Kisah Pemulung Supriono & Merindukan Sosok Khalifah Umar bin Khattab r.a

0
Diposting oleh maz pato on 19 Mei 2012

Sri suwarni, warga Manggarai, Jakarta Selatan, terkejut bukan kepalang, kakinya gemetar. Supriono, pria yang perna mengontrak rumah petaknya, bertandang secara tiba-tiba dengan cara aneh, mengendong mayat anaknya. Tamu yang sehari-hari berprofesi sebagai pemulung itu mengaku kebinggungan mencari tempat untuk menguburkan anaknya, “ kata Supriono kepada Sri, pada sebuah Magrib hari Minggu, 5 juni lalu.

Awalnya, Sri mengira anak dalam gendongan Supriyanto itu tidur lelap. Apalagi Supriono, pria asal Muntilan, Jawa Tenggah, itu menggendong mayat Nur Khaerunisa, anaknya, seolah sedang meninabobokan. “ saya piker dia mau jalan-jalan dan butuh ongkos,” kata Sri kepada Tempo, jumat pekan lalu. Sri jadi lemas ketika di jelaskan bahwa anak dalam gendongan itu telah menjadi mayat.

Pertemuan Supriono dengan Sri itu merupakan ending drama memilukan yang dialami pemulung kardus dan botol plastik bekas itu. Sekaligus menjadi akhir kisah sedih Supriono sepanjang hari, menyusuri jalan-jalan Jakarta dengan menggendong anaknya yang telah tiada. Tanpa diminta, Supriono pun bercerita kepada Sri Suwarni.

Awal juni lalu adalah awal dari kegundahan Supriono. Anak bungsunya, Nur Khaerunisa, sedang sakit muntaber, sementara biaya berobat tidak ada. “ Saya hanya membawanya sekali ke puskesmas, dokter menyuruh merawat inap, tapi saya tidak punya uang, “ kata Supriono. Apa boleh buat, tubuh kecil tidak berdaya itu meringkuk di gerobak berukuran sekitar 2 meter persegi, berbaur dengan kardus dan botol plastik bekas. Dalam kondisi seperti itu, Khaerunisa masaih dibawa ayahnya bekerja memungut barang-barang bekas.

Sebenarnya, dokter di puskesmas setiabudi, Jakarta Pusat, meminta Supriono membawa kembali anaknya untuk berobat. Kemelaratan yang mendera keluarga pemulung itu menbuat sang ayah menolak anjuran dokter. Sekali berobat ke puskesmas, dia harus membayar Rp. 4.000. meski biaya berobat itu sama dengan ongkos parkir mobil di Jakarta kota, Supriono tidak sanggup membayarnya karena ia hanya seorang pemulung.

Sebagai pemulung, penghasilannya sekitar Rp. 10 ribu setiap hari. Uang itu harus cukup untuk biaya makan dia dan dua anaknya. Muriski Saleh dan Nur Khaerunisa. Bagaimana bisa mengobati anak, apalagi sampai menungguinya di puskesmas? Pekerjaan pemulung harus tetap dijalani. Khaerunisa yang lemas kesakitan terpaksa pula dibawa dalam gerobak, sesekali dicandai oleh kakaknya, Muriski saleh.

Tuhan rupanya turun tanggan menyelamatkan gadis cilik tanpa dosa ini, setelah empat hari meringkuk dalam gerobak, Khaerunisa dipanggil menghadap ke haribaan-Nya. Pikul 07.00 pagi di hari Minggu, bocah berumur 3 tahun itu menghembuskan napas terakirnya di peraduan Tuhan, sebuah gerobak tua yang berada di sebuah “rumah” yang lapang tanpa atap dan dinding, di bawah kereta laying kawasan Cikini. Supriono berkabung, Muriski tak tahu adiknya meninggal, dan orang-orang sibuk lalu lalang.

Supriono merogoh saku bajunya. Ada sedikit uang tersisa, tapi tak sampai Rp. 10.000. “ jangankan menguburkan anak, untuk membeli kain kafan saja saya tidak mampu,” katanya. Kemelaratan membuat Supriono nekat ingin membawa mayat Si bungsu ke Kampung Kramat, Bogor, menggunakan kereta rel listrik ( KRL ) Jabotabek. Disana, sebuah lokasi tempat kaumnya para pemulung bermukim, dia berharap mendapat bantuan penguburan. Jakarta tak memungkinkan hal itu. Begitu terlintas dalam pikiran Supriono.

