BISNIS MLM SYARIAH

0
Diposting oleh maz pato on 25 Juni 2012
Telaah Kritis Analitis terhadap
Fatwa DSN No : 75/DSN MUI/VII 2009
Tentang PLBS (Penjualan Langsung Berjenjang Syariah)
 
Bersama Ust. H.M. Sofwan Jauhari Lc, M.Ag
 
 
Utk pengaturan institusi yang terakhir, DSN MUI telah menerbitkan fatwa No 75 tahun 2009 tentang PLBS (Penjualan langsung Berjenjang Syariah), namun regulasi yang berbentuk UU atau peraturan lain tentang MLM syariah secara khusus memang belum ada. Bahkan di kalangan akademisi banyak yang memandang remeh MLM dan meragukan kehalalan-nya. Padahal, di Indonesia saat ini setidaknya terdapat 8 juta penduduk yang terlibat aktif dalam industry MLM. Karena Syariah Islam harus menjawab semua permasalahan ummatnya, maka kajian tentang hal ini menjadi penting. Saat ini di Indonesia ada sekitar 600 perusahaan MLM, dan 62 dantaranya adalah legal dan sudah menjadi anggota APLI/ Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia sebagai wadah resmi perusahaan MLM di Indonesia.
Dalam fatwa tersebut, DSN MUI menyebutkan ada 12 persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan MLM untuk bisa dikategorikan sesuai dengan syariah dan berhak mendapatkan SERTIFIKASI BISNIS SYARIAH. Tulisan ini bertujuan melakukan kajian kritis analitis terhadap 12 persyaratan yg termaktub dalam fatwa tersebut.
Keyword : Fatwa – PLBS – money game.
A. Pengantar : Pengertian dan kedudukan hukum suatu fatwa.
Fatwa adalah penjelasan atas suatu hokum syar’I [2], fatwa merupakan suatu jawaban atas sebuah pertanyaan, oleh karena itu terbitnya suatu fatwa pasti melibatkan mustafti dan mufti, dan fatwa itu sendiri [3]. Mustafti adalah pihak yg meminta fatwa, atau pihak yang bertanya, dan mufti adalah pihak yg mengeluarkan fatwa atau yang menjawab pertanyaan tersebut. Dalam tulisan ini, DSN MUI bertindak sebagi mufti dan mustafti adalah institusi yang mengajukan pertanyaan, yang bisasanya adalah perusaahaan yg terkait dengan fatwa tersebut.   Sedangkan fatwa itu sendiri adalah jawaban atas pertanyaan tsb.
Meskipun fatwa adalah jawaban atas sebuah pertanyaan mustafti, namun fatwa berlaku umum sebagaimana suatu riwayat atas suatu pendapat, dia tidak hanya berlaku bagi pihak yang bertanya/mustafti ,tetapi boleh digunakan oleh siapa saja [4]. Meskipun demikian, fatwa tidak bersifat mulzim/ mengikat [5], hal ini berarti bahwa semua orang diperbolehkan mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI, akan tetapi tidak semua orang terikat oleh fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI. Konsekswensinya adalah, mengikuti fatwa itu bersifat suka rela, yang setuju silahkan mengikuti, yang tidak setuju maka boleh berbeda pendapat dengan DSN MUI. Oleh karena itulah tulisan ini diharapkan dapt memberikan penjelasan yg lebih detail bagi masyarakat luas yang mungkin tidak mengetahui maksud fatwa tersebut karena masih bersifa global, baik yang ingin melaksanakan fatwa tersebut maupun ingin sekedar menjadikan bahan perbandingan dalam pendapat.

B. Pertimbangan & Dasar Hukum Fatwa DSN MUI No 75.
Fatwa DSN MUI terkait MLM adalah fatwa no 75/DSN MUI/VII/2009 Tentang   Penjualan Langsung Berjenang Syariah /PLBS.   Dalam fatwa tersebut dicantumkan beberapa hal,
  1. Pertimbangan : Yg menjadi bahan pertimbangan dasar bagi fatwa ini adalah telah merebaknya praktek penjualan barang dan jasa dengan system MLM yang berpotensi merugikan masyarakat serta ketidak pastian pelaksanaannya, apakah sudah sesuai dg prinsip syariah ataukah belum, sehingga DSN MUI melihat perlunya fatwa mengenai MLM atau PLBS.
  2. Dasar hokum: dasar hokum yang dipakai dalam fatwa tersebut adalah beberapa Al-quran, hadits dan Kaidah       Fiqh. Untuk ayat Al-Quran yang menjadi dasar hukumnya adalah QS       4:29, 5:1, 5:2, 83:1-3, 2:198, 2:275, 2:279, 5:90 yg menurut hemat penulis ayat-ayat tersebut masih bersifat umum tentang larangan memakan harta orang lain dg cara yang bathil, larangan mendzalimi org lain, larangan mengurangi takaran/timbangan dan larangan maysir (judi) serta beberapa perintah yaitu perintah menepati akad, perintah tolong menolong, serta keterangan       tentang halalnya jual beli serta mencari karunia Allah. Diantara sekian banyak dalil dari Al-Quran yg agak spesifik berkaitan dengan MLM adalah larangan maysir dan larangan berbuat dzalim. Dari ayat-ayat tersebut, fatwa tersebut ingin mengarahkan bahwa praktek MLM tidak boleh ada unsure-unsur berikut kedzaliman, mengambil hak orang lain dengan cara yg bathil, dan tidak boleh curang dalam takaran/timbangan       atau perhitungan bonus, serta tidak mengandung unsure maysir atau perjudian.
