Air Mata Awan....

0
Diposting oleh cahAngon on 30 Januari 2011 , in
Pada suatu hari, serombongan orang kafir bertamu kepada Rsulullah saw. Nabi membagikan para tamu itu kepada para sahabatnya. Semuanya sudah dibawa sahabat ke rumah-rumah mereka kecuali seorang. Ia tertinggal di mesjid. Tubuhnya luar biasa besar. Tampaknya tak seorang pun sahabat yang mampu menjamu sang raksasa. Rasulullah SAW mengambil dia sebagai tamunya. la ditempatkan di sebuah rumah.

Ia memakan habis makanan untuk porsi 18 orang. Ia minum habis semua susu yang diperah dari tujuh ekor kambing. Perutnya ternyata lebih besar dari tong kosong. Pelayan marah karena ia menelan semua makanan dengan rakus. Ia meninggalkan rumah itu dan mengunci pintunya dari luar.

Di tengah malam, sang raksasa terdesak untuk buang hajat. Perutnya sakit. Ia bermaksud keluar, tapi menemukan pintu terkunci. Dengan berbagai cara, ia berusaha membuka pintu. Setelah berulang-ulang gagal, ia merayap ke tempat tidurnya. Pada waktu itu, “desakan alam” tak dapat ditahan lagi. Ia mengeluarkan kotoran di rumah. Berbagai perasaan berkecamuk di hatinya: malu, terhina. bingung, takut. Sepanjang sisa malam itu, ia memasang kupingnya, berharap mendengar pintu dibuka.
Menjelang subuh, ia mendengar pintu terbuka. Ia meloncat ke luar. Ia ingin melarikan diri dari semua derita dan rasa malunya. Ia tak tahu bahwa yang membuka pintu itu adalah Nabi al-Musthafa. Nabi sengaja menyembunyikan dirinya. agar orang itu tidak malu dengan apa yang dilakukan di rumahnya.
Di pagi hari, seorang sahabat mengantarkan tikar yang pernah ditiduri orang kafir itu. “Lihat, ya Rasul Allah, apa yang telah diperbuat tamu itu.” Nabi SAW mengambil tikar itu sambil tersenyum dengan senyuman rahmatan lil’alamin.
“Ambilkan air. Biar kotoran ini, aku bersihkan,” ujar Nabi.
Para sahabat meloncat, “Demi Allah, jangan. Biarlah tubuh dan jiwa kami menjadi tebusanmu, ya Rasul Allah. Wahai yang disapa Tuhan dengan La-Amruk (Al-Qur’an 15: 72). Kami sepatutnya berkhidmat kepadamu. Kalau engkau yang melakukan perkhidmatan, apa jadinya kami.”
“Saya tahu,” ujar Nabi. “Tapi ini peristiwa luar biasa. Aku punya alasan mengapa aku harus melakukannya.”
Beberapa saat kemudian, orang kafir itu sadar bahwa ia kehilangan azimatnya. Ia menduga azimat itu tertinggal di rumah Nabi. Meski rasa malunya besar, ketakutan kehilangan barang berharganya lebih besar lagi. Dengan jantung bergetar, ia menelusuri jalan kembali. Dan di situ, ia menyaksikan pemandangan yang meluluh-lantakkan hatinya: tangan Rasul sedang membersihkan kotoran yang dibuangnya. Ia menjerit pilu. Ia memukul kepalanya sambil berkata, “Duhai kepala yang tak punya pengertian.” Ia memukul dadanya dan berkata. “Duhai dada yang tak memperoleh cahaya.”
Ia mengangkat kepalanya ke langit, tapi mengalamatkan ucapannya kepada Nabi, “Wahai, yang karenanya diciptakan seluruh alam semesta. Engkau begitu rendah hati mematuhi perintah Tuhan. Aku tidak punya muka lagi untuk melihatmu, duhai kiblat dunia!” Tak henti-hentinya ia meraung, menjerit, dan gemetar. Tangan agung yang membersihkan kotoran itu menepuk-nepuk tubuhnya. menenteramkan hatinya, dan membukakan matanya.
Kisah yang sangat sarat lambang ini diceritakan Jalaluddin Rumi dalam Mastnawi-nya. Setelah itu, Rumi menjelaskan kepada kita makna kisah ini dengan kuplet-kuplet berikutnya: “Sebelum awan menangis, mana mungkin taman bisa tersenyum. Sampai bayi menangis, mana mungkin air susu mulai mengalir. Bayi satu tahivn saja tahu: aku akan menangis, supaya perawat yang baik datang. Tidakkah engkau tahu bahwa Sang Perawat dari segala perawat tidak akan membeiikan susu dengan gratis, tanpa tangisan.
Rumi mengajarkan kita makna derita dalam kehidupan. Banyak macam derita yang kita alami. Ada derita yang menghempaskan kita ke kerak bumi. Ada juga derita yang membawa kita ke langit, mengangkat kita ke alam malakut. Kebanyakan kita tenggelam dalam derita pertama. Kita menderita karena orang dan kejadian tak terjadi seperti kita kehendaki. Kita marah karena jalan macet, kereta terlambat, atau pesawat ditangguhkan. Kita jengkel karena anak kita tidak pandai, mitra kita tak setia, anak buah kita tidak bekerja baik, orang yang kita percayai berkhianat, orang yang kita andalkan tak memenuhijanjinya.
Derita seperti ini tak pernah memberikan waktu istirahat untuk jiwa kita. Kita disibukkan terus-menerus untuk mengatasinya. Tenaga kita dikuras habis. Tubuh kita penuh peluh, pakaian kita kotor. Tapi kita tidak punya waktu membersihkan diri. Kita menjadi budak-budak tak berdaya dari keinginan-keinginan kita.
Perut kita menjadi tong besar, yang melalap habis makanan belasan orang. Seperti sang raksasa dalam cerita Rumi, kita tidak menemui jalan keluar dari penderitaan itu. Kita berharap ada tangan Rasul yang membukakan jalan keluar. Nabi diutus untuk memberikan jalan keluar.
Setelah mengambil jalan keluar yang dibukakan Nabi, kita akan segera diantarkan pada penderitaan yang kedua. Para sufi menyebutnya penderitaan karena perpisahan. Anda harus melepaskan kehidupan Anda yang lama. Buanglah keinginan agar semuanya terjadi seperti yang Anda kehendaki. Anda harus membenturkan kepala Anda yang tak punya pengertian. Anda harus memukul-mukul dada Anda yang tak punya kesadaran. Tapi, derita Anda kali akan mengantarkan Anda ke dalam pelukan kasih Tuhan.
Dalam derita ini, Anda akan merasakan kebahagiaan. Seperti seorang ibu yang melahirkan. Anda merasakan sakit, tetapi juga kebahagiaan karena melahirkan kehidupan yang baru. Inilah tangisan awan yang membuat taman-taman tersenyum. Inilah tangisan bayi yang mengundang air susu ibu.
“Maka sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan. Dan sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan” (Al-Insyirah: 5-6).

Sumber : Majalah Ummat (tanpa nomor dan tahun)
Oleh : Fikri Yathi

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar