"Keledai Demokrasi"
Nandang Burhanudin
Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan itu
menangis dengan memilukan selama berjam-jam sementara si petani
memikirkan apa yang harus dilakukannya. Akhirnya, si petani memutuskan
bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup –
karena berbahaya), jadi tidak berguna untuk menolong si keledai. Dan ia
mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. Mereka membawa
sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur. Pada mulanya, ketika si
keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian.
Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam.
Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur. Si petani
melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya.
Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan
kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-
guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah,
lalu menaiki tanah itu. Sementara tetangga-tetangga si petani terus
menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga
mengguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja, semua orang
terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri!
***
Sahabat, di beberapa fanspage megalomania, terdapat tulisan-tulisan yang
menusuk jiwa siapapun yang masih mengedepankan akhlak mulia dalam
berdakwah. Selain tulisan KILAAB Al-Gharb (anjing-anjing Barat), muncul
lagi tulisan yang temanya sama-sama binatang: yaitu HIMAAR
AD-DIMUQRATHIYYAH (Keledai Demokrasi).
Di beberapa negera Arab seperti di Mesir, kata HIMAAR memang lazim
digunakan untuk menunjuk batang hidung orang yang bodoh, dungu dan
terperdaya. Mungkin tulisan KELEDAI DEMOKRASI di atas maksudnya, para
penganut demokrasi lebih mirip keledai. Termasuk orang-orang yang
memperjuangkan kejayaan Islam dan kaum muslimin via demokrasi. Logikanya
jika yang setuju dengan demokrasi disebut keledai, lantas para
penikmatnya layak disebut apa ya?
Keledai, ternyata adalah makhluk Allah yang memiliki keunggulan
dibanding manusia. Walau tentu, manusia yang paling mulia. Namun
ternyata di www.anneahira.com disebutkan, bahwa keledai termasuk hewan
pekerja keras, murah, dan bertenaga besar. Digunakan lebih kurang 5.000
tahun mengabdi kepada manusia. Bahkan ternyata, kemampuan visual keledai
mengalahkan kemampuan visual manusia. Beberapa hasil penelitian
kontemporer menyebutkan, keledai dapat melihat dengan sinar infra merah.
Artinya keledai dapat melihat setan, karena setan terbuat dari api.
Sedangkan manusia tidak bisa melihat setan.
***
Sahabat, jika kita menelaah ksiah keledai masuk sumur di atas, maka kita
akan menemukan tamsil sarat makna. Keledai yang dianggap bodoh
kecemplung sumur, mirip dengan keadaan umat Islam yang hingga kini terus
digunjang chaos, carut marut, hingga pelecehan.
Di tataran akidah, banyak umat Islam yang karena ingin hidup subur lebih
percaya kepada Eyang Subur daripada Allah Ta'ala Maha Ghafur. Di
tataran ekonomi, umat hanya menjadi "jongos", "kuli" mulai di negeri
sendiri hingga di luar negeri. Masalah politik, umat pun disuguhi
kisruh. Bahkan di tahun 2013, ada gubernur yang muslim berani melarang
penggunaan kerudung/jilbab panjang. Bahkan hak-hak umat Islam sedikit
demi sedikit termarjinalkan, dikalahkan agama Konghuchu yang baru diakui
di era Gusdur. Ragam masalah di atas teramat berat. Sungguh kehidupan
terus saja menghimpit, seperti keledai yang terperosok dan dihimpit
tanah dan kotoran. Segala macam tanah dan kotoran.
Di tengah himpitan itulah, kita melihat pola perjuangan umat yang makin
hari makin mundur ke belakang. Berteriak lantang menerapkan Islam
Kaaffah, tanpa mempersiapkan infrastruktur memadai agar Islam bisa
menyeluruh diterapkan. Kita buta bahwa masyarakat Islam telah lama
dibuat BODOH, MISKIN, tak berdaya. Ibarat keledai, secara sistemik tidak
keledai dimatikan potensi dan kemampuannya.
Nasihat Imam Ali mengatakan, "Kefakiran menyebabkan kekufuran." Umat
fakir di segala bidang. Mereka dekat dengan kekufuran. Rasanya sangat
bertolak belakang, jika perjuangan yang digembar-gemborkan tidak
menyentuh dan menyelesaikan kefakiran: ilmu, sains, materi, bahkan cara
berIslam dengan benar.
Tentu ada baiknya kita belajar kepada keledai di atas. Bahwa cara untuk
keluar dari “sumur” (kesedihan, masalah, prahara, derita, nestapa,
problematika) adalah dengan MENGGUNCANGKAN/MENGGERAKKAN badan dan
fikiran agar segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran dan hati
kita) berjatuhan. Kemudian kita jadikan sebagai penopang untuk melangkah
naik dari “sumur”.
Jadi kita tak perlu terlalu lama MENGINJAK-INJAK kotoran-kotoran tanah
yang dijejalkan oleh pihak luar. Sebagaimana kita tidak perlu terlalu
lama menginjak-injak demokrasi. Kita jadikan demokrasi sebagai alat,
agar tidak terbenam. Karena tugas kita memang bukan menjadikan demokrasi
sebagai inti perjuangan. Tapi ia dijadikan sebagai media berpijak,
untuk kemudian keluar dari masalah yang yang menghimpit.
Keledai di atas saja mampu menggunakan kecerdasan yang sedikit itu, ia
tak diam, berpangku tangan, apalagi hanya sekedar teriak mengeluarkan
suara kencang. Jika ia pasif, tak lama ia akan terbenam. Pun demikian
dengan kita, di setiap kotoran-kotoran kehidupan, baik kotoran yang
lahir di dalam maupun kotoran yang diimpor dari luar, andai saja mau
sedikit cerdas: kita gunakan kotoran sebagai satu batu pijakan untuk
melangkah naik ke atas. Sebelum kita berbicara menjadikan senjata makan
tuan. Kita dapat keluar dari “sumur” yang terdalam dengan terus
berjuang, dan tidak menyerah.
Singkatnya, di alam demokrasi seperti di Mesir, Libia, Tunisia, siapapun
bebas menunjuk atau mencaci maki orang lain dengan julukan sekehendak
hati: Keledai, salah satunya. Namun terbukti, banyak penelitian yang
mengungkap, bahwa keledai itu memiliki kecerdasan yang cukup, di samping
kewaspadaan, bersahabat, ceria dan mau belajar. Bahkan keledai yang
ditempatkan di kandang yang sama dengan kuda, ia akan mempelajari cara
untuk bersikap tenang saat menghadapi kuda yang "ambek".
Yang tidak boleh terjadi adalah, jika keledai hanya sekedar berteriak
lantang. Karena Al-Qur'an menjelaskan bahwa suara keledai adalah suara
terburuk. Persis seperti pepatah Arab mengatakan, "Lam aro himaaran yufakkiru kal-basyar. Walaakinni qaabaltul-katsiir minal-basyar yufakkiruuna kal-hamiir." (Aku
tak pernah melihat ada keledai yang berfikir seperti manusia. Tapi aku
menemukan banyak manusia yang berfikir seperti keledai).
Jadi masih relakah kita dengan metode dakwah yang menunjuk orang lain
keledai, sementara tanpa sadar, kita adalah manusia yang berfikir
seperti keledai?
Wallahu A'lam
0 komentar:
Posting Komentar