Selain dasar hokum dari Al-Quran, ada beberapa hadits yang menjadi dasar hokum dalam fatwa tersebut, intisari dari hadits-hadits yg menjadi dsar hokum fatwa tersebut berisi : kewajiban seorang muslim untuk memenuhi kontrak/akad yg sudah disepakati bersama, bolehnya melakukan syirkah atau kerjasama, larangan berbuat dzalim, larangan berbuat bahaya, larangan khianat, larangan jual beli yang mengandung unsure gharar (ketidak jelasan), larangan menipu dan larangan risywah.  
Selain beberapa hal tersebut, hadits yang juga menjadi dasar hokum fatwa tersebut adalah hadits yang melarang jual beli anjing, khamr, bangkai, dan patung serta jasa pelacuran. Hadits-hadits   ini dimaksudkan sebagai adanya larangan menjual belikan produk atau jasa yg haram, dalam praktek MLM maksudnya adalah bahwa komoditas yang dijual melalui MLM harus merupakan produk barang atau jasa yang halal. Istidlal atau penggunaan hadits-hadits tersebut dalam fatwa ini diarahkan bahwa MLM tidak boleh mengandung unsure dzulm, gharar, dzarar, khianat, risywah, penipuan dan mengambil hak orang lain serta tidak menjual barang atau jasa yang diharamkan.
  1. Selain Al-Quran dan Hadits dalil lain yang menjadi dasar hokum terakhir untuk i fatwa tersebut adalah dua (2) Kaidah fiqh , yaitu  
الأصل في المعاملات الإباحة حتى يدل دليل على تحريمها
"Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali ada dalil yg memerintahkannya, sedangkkan asal dari hokum transaksi dalam muamalat, adalah halal ( boleh dikerjakan), kecuali ada dalil yg menunjukkan keharamannya"[6]
Kaidah ushul fiqh yg pertama ini diarahkan untuk beristidlal bahwa melakukan inovasi dalam akad bisnis adalah mubah, walaupun MLM tidak ada di jaman rasulullah saw, bukan berarti bahwa secara mutlak semua bentuk MLM adalah haram. Sedangkan kaidah ushul fiqh yg kedua untuk beristidlal bahwa marketing plan atau system pembagian di dalam MLM harus sesuai dengan kadar kerja masing-masing member, mereka tidak mendapatkan sesuatu/ bonus yang bukan merupakan hasil kerjanya.
Sebagai sebuah lembaga yang dinaungi pemerintah, DSN MUI selain menjadikan dalil-dalil syar’I sebagai landasan hukumnya, fatwa tersebut juga menjadkan beberapa peraturan pemerintah yaitu Peraturan menteri Perindustrian dan erdagangan No 73 tahun 2000 serta No 289 tahun 2001. Selain itu juga peraturan menteri perdagangan No 36 tahun 2007 serta no 32 tahun 2008. Kajian tentang peraturan menteri ini tidak menjadi obyek kajian dalam tulisan ini.
C. Dua belas (12) point Persyaratan MLM syariah.
Bagian ini merupakan kandungan terpenting dalam fatwa tersebut, yaitu mengenai 12 point persyaratan yang harus terdapat dalam sebuah industry/peusahaan MLM. Sebuah perusahaan atau industry MLM dianggap HALAL dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syaraiah apabila memenuhi 12 point persyaratan. Yaitu :
  1. Adanya obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa.
Syarat pertama ini merupakan rukun akad yang harus dipenuhi[7] oleh semua akad,seperti akad bai’ atau jual beli, ijarah, murabahah, bahkan akad nikah sekalipun. Setiap akad harus memenuhi rukun-rukunya yaitu (1) ada para pihak yang berakad, (2) ada sighot akad (ijab dan qabul) (3) ada obyek akad, jika suatu akad tidak memenuhi rukun-rukun tersebut, maka akadnya menjadi batal.   Dalam prakteknya memang ada beberapa perusahaan yang mengklaim sebagai industry MLM namun mereka tidak menjual produk barang ataupun jasa apapun, ada yang menyatakan bahwa yang mereka jual adalah hak usaha, bahkan ada yang menyatakan bahwa yang mereka bayarkan itu adalah suatu sedekah.
            Hal ini bisa menjadi tolok ukur bagi masyarakat yang paling mudah, apabila ada perusahaan yang mengklaim sebagai industry MLM namun mereka tidak menjual produk barang maupun jasa, maka jelas ini tidak memenuhi prinsip syariah, kemungkinannya mereka adalah sebuah money game atau perjudian.