Mayat si bungsu pun dibawa menggunakan gerobak, alat kerja sekaligus tempat tidur kedua anaknya setiap hari. Dia menyusuri Jalan Cikini, Manggarai, menuju Stasiun Tebet. Mendekati Stasiun, Khaerunisa dibopong menggunakan kain sarung layaknya menggendong anak yang masih hidup, agar tidak terlihat sudah meninggal, wajah gadis mungil itu ditutup kain kaus. Sementara itu tangganya yang lainnya menuntun Muriksi Saleh, bocah enam tahun.

Melihat pria menggendong anak dengan muka tertutup, seorang pedagang minuman iseng bertanya, “saya jawab anak saya sudah mati dan akan dibawa ke Bogor,” kata Supriono berterus-terang. Keterusterangan ini membawa celaka, calon penumpang lain yang mendengar jawaban itu serontak geger. Hari gini gendong mayat naik KRL? Supriono pun digelandang bak pesakitan ke kantor polisi Tebet.

Supriono lalu diperiksa di polsek Tebet, lebih dari empat jam duda cerai dengan Sariyem itu di interogasi aparat. Kesimpulannya, polisi tetap curiga, lalu memutuskan mengirim mayat Khaerunisa untuk di otopsi. Supriono tunduk dan menyerah. Tetapi di kamar mayat RSCM, dia menolak tegas anaknya di otopsi. Masalahnya, ia tidak punya uang untuk biaya otopsi itu, selain dia kasihan melihat mayat putrinya yang sudah tenang dibedah. Tubuh kaku Khaerunisa akhirnya tidak jadi dibedah, namun Supriono meneken surat pernyataan penolakan otopsi.

Aneh bin ajaib ( atau karena Supriono seorang pemulung? ), mayat kecil itu diperbolehkan dibawa keluar rumah sakit dengan cara digendong. Ke mana sang anak harus dikuburkan? Pertanyaan itu menghujani pikiran Supriono. Dalam keadaan binggung, ia membopok mayat anaknya ke jalanan. Sejumlah sopir ambulans sempat menawarkan jasa untuk mengangkut mayat itu. Jasa? Ya, jasa di Jakarta berarti uamg. Sopir ambulans mengurungkan jasa itu begitu mendengar Supriono tidak punya uang untuk membayar.

Orang kecil seperti ditakdirkan berteman dengan orang kecil. Para pedagan sekirat RSCM, beberapa orang lagi yang kebetulan ada di trotoar, mulai urunan memberi uang sekedarnya untuk Supriono. Merasa cukup punya uang dari sedekah, supriono memanggil sopir bajaj. Ia tiba-tiba teringat Sri Suwarni, pemilik rumah petak yang perna disewanya beberapa tahun lalu. Bajaj pun meluncur ke jalan Manggarai Utara VI,Jakarta Selatan, rumah petak Ibu Sri.

Sri menetaskan air mata. Perempuan mana yang tidak menangis mendengar kisah sedih di hari Minggu itu? Tubuh mungil dalam balutan kain sarung warna merah kekuningan itu lantas direngkuh dari dekapan Supriono. Mayat itu lalu di baringkan diatas kasur tipis yang berada di ruang tamu rumahnya. Wanita berusia 40 tahun itu lalu meminta bantuan tetangganya. Warga setempat akhirnya dengan tulus urunan membantu mengurus jenazah, ada yang membeli kain kafan, ada yang memasang bendera kuning disudut-sudut gang, ada yang berdoa dan memandikan. Keesokan harinya, putri bungsu Supriono dimakamkan di Blok A6 No.3 Taman Pemakaman Umum ( TPU ) Menteng Pulo, bunga surga itu pun akhirnya bisa beristirahat dengan tenang, diantar orang-orang miskin yang kaya amal.


Kisah Supriono, bak cerita dari negeri donggeng, menyentak banyak orang. Berbagai media cetak dan telivisi mengangkat berita itu menjadi headline. Berbagai kalangan menyatakan berniat menyumbang, dari sekedar memberi dana, memberi pekerjaan pada Supriono, sampai membiayai sekolah Muriksi Saleh. Pendek kata, cerita pilu pemulung itu mengusik naluri masyarakat yang kini semakin materialistis.

Menurut Asisten Bagian Kesejahteraan Masyarakat Sekda DKI Jakarta, Rohana Manggala, kasus Supriono seharusnya tidak terjadi selama ini Pemda menyediakan pelayanan gratis bagi orang tidak mampu. “Syaratnya mudah, tinggal meminta surat keterangan tidak mampu dari RT/RW dimana dia berdomisili,” katanya. Agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi, Rohana berharap pengurusan RT aktif melakukan sosialisasi soal ini.

Siapa sebenarnya Supriono? “ saya mengenal keluarga Supriono hanya sebentar. Tahun 2003 lalu mereka mengontrak rumah petak saya”. Kata Sri Suwarni. Ketika itu, Supriono mengontrak sebuah kamar berukuran 6 meter persegi. Sewa rumah panggung berdinding papan tripleks dan seng bekas itu perbulan Rp. 140 ribu. Saat tinggal dirumah kantrakan, kata Sri, Supriono bersama istrinya Sariyem membawa banyak perabotan seperti televisi 20 inci dan kipas angin.

Sri tidak mengikuti perkembangan Supriono sejak keluarga itu tidak lagi mengontrak rumahnya. Terakir kabar yang diterima Sri adalah Supriono bercerai dengan istrinya, yang memilih pulang kampung, sejak pisah dengan istrinya, Supriono hidup menggelandang dengan dua anaknya menyusuri jalan-jalan di Jakarta. Dia sengaja membuat gerobak kayunya tertutup di bagian tengahnya untuk tempat tidur dan berlindung dua anaknya. Di bagian depan gerobak di buat kotak yang digunakan untuk menyimpan baju dan keperluan anaknya. “saya mangkal di halte depan Gereja ( Isa Almasih ) Cikini. Kalau lagi hujan, gerobak saya bawa ke halte, biar anak-anak tidak kehujanan,” tutur Supriono tentang “domisilinya” itu.

Tuan-tuan pejabat di DKI, kalau domisili Supriono seperti itu, ke mana dia harus meminta surat keterangan tidak mampu?.

Dikutip dari Majalah Berita Mingguan TEMPO, edisi 13-19 Juni 2005


Sebagai Umat Islam, pastilah kita mengenal sosoknya. Sosok yang begitu amat dikagumi kala itu, salah satu Amirul Mu’minin “Umar bin Khattab”. Walaupun kita tidak mengenal sosok beliau secara pribadi tetapi melalui membaca sejarah, kita dapat mengetahui bagaimana beliau bisa menjadi seorang Amirul Mu’minin yang begitu dicintai oleh rakyatnya.Saat ini, kita hanya dapat mengenal sosok beliau melalui sejarah saja. Andai kita dapat ikut merasakan bagaimana rasanya kepemimpinan beliau, mungkin kita sebagai Umat Islam akan merasa bersedih. Karena hingga saat ini Indonesia belum mampu mempunyai seorang sosok “Pemimpin Pro Rakyat”.
Pemimpin Indonesia, masih sering memikirkan dirinya sendiri tak peduli dengan rakyatnya. Jauh berbeda dengan sosok Amirul Mu’minin “Umar bin Khatab”. Sebagai pengganti khalifah Abu Bakar, mestinya khalifah Umar mendapat gaji lebih banyak dari Abu Bakar, sebab wilayah kekhalifahan islam semakin luas, sehingga semakin banyak pula tugas dan kewajiban khalifah Umar, rakyatpun semakin makmur. Tetapi ia meminta penerimaan gajinya sama dengan khalifah Abu Bakar pendahulunya.
Para sahabat merasa iba dan prihatin atas sikap dan kesederhanaan khalifah Umar itu. Beberapa kali mereka mengusulkan agar khalifah umar mau menerima gaji yg sesuai dengan tanggung jawabnya, namun usulan itu selalu di tolaknya.
“Kenapa kalian memaksaku untuk menerima gaji yg melebihi dari kebutuhanku?” kata khalifah Umar. “Ketahuilah meskipun Rasulullah diampunkan dosanya yg telah lewat dan yg akan datang, namun beliau tetap memilih hidup melarat, tetapi tetap bersemangat dalam beribadah, apalagi aku?”. Itulah khalifah Umar bin Khattab yg terkenal dengan kezuhudanya. Meski dia sebagai kepala negara atau amirul mukminin, dia tak tergiur oleh gemerlapnya harta benda. Jangankan untuk korupsi, mengambil yg menjadi haknya sendiri saja ia enggan melakukannya.
Itulah sosok Umar bin Khatab yang tidak mau menerima gaji yang besar walaupun tanggung jawab yang beliau emban cukuplah besar. Berbeda sekali dengan para pemimpin kita saat ini, inginnya gaji besar tetapi tanggung jawab yang diemban cukup kecil.
Selain itu Umar bin Khatab adalah sosok seorang pemimpin yang tidak pernah mau melihat anaknya hidup berfoya-foya walaupun ayahnya adalah seorang pemimpin. Suatu hari Umar bin Khattab r.a mendengar bahwa salah seorang anaknya membeli cincin bermata seharga seribu dirham. ia segera menulis surat teguran kepadanya dengan kata-kata sebagai berikut: “Aku mendengar bahwa engkau membeli cincin permata seharga seribu dirham. Kalau hal itu benar, maka segera juallah cincin itu dan gunakan uangnya untuk mengenyangkan seribu orang yang lapar, lalu buatlah cincin dari besi dan ukirlah dengan kata-kata, “Semoga Allah merahmati orang yang mengenali jati dirinya.”
Marilah kita lihat saat ini kehidupan anak-anak para pemimpin kita. Mereka bisa hidup enak dan berfoya-foya dengan segala fasilitas negara. Tanpa mereka sadari bahwa apa yang mereka gunakan adalah milik rakyat.
Umar bin Khatab juga merupakan seorang pemimpin yang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahannya dengan berani. Hal ini pernah terjadi ketika Umar bin Khattab r.a sedang berkhutbah,” Jangan memberikan emas kawin lebih dari 40 uqiyah (1240 gram). Barangsiapa melebihkannya maka kelebihannya akan kuserahkan ke baitul maal.” Dengan berani, seorang wanita menjawab,”Apakah yang dihalalkan Allah akan diharamkan oleh Umar? Bukankah Allah berfirman,……sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka sejumlah harta, maka janganlah kamu mengambil dari padanya sedikitpun………(An Nisaa’:20) Umar berkata,” Benar apa yang dikatakan wanita itu dan Umar salah.
Apakah saat ini kita pernah melihat pemimpin kita yang mau mengakui kesalahnnya tanpa pernah mau mengalahkan orang lain. Dengan besar hati dan legowo mau mengakui segala kesalahan yang telah dilakukannya.
Umar bin Khatab juga merupakan seorang pemimpin yang sangat peduli pada rakyatnya. Hal ini sangat berbeda dengan para pemimpin kita saat ini. Tak ada pemimpin yang peduli dengan rakyat sepedulinya Umar bin Khatab, beliau selalu meninjau rakyatnya dari rumah ke rumah tanpa diketahui oleh rakyatnya. Jika sekarang mana ada pemimpin yang mau seperti itu berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain untuk melihat saat ini rakyatnya sedang makan apa. Mereka tidak peduli sama sekali.
Inilah cerita tentang ibu yang memasak batu untuk menipu anak anaknya yang sedang kelaparan. Suatu malam Umar bersama Aslam salah seorang ajudannya menyamar untuk melakukan inspeksi keluar masuk kampung untuk melihat kondisi rakyatnya. Di salah satu sudut kampung terdengarlah  rintihan pilu anak anak yang sedang menangis, dan di sana Umar menemukan seorang ibu yang sedang memasak sesuatu di tungkunya. “Wahai ibu anak anak mu kah yang sedang menangis itu? Apa yang terjadi dengan mereka?”
“Mereka adalah anak anakku yang sedang menangis karena kelaparan” jawab sang Ibu sambil meneruskan pekerjaannya memasak.
Setelah memperhatikan sekian lama, Umar dan Aslam keheranan karena masakan sang ibu tidak juga kunjung siap sementara tangisan anak anaknya semakin memilukan. “Wahai Ibu, apa yang engkau masak? Mengapa tidak juga kunjung siap untuk anak anakmu yang kelaparan?” . “Engkau lihatlah sendiri … “ dan alangkah terkejutnya Umar ketika melihat bahwa yang sedang di masak sang ibu adalah setumpuk batu. “Engkau memasak batu untuk anak anakmu?!!??”
“Inilah kejahatan pemerintahan Umar Bin Khattab …. “ rupanya sang ibu tidak mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya, “ … wahai orang asing, aku adalah seorang janda, suamiku syahid di dalam perang membela agama dan negara ini, tapi lihatlah apa yang telah dilakukan Umar, dia samasekali tidak peduli dengan kami, dia telah melupakan kami yang telah kehilangan kepala rumah tangga pencari nafkah. Hari ini kami tidak memiliki makanan sedikitpun, aku telah meminta anak anakku untuk berpuasa, dengan harapan saat berbuka aku bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan … tapi rupanya aku telah gagal mendapatkan uang .. memasak batu aku lakukan untuk mengalihkan perhatian anak anakku agar melupakan laparnya …. “
“ …. sungguh Umar Bin Khattab tidaklah layak menjadi seorang pemimpin, dia hanya memikirkan dirinya sendiri”
Aslam sang ajudan hendak bergerak untuk menegur sang sang Ibu, hendak memperingatkan dengan siapa dia sedang berbicara saat ini. Tapi Umar segera melarangnya dan serta merta mengajaknya untuk pulang. Bukannya langsung beristirahat, Umar segera mengambil satu karung gandum dan dipikulnya  sendiri untuk diberikan kepada sang Ibu.
Beratnya beban karung gandum membuat Umar berjalan terseok seok, nafasnya tersengah engah dan keringat mengalir deras di wajahnya. Aslam yang melihat ini segera berkata “ Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang membawa karung gandum itu …. “
Umar memandang Aslam sang ajudan “ … Wahai Aslam! Apakah engkau ingin menjerumuskan aku ke neraka? Hari ini mungkin saja engkau mau menggantikan aku memikul beban karung ini, tapi apakah engkau mau menggantikan aku untuk memikulnya di hari pembalasan kelak?”
Tak ada pemimpin jaman sekarang yang mau melakukan apa yang telah dilakukan oleh Umar? Jangankan menggendong sekarung gandum, buku agenda atau kertas catatan yang ringan saja pun akan meminta sang ajudan untuk membawakannya.
Apakah masih ada pemimpin seperti Umar yang merelakan tidur nyenyaknya hilang karena berusaha untuk melihat, mencari tahu dan berhadapan secara langsung dengan penderitaan rakyatnya? Dan bukannya hanya sekedar mendengar dari ‘ bisik bisik manis’ sang ajudan dan orang orang terdekat, atau sekedar laporan ABS (Asal Bapak Senang).
Umar bin Khatab merupakan seorang sosok yang sangat sederhana. Hal itu dapat dilihat ketika beliau kedatanggan beberapa utusan dari Kekaisaran Romawi ke kota Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khattab RA. Dalam benak mereka terbayanglah sosok Khalifah Umar bin Khattab RA yang akan mereka temui adalah seorang raja yang sedang duduk di atas singgasananya dalam sebuah istana yang megah dan mewah serta dikelilingi oleh para pengawal dan pasukan yang banyak. Karena mereka tidak mengetahui di mana istana Khalifah Umar, maka mereka bertanya kepada salah seorang yang mereka temui di jalan dan memintanya untuk menuntun mereka untuk menemui Khalifah Umar. Lalu sampailah mereka di suatu tempat yang terdapat sebuah pohon kurma, lalu sang penunjuk jalan berkata : “Inilah Khalifah Umar pemimpin kami yang anda ingin temui.” Terperanjatlah para utusan itu karena yang mereka lihat adalah seseorang yang sedang tidur sendirian di bawah pohon kurma, hanya mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa seorangpun pengawal di sampingnya.
Coba lihat sekarang, Istana negara yang berencana mau mengganti pagar Istananya dengan dana yang mencapai milyaran rupiah, walaupun mendapat kritikan dari berbagai pihak. pemimpin kita juga memberikan berbagai alasannya juga.
Sangat menyedihkan memang, entah kapan Indonesia akan memiliki pemimpin yang pro pada rakyatnya. Tidak harus mirip atau menyerupai tetapi setidaknya adalah sedikit saja kemiripan seperti yang Umar bin Khatab miliki. Semoga suatu saat akan muncul seorang pemimpin Indonesia yang pro dengan rakyatnya. Amien
(kompasiana.com)

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar