang- didoakan khusus 6 th, didoakan umum 7 th, diharapkan 2 th, & hari H masih diseru pada Islam #Jihad

47. Jadi kita nan hendak ber #Jihad melawan kekufuran & kemusyrikan, sudahkah sebut nama Obama, Hu, Sarkozy, Merkel, Brown dst dalam doa?

48. Sebab itulah yang dituntunkan Nabi kita. #Jihad harus dimulai dengan cinta; berharap mereka nan menentang tetap berhak atas kasihNya.

49. Setelah doa, #Jihad selanjutnya adalah dengan bayan; penjelasan, lisan, kaset, VCD, film, tulisan, buku, diskusi, konferensi, debat dll.

50. Sebab RasuluLlah diutus pada seru sekalian alam; tiap ummat & segala bangsa berhak mendapatkan penjelasan tentang apa itu Islam. #Jihad

51. Jadilah pewarisnya nan bukan hanya membawakan pesan; namun juga akhlaq & santunnya dalam bicara; cinta & kasihnya dalam memberi. #Jihad

52. Setelah itu, jika ada kekuatan-kekuatan yang coba halangi manusia dari kebenaran & merintangi suburnya kebajikan; siapkan tombak. #Jihad

53. Apa itu tombak? Mengapa di urut 3? Apa bedanya ia dengan pedang yang ada di urut ke-4 dalam poin #Jihad melawan kekufuran ini?

54. Tombak adalah senjata yang menggertak, senjata yang hadirkan rasa takut musuh. Jika mereka tak macam-macam, tak perlu ditusukkan. #Jihad

55. Qiyas yang hendak disampaikan Ibn Al Qayyim adalah; #Jihad dengan kekuatan awal-awalnya cukup dengan memberi takut pada kejahatan.

56. Islam tak bertujuan menghancurkan; ia pembangun bukan perusak. Cukupah jika kejahatan tenggelam dalam gentar, tak membahayakan. #Jihad

57. Barulah kalau kejahatan itu benar-benar mengancam kemanusiaan, kebajikan, kebenaran; menantang duel, kita siapkan #Jihad puncak: Pedang.

58. Barulah kalau kuasa kejahatan itu melakukan tindakan perusakan di muka bumi, #Jihad mengayunkan pedangnya menyelamatkan kemanusiaan.

59. Itulah 4 pembagian #Jihad menurut Ibn Al Qayyim yang terjelaskan dalam 14 (5+2+3+4) sub bahasan. Seberapa banyak peran kita ambil & …

60. ..seberapa payah kita berjuang menentukan kemuliaan kita di sisiNya. Selamat ber #Jihad Tweeps Shalih(in+at). Maafkan nan tak berkenan;)

Average High: Bangunnya Orang-orang yang Berselimut ...

0
Diposting oleh cahAngon on 07 April 2011 , in
Bila melawan rasa kantuk saja kita tidak bisa, apakah kita akan bisa melawan musuh yang jauh lebih besar dari itu? Bila meninggalkan kenikmatan kehangatan selimut di malam hari saja kita tidak rela, apakah kita akan rela berkorban untuk tantangan yang lebih besar?
...


Oleh: Muhaimin Iqbal*
(Direktur Pengelola Gerai Dinar)

Di dalam Al-Qur’an ada dua nama surat yang artinya kurang lebih sama, yaitu ‘orang yang berselimut’. Pertama surat Al- Muzzammil dan yang kedua surat Al-Muddatstsir. Yang pertama menyuruh yang diseru bangun dari selimut untuk menegakkan sholat malam, dan yang kedua menyuruh bangun dari selimut untuk kemudian memberi peringatan.

Saya terinspirasi oleh dua surat ini karena merasa begitu beratnya untuk bangun di malam yang dingin, bangun dari hangatnya selimut dan nikmatnya tidur lelap. Tetapi rupanya justru di sinilah letak pembelajarannya bagi orang-orang yang ingin membuat perubahan besar dalam hidupnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakatnya.

Ketika menjelaskan tafsir surat Al Muzammil, Ibnu Katsir menyampaikan bahwa surat Al Muzzammil yang terdiri dari 20 Ayat itu, turun dahulu 19 ayat, sedangkan ayat terakhir –-ayat ke-20 ditahan Allah di langit selama 12 bulan. Ayat yang terakhir inilah yang mengubah sholat malam yang semula wajib (berdasarkan 19 ayat yang pertama) menjadi sunnah. Artinya generasi awal para sahabat mendapatkan penggembelengan khusus berupa sholat malam yang panjang, separuh kurang sedikit atau bahkan lebih dari separuh malam –-selama 12 bulan penuh!

Tidak heran maka generasi para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini, dapat mencapai apa yang oleh istilah management modern disebut average high, orang rata-rata, tetapi rata-rata yang sangat tinggi. Secara rata-rata sangat tinggi kualitas mereka –bukan hanya satu atau dua saja yang tinggi kualitasnya– tetapi menyeluruh. Ya antara lain karena digembleng melalui sholat malam, sholat malam yang panjang dan kontinyu tersebut di atas.

Meskipun tidak lagi diwajibkan, sholat malam yang panjang dan kontinyu ini antara lain tetap menjadi ciri khas umat generasi sesudahnya yang juga masih sangat unggul. Hal ini terus berlanjut hingga ke zaman modern ini, tokoh-tokoh pejuang Islam abad ini pun meskipun tidak lagi menjadi kewajiban, mereka tetap mewajibkan dirinya sendiri untuk secara istiqomah menjalankan sholat sunnah di waktu malam ini.

Dengan contoh dari ayat-ayat tersebut di atas dan juga apa yang dilakukan oleh umat ini terdahulu, maka sesungguhnya di zaman ini pun kita seharusnya masih juga dapat membangun generasi orang-orang yang rata-ratanya unggul – average high - yang kapasitasnya sepuluh kali (QS 8 : 65) atau setidaknya dua kali (QS 8 : 66) dari kapasitas rata-rata musuh (dalam bidang apapun). Awalnya ya dimulai dengan belajar istiqomah sholat malam yang panjang untuk waktu minimal satu tahun – dan tentu kemudian tidak meninggalkannya setelah itu.

Mengapa sholat malam ini begitu berperan dalam membangun pribadi-pribadi unggul tersebut? Bayangkan pembelajaran dan pelatihan yang dihasilkannya, selain dikabulkannya do’a mereka di akhir malam. Bila melawan rasa kantuk saja kita tidak bisa, apakah kita akan bisa melawan musuh yang jauh lebih besar dari itu? Bila meninggalkan kenikmatan kehangatan selimut di malam hari saja kita tidak rela, apakah kita akan rela berkorban untuk tantangan yang lebih besar?

Musuh itu datang dalam berbagai bentuknya di sekitar kita. Ada riba yang bila kita tidak tinggalkan, kita akan menjadi musuh Allah dan RasulNya (QS 2 : 279), Ada ketidakadilan ekonomi yang memiskinkan sebagian besar umat ini, ada raksasa-raksasa konglomerasi yang siap mengambil satu-satunya kambing kita melalui keunggulan ‘perdebatannya’, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Tidakkah kita tergerak untuk bangun dari selimut kita untuk bisa melawannya?

Apa yang telah kita capai dalam bentuk kemewahan hidup, pekerjaan yang baik, gaji dan fasilitas yang baik –-kadang melengahkan kita untuk berbuat sesuatu yang riil bagi umat yang luas. Kemewahan yang kita nikmati di tempat kerja kadang juga membuat kita ignorance –masa bodoh bahwa lingkungan kerja kita sehari-harinya bersentuhan dengan riba, riswah, dan sejenisnya. Bahwa pekerjaan kita membuat kita bekerja untuk pemilik 99 ekor kambing yang dari waktu ke waktu mengembangkan teknik ‘berdebat’ sehingga bisa mengambil satu-satunya kambing yang dimiliki oleh kebanyakan umat.

Tidakkah kita takut bila Allah bertindak sesuai janjinya: “Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.” (Al Muzzammil – 11).

Ayo sekarang kita bangun generasi average high di segala bidang, kita taklukkan musuh juga di segala bidang. Generasi yang setiap diri kita mampu menaklukkan sepuluh atau setidaknya dua kali kekuatan musuh. Ayo bangun dari selimut kita...!

*)sumber: hidayatullah.com

Jangan Sampai #Bangkrut!!

0
Diposting oleh cahAngon on 01 April 2011 , in

1. "Akan datang pada hari kiamat, satu kaum yang membawa kebaikan sebesar Gn. Uhud, maka Allah jadikan ia bulu-bulu beterbangan.." #Bangkrut

2. Para sahabat bertanya, "Apakah mereka itu muslim ya Rasulallah?" -sebab sefaham mereka kekafiranlah yang jadikan amal sia-sia. #Bangkrut

3. Jawab Nabi mengejutkan, "Mereka muslim, mereka shalat sebagaimana kalian shalat, mereka puasa sebagaimana kalian puasa, dan.." #Bangkrut

4. "..bahkan mereka menegakkan shalat malam. Akan tetapi, jika bersunyi bersama apa yang dilarang Allah, mereka melanggarnya." #Bangkrut

5. Hadits diriwayatkan Ath Thabrany & dishahihkan Al Albani; peringatan penting agar kita tak membatalkan pahala amal sendiri. #Bangkrut


6. Apa saja yang membuat pahala 'amal kebaikan terhapus lalu kita menjadi #Bangkrut di akhirat? Mu'adz ibn Jabal RA mengurai 8 hal tuk kita.

"Khalauw bimahaarimiLlaah"; mungkin maksudnya shalih ketika bersama insan, tak bertaqwa kala sendiri. @mas_arief88 @ameliasq @NikenSitorus

Salah 1 tanda Mas Shalih, tapi yg ini lbh mdh menjangkit T_T “@aguskuncoroadi: Munafik? RT: shalih ktk bsm insan, tak bertaqwa kala sendiri.

6. Sebab #bangkrut akhirat pertama ialah Ghibah; membicarakan fakta ketakbaikan seseorang saat tak hadirnya, yang dia tak suka jika disebut.

7. Ghibah membuat #Bangkrut sebab kelak peng-ghibah akan diambil pahala kebaikannya untuk membayar rasa sakit & segala dampak gunjingannya.

8. Andai pahala peng-ghibah telah habis, sementara banyak korban gunjingan belum terbayar; dosa korban akan ditambahkan padanya. #Bangkrut

9. Kisah 2 wanita ahli puasa nan nyaris sekarat oleh beratnya Ramadhan. Orang-orang mengajukan permohonan agar diizinkan membatal. #Bangkrut

10. Tapi Nabi justru perintahkan keduanya muntah dalam mangkuk. Isinya sisa cernaan busuk, cairan bercampur darah & nanah anyir. #Bangkrut

11. Nabi katakan: "Lihat 2 saudari ini, mereka puasa dari apa yang dihalalkan, tapi membatalkannya dengan memakan bangkai saudara. #Bangkrut

12. "Demi Allah muntah yang keluar ini, kalah jauh menjijikkannya dibanding apa yang mereka telan." (HR Abu Dawud) #Bangkrut

13. Penyebab #bangkrut kedua: sombong. Sebab kesombongan seberat biji dzarrah saja telah mengharamkan ahlinya dari hak untuk masuk surga.

14. Sombong: enggan taat, menolak kebenaran, & meremehkan insan lain. Ia menyebabkan #bangkrut seperti Iblis yang terlaknat abadi.

15. Penyebab #bangkrut ketiga; riya', mengarahkan niat amal shalih sekedar pada pandangan kagum, cerita masyhur, & pujian manusia di dunia.

16. Sungguh menggiriskan; hadits tentang 3 orang pertama yang dipanggil di hadapan Allah kelak; seorang Qari', Muhsin, & Syahid. #Bangkrut

17. Pada Qari', ditunjukkan nikmat Allah padanya hingga ia memahami Al Quran & Fiqh dengan dahsyat lalu menjadi 'alim nan masyhur. #Bangkrut

18. "Betul Ya Rabbi, lalu aku berda'wah semata karenaMu", ujarnya. Allah berfirman, "Dusta kamu! Kamu hanya ingin digelari 'Alim!" #Bangkrut

19. Pada si kaya nan dermawan, Allah tampakkan betapa banyak karuniaNya. "Betul Ya Rabbi, lalu aku tunaikan hartaku di jalanMu!" #Bangkrut

20. Pada mujahid yang syahid ditampakkan nikmatNya. "Betul Rabbi, aku berjihad meninggikan kalimatMu!" Kata Allah: "Dusta! Dusta!" #Bangkrut

21. "Semua puja-puji manusia yang kalian harap dalam hati telah dilunaskan di dunia. Kau 'alim, kau dermawan, kau pahlawan." #Bangkrut

22. "Tak ada bagian dari balasan akhiratKu untuk kalian, ambillah tempat kalian di neraka.” (Kisah disarikan dari HR Al Bukhari) #Bangkrut

23. Sebab #bangkrut keempat; 'ujub, rasa kagum pada diri sendiri atas kebaikan jiwa & keshalihan 'amalnya. Sebab 'ujub adalah ketertipuan.

24. Bahaya 'ujub: membuat merasa cukup berkebaikan, terbuta dari aib-aib diri, & merasa tak berdosa (padahal rasa ini dosa berat) #Bangkrut

25. Sampai-sampai disebutkan para ahli hikmah; "Kalau sama-sama terbayang-bayang, maka dosa lebih baik daripada 'amal ibadah." #Bangkrut

26. "Dosa nan lahirkan sesal lebih baik daripada ibadah lahirkan bangga. Adam-dosa-taubat-diampuni. Iblis-ibadah-bangga-dilaknat." #Bangkrut

Begitu juga keliru Baiquni Shalih. Tetap beramal & berjuang tuk ikhlas ya;) “@muhammadbaiquni: saya jadi takut lakukan amal, takut riya :'(”

27. Demikian kata Ibn Atha'illah. Baru 4 dari uraian Mu'adz tentang sebab #Bangkrut; 4 lainnya kita lanjut esok insyaaLlah ya Shalih(in+at).

28. ADD: "Beramal karena ingin dilihat berarti syirik. Tak jadi beramal karena khawatir dilihat, itu riya'." -Fudhail ibn 'Iyadh- #Bangkrut

29. Sebab #bangkrut akhirat kelima adalah meniatkan ibadah hanya untuk dunia hingga tak tersisa pahala di akhirat (QS 2: 200).

30. Dalam hadits tentang niat; "Barangsiapa hijrahnya karena dunia yabg ingin dia raih, atau wanita yang ingin dia nikahi.." #Bangkrut

31. "..Maka hijrahnya hanya sekedar pada apa yang dia tuju." (HR Al Bukhari & Muslim). #Bangkrut sebab niat duniawi ini sangat disayangkan.

32. Al Ghazali mencatat beberapa contoh; shalat agar bugar, puasa agar pencernaan sehat, sedekah agar mendapat lebih banyak, dll. #Bangkrut

33. Semua ibadah kepada Allah memiliki fadhilah & hikmah, tapi jangan sampai keduanya -apalagi yang duniawi- dijadikan niat. #Bangkrut

34. Ini juga yang jadi kekhawatiran 'Umar saat harta Persia dibawa ke Madinah. "Celakalah jika balasan kebaikan kita disegerakan!" #Bangkrut

35. Pelajaran dari kisah 3 orang yang terjebak dalam gua lalu berdoa dengan tawassul pada 'amal shalihnya (HR Al Bukhari & Muslim) #Bangkrut

36. Adalah bahwa mereka menggunakan 'amalnya untuk lepas dari masalah SETELAH ikhlas mereka ukirkan, bukan diniatkan dari awal. #Bangkrut

37. Dan mereka pun 'TERPAKSA' melakukan sebab segala ikhtiyar telah buntu; dan bukan dengan sukaria meniatkan untuk dunia. #Bangkrut

38. Sebab #bangkrut keenam adalah hasad . Sebagaimana hadits: hasad memakan pahala 'amal kebaikan seperti api memakan kayu.

39. Orang berpenyakit dengki kehilangan banyak kesempatan berkebaikan, sebab; susah lihat orang senang, senang lihat orang susah. #Bangkrut

40. Siang & malam, pendengki memikirkan orang hingga tak sempat membekali diri sendiri. Hasad adalah dosa yang paling menyiksa. #Bangkrut

41. Bahkan andaipun ber-'kebaikan', pendengki selalu meniatkannya untuk membangun keunggulan saingnya, mengalahkan yang didengki. #Bangkrut

42. Dengki & dendam itu, kata 'Ali ibn Husain, seperti menenggak racun ke mulut sendiri lalu berharap orang lain yang akan mati. #Bangkrut

43. Sebab ke-7 #bangkrut akhirat ialah Qath'ur Rahim: memutus silaturrahim dalam kekeluargaan, kekerabatan, persaudaraan, persahabatan, dst.

44. Memutus silaturrahim termasuk dosa yang disegerakan 'adzabnya di dunia, di samping #bangkrut ahlinya kelak di akhirat (HR Al Bukhari)

45. Memutus silaturrahim dengan sikap diam, perkataan, & perbuatan dibenci Nabi; dilarang duduk di majelis beliau (HR Al Bukhari) #Bangkrut

46. Sebab mengandung nama Allah -Ar Rahiim-, memutuskannya merupakan kezhaliman pada manusia sekaligus kezhaliman pada Allah. #Bangkrut

47. "..Dan bertaqwalah pada Allah yang dengan namaNya kamu saling meminta & menyambung silaturrahim.." (QS 4: 1) #Bangkrut

48. Sebab ke-8 #bangkrut di akhirat adalah kezhaliman. Sungguh ia merupakan kegelapan berat di hari pengadilan.

49. Sebab tiap orang nan dizhalimi; jiwa, harta, maupun kehormatannya berhak mengajukan tuntutan & balasan kepada yang menzhalimi. #Bangkrut

50. Semakin banyak yang dizhalimi; semakin ruwet & panjang urusan. Yang paling berpeluang hadapi banyak gugatan adalah pemimpin. #Bangkrut

51. FRAGMEN. Sulaiman ibn 'Abdil Malik: "Amboi banyaknya jama'ah haji!" 'Umar ibn 'Abdil 'Aziz: "Semuanya musuhmu di depan Allah!" #Bangkrut

52. 'Umar ibn 'Abdil 'Aziz bermimpi melihat Al Hajjaj ibn Yusuf dibunuh oleh Allah sebanyak pembunuhan yang dilakukannya di dunia. #Bangkrut

53. OOT. Yang bercita menjadi Presiden RI juga harus mengingat; ada 250 Jt orang yang siap menjadi pendakwanya kelak di akhirat. #Bangkrut

54. Demikian 8 hal penyebab #bangkrut akhirat yang disebutkan Mu'adz ibn Jabal. Dalam lafazh Muslim disebutkan Mu'adz bertanya pada Nabi.

55. "Faman najaa Ya RasulaLlah? Maka siapa orangnya yang bisa selamat dari hal-hal itu ya Nabi?" tanya Mu'adz.

56. Jawab Nabi: "Akhlish lidiinika, fayakfiika 'amalul qaliil. Bermurnilah pada agamamu, maka cukup bagimu 'amal yang sedikit." #Bangkrut

57. Semoga Allah menjaga kita dari #bangkrut di dunia, terlebih di akhirat. Mari sucikan hati & diri dari 8 perusak 'amal. BrkLlh fikum:)