Sebagai sebuah kritik penulis bahkan melihat ada beberapa industry MLM yang mana obyek akadnya adalah jasa pemberangkatan haji atau umroh, meskipun ini jasa haji atau umroh harus diwaspadai, dan DSN MUI perlu memberikan fatwa yang lebih terang mengenai MLM yang menjual produk jasa hai atau umroh. Beberapa alasan yang menurut penulis perlu dilakukannya kajian ulang mengenai MLM yg menjual jasa haji atau umroh adalah :
  1. a.Tahuntelah terjadi kasus penipuan money game dengan kedok MLM Haji yang kasusunya telah ditangani oleh Polda Jatim[8], kasus ini melibatkan Yayasan amal Muslim Indonesia (YAMI) yang berkantor di Hotel brantas Jalan kayun no 76-88 Surabaya. dan GoldCuest dan telah menipu dana masyarakat 4.5 M lebih.
  2. b.MLM yang menjual jasa akan sangat sulit memenuhi akadnya secara syar’I, karena MLM dalam bidang jasa akan cenderung menggunakan system binary, system pyramid/ skema ponzi yang sebenarnya adalah sebuah money game yg dalam fiqh disebut dengan maysir (judi).
  3. c.System binary akan mengalami perkembangan sangat cepat karena setiap member didorong untuk memiliki keanggotaan lebh dari satu, biasanya mrk didorng untuk memiliki membership 1, 3, 7 atau 15 dan system yang mereka miliki akan selalu gagal karena perkembangan yg sangat cepat diluar kemampuan para programmer dan perusahaan.
  4. d.MLM dalam bidang jasa, haji misalnya, akan kesulitan memberikan jasa kepada member yang telah mendaftar atau membayar, karena setiap jasa yg diberikan harus melibatkan adanya sejumlah downline tertentu. Misalnya untuk memberangkatkan haji 1 member harus ada 10 downline, utk memberangatkan 10 member harus ada100 downline, …. Utk membeangkatkan 1 juta member harus ada 10 juta downline, hal ini pasti akan mengalami titik jenuh, dan para member yang paling belakangan tidak akan dapat berangkat haji, dan perusahaan tidak akan mampu mengembalikan uang yg telah mereka bayarkan kepada perusahaan.
  1. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;
Berdasar beberapa dalil yang dimuat dalam fatwa tersebut, utamanya 2 hadits yang melarang jual beli anjing, khamr, bangkai, babi, patung [9], jasa paranormal dan pelacuran [10] maka fatwa tersebut mengharamkan MLM yang menjual produk yang haram atau yang sengaja diperuntukkan sesuatu yang haram. Misalnya MLM dilarang menjual produk minuman yang memabukkan, makanan yang mengandung babi, termasuk yang diergunakan untuk sesuatu yang haram menurut penulis adalah menjual pakain yang mempertontonkan aurat atau alat-alat perjudian.
Dalam implementasinya, MUI mempunyai bagian yang disebut dengan LP POM MUI untuk memberikan sertifikasi Halal pada produk barang yang dijual oleh semua perusahaaan di Indonesia, baik yg dijual oleh indiustri MLM maupun non MLM . hanya saja MUI tidak mewajibkan sertifikasi halal harus diberikan oleh MUI, tetapi sertifikas produk Halal bisa disberikan oleh lembaga lain di luar negeri seperti JAKIM di Malaysia ataupun IFANCA.
Masyarakat perlu mengetahui bahwasanya ada Sertifikasi Halal dan ada labelisasi Halal. Sertifikasi diberikan kepada produk tertentu dan tidak dicantumkan pada setiap kemasan produk, sedangkan labelisasi halal dicantumkan pada setiap produk yg dijual kepada konsumen.
  1. Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba, dharar, dzulm, maksiat;
Dalam point ke tiga ini fatwa menjelaskan adanya 6 point yang terlarang dalam setiap industry MLM.
  1. a.Larangan gharar.   gharar adalah setiap transaksi yang tidak jelas, atau bahkan mengandung unsur penipuan secara sengaja. Ketidak jelasan mungkin terjadi pada harganya, jenis atau spesifikasi barang yang diperjual belikan, ukuran atau takarannya, ketidak jelasan hasilnya, ketidak jelasan atau ketidak pastian serah terima barang yg diperjual belikan, atau tidak jelas atas efek apa yang akan muncul dari transaksi tersebut, dan ketidak jelasan ini mengandung unsur khathar (bahaya/resiko) bagi sebagian atau seluruh pihak.Yakni ketidak jelasan atau penipuan mengacu pada hadits point d yaitu Rasul melarang jual beli dengan system melempar batu dan jual beli gharar.[11]
  2. b.Larangan maysir yang mengacu kepada QS 5:Maysir atau perjudian, adalah segala bentuk transaksi yang mengandung unsur untung-untungan, taruhan, yang ketika akad itu terjadi hasil yang akan diperolehnya belum jelas, dalam transaksi tersebut akan ada sebagian pihak yang diuntungkan dan sebagian pihak yang dirugikan.
  3. c.Larangan unsur riba mengacuQS 2:275. Secara umum Riba dapat kita kelompokkan menjadi dua macam, yaitu Riba Nasi'ah dan Riba Fadl.
  4. 1.Riba Nasiah ربا النسيئة  
Nasi-ah artinya penundaan, yaitu Riba yang terjadi dalam suatu suatu transaksi karena adanya unsure penundaan, baik yang terjadi dalam jula beli maupun dalam transaksi hutang piutang. Riba Nasi-ah merupakan jenis riba yg populer pada jaman jahiliyah.
Contoh Riba Nasi-ah yang popular adalah riba yang terdapat dalam Qardl (hutang piutang) yaitu seseorang memberikan qordl kepada pihak lain sejumlah uang dalam tempo yg disepakati, dan pihak mustaqridl (orang yang berhutang) harus membayar pada waktu yg disepakati dg sejumlah tambahan tertentu sesuai dg waktu yang disepakati pula.
Riba inilah riba yg diharamkan oleh Al-Quran   Riba ini pada dasarnya terjadi   pada aqad qardl, akan tetapi dia juga bias terjadi dalam akad jual beli seperti orang yang menjual/menukar emas dengan emas tetapi satunya diserahkan saat akad, dan satu lagi diserahkan 3 bulan setelah akad.
  1. 2.Riba Fadl ربا الفضل
Fadl artinya kelebihan, yaitu riba yang terjadi dalam suatu transaksi pertukaran atau jual beli, di mana penjual dan pembeli melakukan akad jual beli antara barang yang sama (sejenis) tetapi terdapat perbedaan kwantitas. Riba Fadl adalah jenis riba yang diharamkan melalui hadits nabi, contohnya yaitu apabila seseorang menukar gandum dengan gandum tetapi tidak sama ukurannya.
Hanya saja dalam hal ini terdapat perbedaan apakah riba fadl berlaku pada jenis harta tertentu yang disebutkan dalam hadits, atau juga berlaku pada jenis harta lain yang dapat dikiaskan dengan yang disebutkan dalam hadits, jika dilakukan qias, apa yang menjadi 'illat atau standar   dalam melakukan qiyas.
Hadits yangdimaksud dalam hal ini adalah :
- قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ
إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَالْفِضَّةَ بِالْفِضَّةِ إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْتُمْ .
Dari Abu Bakrah ra berkata: Rasulullah saw bersabda Janganlah kamu jual mas dengan mas kecuali sama ukurannya, dan janganlah (kamu jual) perak dengan perak kecuali sama ukurannya. Dan jualllah mas dengan perak atau perak dengan mas sesuai kehendakmu HR Bukhari.[12]
  1. d.Larangan dzulm mengacu pada QS 2:279.
  2. e.Larangan unsure dzarar (yang membahayakan) mengacu pada hadits poin b yaitu sabda rasul :Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.[13]
  3. f.Larangan maksiat mengacu kepada kaidah umum dalam Islam yg sudah sangat jelas.
Kajian tentang riba, maysir dan gharar telah penulis lakukan dalam tulisan tersendiri. Para pembaca dapat merujuk kajian tentang hal ini dalam tulisan tersebut.[14] Dalam industry MLM kemungkinan adanya unsure riba dan maysir terletak pada system pembagian bonus atau marketing plan, bukan terletak pada produknya, hal ini tidak mudah bagi masyarakat untuk mengetahui apakah marketing plan MLM tersebut mengandung unsure riba dan maysir atau tidak. Sedangkan unsure gharar (ketidak jelasan atau penipuan) bisa terdapat dalam produk maupun marketing plann.
4. Tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh;

Dalam bab Jual beli ada istilah Khiyar Ghibn. Ghibn adalah ketidak sesuaian antara harga dengan barang. Khiyar ghibn adalah hak untuk melakukan cancellation (ilgho’) dalam jual beli yg terjadi karena harga yg ditentukan oleh penjual tidak sesuai dengan harga pasar (harga umum), khiyar ini dibenarkan dg catatan penjual dan atau pembeli tidak mengetahui harga pasar serta tidak mahir melakukan proses tawar menawar, ghibn adalah salah satu bentuk penipuan.

Namun para ulama tidak sepakat dalam hal khiyar ghibn ini ; [15]
  1. a.Imam Ahmad dan Malik : Khiyar Ghibn dibenarkan sesuai dg hadits Hibban bin Munqidz. Namun mereka berbeda beda mengena batasan ghibn ygdibenarakan, adanya yg mengatakan minimal 1/3 dari harga, ghibn yg mencolok atau sesusai dg 'urf setempat.
  2. b.Jumhur : Mengatakan bahwa Khiyar Ghibn tidak dibenarkan dalam syariah, adapaun hadits Hibban adalah merupakan kondisi khusus dimana salah satu pihak adalah merupakan orang yg lemah kemampuan akalnya tetapi tidak sampai keluar dari kategori mumayyizDalam fiqh jual beli ada istilah khiyar ghibn. Yaitu hak penjual atau pembeli untuk melakukan ilga’ (cancellation) terhadap akad jual beli yang sudah sah, manakala salah satu pihak merasa dirugikan karena harga yang telah diberikan melebihi harga pasar.

Dengan demikian, larangan excessive mark-up bagi industry MLM sebenarnya masih merupakan hal yang bersifat relative mengenai tingkat kemahalannya dan mash bersifat khilafiyah dalam kedudukan hukumnya, namun nampaknya DSN MUI mencantumkan syarat ini dalam fatwanya dengan mengikuti pendapat imam ahmad dan malik, dan ini barangkali akan menjadi positif karena lebih kepada membela kepentingan masyarakat konsumen, agar perusahaan tidak mengambil keuntungan yang berlebihan sehingga dapat merugikan konsumen, hal ini juga untuk mengendalikan agaor perusahaan tidak melakukan praktek money game dengan produk-produk yang bersifat kamuflase, seakan-akan menjual suatu produk tetapi produk itu sebenarnya hanya menjadi alat agar seakan-akan ada produk riilnya.


5. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;
Point ini merujuk kepada kaidah fiqh yg tersebut dalam fatwa yaitu :
الاجر على قدر المشقة
upah adalah sesuai dengan jerih payah atau usaha.   Untuk meneliti apakah sebuah MLM menerapkan point persyaratan ini atau tidaknya, kita dapat melihat dari marketing plann atau system pembagian bonus yang berlaku pada perusahaan tersebut. Diantara indikatornya adalah apakah anggota yang mendaftar belakangan berpeluang mendapatkan bonus yg lebih besar dibanding anggota yang mendaftar lebih duluan, apakah downline bisa melebihi upline, jika jawabannya adalah YA, maka kemungkinan besar MLM tersebut menerapkan konsep upah sesuai dengan jerih payah, namun jika jawabannya adalah TIDAK maka kemungkinan besar MLM tersebut tidak sesuai dengan point persyaratan ini.
Dengan persyaratan ini, maka setiap member, kapanpun dia mendaftar akan memiliki peluang untuk sukses, dan berpeluang mendapatkan bonus besar, karena bonus akan diberikan sesuai dengan usaha yang dilakukan oleh member tersebut.
Indikator lain berlaku atau tidaknya point ini adalah, MLM tersebut tidak hanya menitik beratkan pada perekrutan member baru, tetapi sangat peduli terhadap pembinaan member yang ada serta menekankan pada penjualan produk. Karena dengan kewajiban membina downline serta kewajiban menjual mereka harus bekerja secara kontinyu, berbeda halnya jika mereka mendapatkan bonus yang besar hanya dengan merekrut, maka perekrutan bisa dilakukan dengan janji-janji yang mungkin sulit untuk dipenuhi.
Meskipun demikian, perlu dimaklumi bahwa kaidah fiqh ini adalah ungkapan yang diberikan oleh ulama’, dia bukan dalil qoth’I dari quran atau sunnah sehingga kebenarannya tidaklah bersifat mutlak. Perhatikan ungkapan Imam Ibnu Taimiyah[16] berikut ini :
وْلُ بَعْضِ النَّاسِ: الثَّوَابُ عَلَى قَدْرِ الْمَشَقَّةِ لَيْسَ بِمُسْتَقِيمِ عَلَى الْإِطْلَاقِ كَمَا قَدْ يَسْتَدِلُّ بِهِ طَوَائِفُ عَلَى أَنْوَاعٍ مِنْ " الرَّهْبَانِيّاتِ وَالْعِبَادَاتِ الْمُبْتَدَعَةِ " الَّتِي لَمْ يَشْرَعْهَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ جِنْسِ تَحْرِيمَاتِ الْمُشْرِكِينَ وَغَيْرِهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ مِنْ الطَّيِّبَاتِ
معجم المناهي اللفظية
الأجر على قدر المشقة: هذه العبارة من أقاويل الصوفية، وهي غير مستقيمة على إطلاقها، وصوابها: ((الأجر على قدر المنفعة)) أي منفعة العمل وفائدته كما قرر ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية، وغيره
Kaidah ini merupakan ungkapan para ahli tasawwuf, yang tidak sepenuhnya benar, harusnya adalah Pahala/upah itu sesuai dengan manfaatnya. Yakni manfaat perbuatan itu seperti yang disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah[17].

6. Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan;
          Persyaratan ini mengacu kepada ketentuan umum tentang akad, khususnya yang berkaitan dengan MLM seperti akad ijarah atau ju’alah. Hanya saja menurut saya dalam prakteknya banyak orang yang tidak memahami system pembagian bonus dalam perusahaan MLM yang dia masuk di dalamnya, hal ini bukan berarti tidak jelas, sebenarnya besaran bonusnya jelas seperti yang tertera dalam marketing plan, tetapi banyak orang yang tidak mau repot. Hal ini seperti yang terjadi dalam akad Bank Syariah, dalam pengamatan sederhana yang saya lakukan banyak penabung di bank syariah yang tidak mengetahui akad apa yang dipakainya, syarat dan ketentuan apa yang berlaku di bank, mereka hanya membubuhkan tanda tangan tanpa membaca.
7. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;
Passive Income atau komisi pasif seringkali menjadi hal yang diidam-idamkan oleh setiap pelaku MLM, apalagi moneygame yang berkedok MLM, banyak dari pelaku MLM yang menjanjikan passif income. Hal ini menjadi kritik point bagi pelaku MLM Syariah. Adanya passive income pada satu member biasanya –mau tidak mau- mengharuskan adanya kerja keras daripada pihak yg lainnya agar target penjualan dan keuntungan perusahaan tetap tercapai sehingga dapat membagikan bonus kepada para anggotanya. Jika passif income ini terjadi, maka dugaan kuat yang terjadi dalam rantai MLM tersebut adalah ketidak adilan anggota, ada yg bekerja keras namun mendapatkan bonus yg minimal dan di sisi lain akan ada member yang tidak melakukan kegiatan usaha apapun tetapi memperoleh bonus yg sangat besar karena mereka telah berada pada posisi tertentu.
MLM syariah megharuskan setiap member/pelaku untuk selalu bekerja secara kontinyu sampai kapanpun,pada peringkat tertinggi dalam keanggotannya sekalipun, meskipun jenis pekerjaan mungkin berbeda. Dalam MLM ada beberapa jenis pekerjaan seperti memprospek atau mencari calon anggota baru, presentasi kpd calon anggota baru, merekrut, memfollow up member baru, menjual produk, membimbing downline, memberikan training dan pelatihan, mengontrol jaringan , dan bisa jadi ada yang hanya berperan mirip sebagai konsultan.
MLM yang tidak menerapkan system passive income di dalamnya, biasanya selalu ada kewajiban tutup point, yakni kewajiban menjual produk bagi setiap member dalam jumlah tertentu setiap bulannya. Hanya saja bagi masyarakat awam, kewajiban tutup point ini justru menjadi hal yg dianggap tidak menarik bagi perusahaan MLM itu, tetapi ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh MLM syariah, logikanya adalah, jika setiap member tidak ingin menjual produk, atau member bisa mendapatkan bonus tanpa harus menjual, dari mana perusahaan akan mendapatkan keuntungan dan membagikan bonus kepada member?
Dengan kata lain MLM Syariah biasanya selalu ada kewajiban tutup point atau kewajiban melakukan pembinaan agar tidak terjadi passive income.

8. Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.
Ighra’ adalah memberikan iming-iming atau janji-janji manis yang berlebih-lebihan. Ketentuan DSN MUI dalam fatwa ini, menurut penulis, sebenarnya lebih merupakan panggilan atau control moral. Di dalam dunia tasawwuf ada istilah hubbub dunya atau thuulul amal. (cinta dunia - banyak berangan-angan). Dua sifat ini merupakan ahlak yg tidak baik karena akan membuat seseorang terlena dengan kehidupan dunia dan lalai terhadap kehiduoan akhiratnya.
Sebenarnya Ighra’ dalam batas tertentu bisa jadi merupakan hal yg positif, karena dengan adanya ighro, iming-iming atau insentif yang dijanjikan, seseorang akan termotifasi untuk melakukan suatu pekerjaan atau untuk bekerja lebih keras. Tanpa ada motifasi maka manusia akan cenderung bermalas-malasan, hanya saja motifasi itu tidak boleh berlebihan. Ini menjadi PR bagi para pelaku MLM, bagaimana agar motifasi yg diberikan kepada membernya dilakukan secara wajar, tidak berlebih-lebihan. Sebenarnya tindakan beberlebih-lebihan itu terlarang dalam apa saja,badah seperti sholat dan shaum pun jika dilakukan secara berlebihan juga dilarang, mislanya sholat sunnah 1000 rakaat setiap malam, dan shaum sepanjang tahun tanpa istirahat.  Jadi pengertian berlebihan dalam memberikan iming-iming ini bersifat universal, tidak hanya dalam industry MLM, dan masih bersifat relative - normative.
9. Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya;
Mengukur ada atau tidak adanya eksploitasi dalam pembagian bonus MLM merupakan hal yg tidak mudah, standar kwalitatif ini belum ada, tetapi untuk bisa dipahami secara mudah, khsususnya bagi akademisi yg pada umumnya belum melirik kepada industry MLM, secara umum ada atau tidaknya eksploitasi dapat diketahui dari marketing plannya. Sebagai salah satu tolok ukurnya adalah : jika marketing plannya memberikan peluang kepada setiap member yg mendaftar lebih dalu pasti mendapatkan bonus yg lebih besar, maka ini adalah salah satu bentuk eksploitasi yang dilarang, kemungkinan besarnya MLM tersebut tidak dapat memenuhi fatwa ini, sehingga belum dapat dikategorikan sebagai industry MLM Syariah.
MLM yang tidak melakukan eskploitasi antar anggota akan memberikan peluang yang sama kepada setiap member, dan akan memberikan bonus sesuai hasil kerjanya, tidak peduli apakah dia bergabung lebih dahulu ataukah bergabung belakangan. Semua member berpeluang untuk menjadi besar.
10. Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan lainlain;
Ini adalah point/persyaratan ke sepuluh dalam fatwa DSN MUI mengenai MLM Syariah. Kebanyakan MLM sering mengadakan berbagai pertemuan/event mulai dari presentasi peluang usaha, pemberian penghargaan, training dan pembinaan anggota, ulang tahun, touring sebagai insentif dan lain-lain. Kegiatan ini sebenarnya tidak terkait secara khusus dengan dunia MLM dan tidak terkait langsung dengan akad-akad yang ada dalam kegiatan bisnis MLM. Artinya : Perusahaan apapun, konvensional ataupun MLM akan dihadapkan pada kemungkinan untuk melakukan acara –acara seremonial seperti ulang tahun perusahaan, gathering, pesta, penghargaan kepada karyawan teladan atau bahkan ketika perusahaan mendapatkan prestasi tertentu. Kegiatan-kegiatan ini juga tidak selama nya menjadi kewajiban setiap member. Seorang member bisa saja merekrut banyak anggota dan menjual produk sebanyak mungkin tanpa harus menghadiri acara tersebut, meskipun ini jarang terjadi.
Jadi, point persyaratan ke-10ini sebenarnya tidak hanya berlaku bagi industry MLM tetapi berlaku setiap perusahaan dan bahkan bagi usaha perorangan, point ini juga berlaku untuk berbagai kegiatan dalam dunia pendidiakan, social dan politik dll.
11. Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya tersebut;
Dalam suatu hadits[18] rasul bersabda :
2121 - عَنْ ابن عُمَر، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُول الله صَلى الله عَلَيه وَسَلم: كلكم راعٍ وكلكم مسئول عَنْ رعيته، فالأمير الّذي عَلَى الناس راعٍ عليهم وهو مسئول عنهم، والرجل راعٍ عَلَى أهل بيته وهو مسئول عنهم وامرأة الرجل راعية عَلَى بيت زوجها وولدها وهي مسئولة عنهم، وعبد الرجل راعٍ عَلَى مال سيده وهو مسئول عَنْ رعيته.
Dari Ibnu Umar berkata, bahwa rasulullah saw bersabda : setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung atas orang-orang yg dipimpinnya. Seorang amir (ketua) atas sekelompok orang bertanggung atas (keadaan) mereka dan akan diminta pertanggung jawabannya, seorang lelaki adalah pemimpin atas keluaarganya dan akan diminta pertanggung jawaban nya, seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya dan akan diminta pertanggung jawabannya, seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan akan diminta pertanggung jawabannya. HR Malik.

Hadits ini nampaknya terlewatkan dalam fatwa tersebut, karena menurut penulis ini merupakan hadits yg dapat dijadikan pedoman atas point persyaratan ke-11 dalam fatwa ini, namun tidak dicantuman dalam pertimbangan atau tidak menjadi dalil yang dijadikan landasan tertulis dalam fatwa tersebut.
Menurut penulis, dimasukkannya persyaratan ini dalan fatwa tersebut merupakan hal yang positif, meskipun boleh jadi ajaran ini merupakan hal yg bersifat general-universal dalam semua hal seperti yg tersebut dalam hadits. Dalam prakteknya memang banyak money game yg berkedok MLM, mereka hanya mengutamakan perekrutan anggota baru kemudian para anggota itu dibiarkan begitu saja. Hal ini antara lain dikarenakan perusahaan hanya memerlukan uang iuran pendaftaran dari setiap member yang bergabung, perusahaan mungkin tidak menjual produk riil sehingga tidak perlu pembinaan, perusahaan yang demikian ini mungkin bahkan memang berencana untuk tidak hidup dalam masa yang panjang, sehingga tidak perlu pembinaan.
Seorang upline tidak tertarik untuk membina downline nya, karena perusahaan tidak mementingkan penjualan produk, atau bahkan menafikan hal tersebut. Dengan penjelasan ini maka salah satu indicator MLM Syariah adalah bagaimana para member yang menjadi anggota lebih dulu memberikan kepedulian dan bimbingan yang maksimal kepada member yang masuk belakangan. Hal ini akan menjadi sangat positif jika pembinaan yang dilakukan oleh mereka mendapatkan dukungan yang sepenuhnya dari pihak perusahaan.
12.Tidak melakukan kegiatan money game.
Seringkali ditemukan kerancuan istilah antara MLM atau pemasaran berjenjang dengan permainan uang (money game). Money Game adalah perjudian murni yang tidak ada produk apapun dalam bentuk barang ataupun jasa. Moneygame selalu mengacu kepada skema ponzi atau sistem piramida. Namun lebih bahayanya, seperti yang pernah penulis temukan di lapangan adalah money game ini terkadang menggunakan baju agama dengan istilah ibadah atau sedekah. Bagi penulis, money game dengan baju ibadah adalah seperti pelacur yang berkata bahwa dirinya melacurkan diri demi untuk menafkahi keluarganya.
Dalam fatwa ini, money game didefinisikan sebagai : kegiatan penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan/ pendaftran Mitra Usaha yang baru/bergabung kemudian, dan bukan dari hasil penjualan produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang dijual tersebut hanya kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas yg dapat dipertanggungjawabkan.

Demikianlah kajian analitis terhadap fatwa DSN-MUI no 75 tahun 2009 tentang PLBS (Penjualan Langsung Berjenjang Syariah). Semoga tulisan ini bermanfaat bagi masyarakat pemerhati, pelaku, pengusaha industry MLM dan bagi masyarakat umum, wallahu a’lam bish showab.


[1] Dosen STIU Dirosat Islamiyah Al-Hikmah, Tinggal di Perumahan Persada Depok Blok C4/02 Depok   HP: 0818-654.479   email : sofwanjauhari@gmail.com"> sofwanjauhari@gmail.com
[2] Aljizani, Muhammad bin Husain bin Hasan, Ma’alim ushul al-fiqh ‘inda ahli as-sunnah wal jamaah, Dar ibn al-jauzi, hal 503, Cet V, 1427 H.
[3] Ibnu Solaah, Abu ‘amr, Utsman bin Abd Rahman, taqiyyuddin,(wafat : 643H)   Adabul mufti wa mustafti, editor : DR Muwaffiq Abd Qadir Abdullah, hal 23, maktabah al-’ulum wal hikam, Madinatul munawwarah, cet II, 2002.
[4] Aljizani, ibid, 503.
[5] Az-Zuhayli, Wahbah Az-zuhayli DR, Alfiqhul islaami wa adillatuhu, I, hal 19 , Darul Fikr, Cet IV, Damaskus.
[6] Al-Qahtani, Abu Muhammad Solih bin Muhammad bin Hasan Aalu umair al-asmariy, Majmuatul fawaa-idul bahiyyah ‘alaa mandzuumatil qawaaidil fiqhiyyah, edito r Mutib bin Masud al-ju’aid, darush shumai’I, KSA, Cet I, 1420 H, hal 75. ;   e-book : Talqiihul af-haam al-‘aliyyah   bisyrahil qawaidil fiqhiyyah, walid dan rasyid as-saa-‘iidaan editor : Salman bin Fahd Al-audah, II, hal 1.
[7] Zuhayli, idem, IV, 432.
[8] YAMI : Money Game berkedok MLM Haji, dimuat pada majalah : Info APLI, Edisi XVII, Januari-Maret 2005, hal 10-11
[9] Bukhori, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Sohih Bukhori, editor Muh Zuhar bin Nasir An-nasir, Daaru Thawqun najaat, cet I, 1422, Jilid III, hal 84 hadits nomer   2236.
[10] Bukhori, ibid,   hadits nomer   2237.
[11] Muslim, Abul Hasan Muslim bin hajjaj alqusyairi an nasisaburi (wafat 261 H) , Sohih muslim, editor Muhammad Fuad Abdul baqi, Daaru ihyaut turaats, Beirut, Jilid III, hal 1153, hadits ke 1513.
[12] Bukhori, ibid,   Juz III,   hal 74, hadits ke 2175.
[13] Ibnu majah, Abu abdillah Muhammad bin yazid alqazwini, (wafat 273H), Sunan Ibnu MAjah, editor Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihyaul kutub alrabiyah, Juz II, hal 784, hadits ke 2340.
[14] Jurnal ilmiah DIRASAT, STIU Dirosat islamiyah Al-hikmah , Volume 2 , Oktober 2010, hal 62-75.
[15] Alfaqii, Muhammad Ali Utsman, Fiqhul muaamalat dirasah muqaranah, Darul mariih, Riyadh KSA, 1986, hal 251-253.
[16] Ibnu Taimiyah, Taqiyyuddin Abul Abbas, Ahmad bin Abdul HAlm, (wafat 728 H), Majmu’ al-fataawa, editor : Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, Badan Penerbitan Mushaf Alquran KSA, Madinah, 1416 H , Juz 10, hal 620.
[17] Bakar bin Abdullah Abu Zaid bin Muhammad, Mu’jam almanahi allafdziyah wa fawaaid fil alfadz, Dar al-ashima, Riyadh, cet III, 1417,hal 80.
[18] Malik bin anas bin Malik almadani, Almuwaththo, editor Bsyar Awad Ma’ruf & Mahmud Kholil, Ar-risalah, th 1412 H, Juz II, hal 182.

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar