TRAGEDI KEKAYAAN...

0
Diposting oleh cahAngon on 01 Februari 2011 , in
Kekayaan yang tak bisa dibagi adalah tragedi. Setiap nyawa memang ada jatah rezekinya, tapi pelaksanaannya berpulang pada hubungan sosial kita. Sebab pada sebagian penghasilan kita, ada rezeki orang lain. Setiap kita, sebagai diri kita sendiri, atau sebagai satu kesatuan masyarakat, pasti punya pengalaman masa lalu, persepsi, dan kebiasaan yang berbeda sepanjang kita bergaul dengan apa yang disebut dengan kekayaan.

Seringkali, yang membuat orang lapar bukan karena tak ada makanan, tapi karena jatah makanannya ditelan orang lain. Yang membuat orang kekurangan bukan karena minimnya ketersediaan kebutuhan. Tapi karena ada orang lain yang tak pernah merasa berkecukupan. Akibatnya terjadi kesenjangan. Dalam praktiknya, tragedi kekayaan mewujud dalam banyak bentuk. Meski nyawa utamanya adalah ketamakan, rasa tidak pernah puas, dan nafsu bersenang-senang yang berlebihan. “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takaatsur: 1-2).
Beberapa uraian berikut, mungkin bisa menggambarkan bagaimana tragedi itu menampakkan wujudnya, di tengah kehidupan kita yang kian berat.
Tragedi Kekayaan dan Kisah Dua Ekor Serigala
Kesenangan kepada kekayaan, suatu kali diumpakan Rasulullah seperti seekor serigala. Rasulullah saw bersabda, “Adalah dua ekor serigala yang lapar, yang dilepaskan ke sekawanan domba, tidak lebih berbahaya dari kerakusan manusia kepada harta kekayaan dan kesenangan berlebihan dan bagaimana ia merusak agamanya.”
Tak ada penggambaran yang lebih verbal dan detail tentang keingingan menyerbu kesenangan meiebihi serigala yang lapar, dua ekor. Hadirkan sosok serigala itu, dalam benak kita, yang menyeringai taringnya, melolong. Entah berapa hari tidak makan. Lalu ada kawannya, senasib dan sekeadaan. Lapar, perih, dan lolongannya nyaris tak berbunyi. Di tengah sekawanan domba yang lezat. Apakah yang terjadi?
Betapa dahsyatnya pengaruh kekayaan, kesenangan terhadap dunia, bagi kerusakan beragama. Tapi ada keniscayaan yang lebih mengerikan, di luar apa yang bisa kita gambarkan. Sebab, serigala yang lapar, tidak hanya satu, tapi dua, lalu diletakkan di tengah sekawanan domba-domba. Itu masih belum bisa menjadi ilustrasi dari kerusakan terhadap agama yang dihasilkan ketamakan manusia kepada harta. Penyebutan dua serigala juga menegaskan sisi lain, bahwa kerusakan itu lebih hebat, sebab serigala yang lapar, bila dihadapannya juga ada serigala lain yang juga lapar, maka akan bangkit nafsunya untuk berebut. Ia tidak akan makan sebatas karena lapar, tapi juga karena takut serigala yang lain menghabiskan makanannya.
Ada gabungan antara kelaparan, persaingan, pertaruhan hidup atau mati, dan domba pun akan teracabik-cabik. Tetapi itu tak ada artinya bagi kerakusan manusia terhadap kesenangan dunia. Dan begitulah kenyataan yang kita saksikan. Dan begitulah, ternyata semuanya bahkan lebih buruk. Dan agama pun tercabik-cabik.
Dimensi ini mewakili sebuah sisi kerakusan dan tragedi kekayaan pada sebagian orang. Seperti potret serigala itu, bahkan lebih. Ada banyak orang yang tak pernah kenyang, dengan cara apa pun. Kelaparannya tak lagi soal perut yang kosong, tapi kecanduannya kepada selera gincu yang sangat mahal, pada segala hal. Kerakusannya tak sekadar maniak pekerjaan. Seperti kata orang tua kita dahulu, “bekerja membanting tulang.” Tapi sudah berubah menjadi bermata hijau, bertangan gatal, bila
tak bisa merampas hak orang lain.

Tragedi Kekayaan yang Tak Bersambung
Sisi lain tragedi kekayaan, adalah terputusnya kebaikan kekayaan itu dari pemiliknya. Ada begitu banyak orang yang dikaruniai kekayaan, tapi ia tak pernah mengambil kebaikan, amal, dan harapan pahala dari kekayaan itu. Lebih jauh, ini adalah dimensi kebaikan dari kekayaan yang dilihat kelak pada hari pembalasan.
Seperti dinasehatkan Ibrahim Attaimi, “Adakah kerugian yang lebih besar dari seseorang yang melihat budaknya dahulu. Yang dikuasakan atasnya selama di dunia, ternyata ia lebih mulia di sisi Allah dari dirinya pada hari kiamat. Adakah yang lebih merugi dari seseorang yang mendapatkan begitu banyak harta, lalu diwarisi oleh orang lain. Lalu orang itu menggunakannya untuk taat kepada Allah. Hingga dosa atas berlebihan dalam harta itu menjadi beban dirinya, sedang pahalanya untuk orang yang mewarisinya itu. Adakah yang lebih merugi dari seseorang yang melihat orang lain yang buta, tetapi dibukakan matanya pada hari kiamat, sementara dirinya justru menjadi buta.
Kemudian Attaimi menambahkan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu lari dari dunia padahal dunia ini datang menuju diri mereka. Sedang kalian, kalian mengejarnya padahal ia lari dari kalian. Kalian melakukan hal-hal baru yang aneh, maka bandingkanlah keadaan kalian dengan keadaan mereka.
Alangkah sedihnya, bila seseorang lahir dalam kekayaan, tumbuh dan besar dengan kekayaan, lalu hidup dengan berlimpah kekayaan, tetapi toh orang lain yang mendapat kebaikannya, pahalanya. Ini adalah tragedi.
Kekayaan seseorang yang sudah meninggal, secara fikih dalam Islam menjadi hak milik para ahli warisnya. Artinya ada pemilik baru yang berwenang atas kekayaan itu. Pemilik baru, baru pula pencatatan fungsinya dari sisi amal. Hanya sedekah yang manfaatnya masih berlanjutlah, yang tetap memberi manfaat kebaikan bagi pemilik awalnya. Maka yang tak bisa mengambil manfaat dari kekayaannya sepanjang hidup untuk kebaikan akhirat, tidak akan mendapatkannya dari pemilik barunya. Kekayaan itu telah putus kepemilikannya. Itulah tragedi.
Tragedi Kekayaan yang Menurunkan Generasi Pembunuh
Kekayaan, seringkali berkembang menjadi sumber malapetaka yang mensilsilah dalam keturunan. Tidak saja karena soal berkah, tapi juga karena ketamakan dan kerakusan yang dijalani seseorang, bisa menyisakan bercak-bercak garis keturunan pada sebagian anak cucunya kelak.
Suatu hari, Rasulullah membagi bongkahan harta yang dikirimkan dari Yaman. Rasulullah saw membaginya pada pembesar Nejed.
Mendengar itu, orang-orang Quraisy marah. “Apakah kamu memberi orang-orang hebat dari Nejed sementara kamu mengabaikan kami?” tanya mereka.
Rasul menjelaskan, bahwa itu semua dilakukan untuk mengikat hati mereka yang kebanyakan baru masuk Islam.
Tak lama, datanglah seorang laki-laki yang lebat janggutnya, pipinya gemuk, cekung matanya, botak kepalanya, lalu berkata, “Bertakwalah kepada Allah wahai Muhammad!”
Mendengar itu, Rasulullah segera menyahut, “Siapa lagi yang mentaati Allah jika aku bermaksiat kepada-Nya? Apakah Dia memberi kepercayaan kepadaku atas penduduk bumi sementara kalian tidak mempercayaiku?”
Para sahabat geram melihat pelecehan itu. Salah seorang bahkan minta ijin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah membiarkannya.
Setelah orang itu pergi, Rasulullah berkata, “Sesungguhnya dari keturunan orang ini akan lahir kaum. Mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh orang-orang Islam dan mengajak para penyembah patung. Mereka menikam Islam seperti panah menusuk karena lemparan. Jika aku mendapati mereka, aku akan membinasakan mereka sebagai mana kaum Ad dibinasakan.”
Lelaki tak sopan itu dengan entengnya menutup ketamakannya kepada pembagian dengan menyuruh Rasulullah takut kepada Allah dalam soal pembagian.
Begitulah ketamakan melahirkan kelicikan. Seakan dirinya lebih taat dari Rasulullah, padahal dia menginginkan bagian. Bahkan kemudian segalanya tak berhenti sampai dirinya. Keturunan yang lahir dari sulbinya ada yang menjadi pembunuh sesama Muslim, menghinakan Islam. Sungguh, berhati-hatilah kita terhadap kekayaan.
Ini semacam wanti-wanti dan peringatan keras dari Rasulullah yang secera reflektif bisa kita rasakan konteks kekiniannya. Bahwa kekayaan yang tidak halal adalah tragedi bagi anak keturunan. Karenanya, berkali-kali Rasulullah mengingatkan, agar kita mencari makanan yang halal. Sebab yang kita makan akan menjadi tulang dan daging.
Tragedi Kekayaan yang Lambat Dimakan Usia
Ada kekayaan yang menjadi tragedi, lantaran pemiliknya terlambat menjadi dewasa, terlambat mengerti tentang arti kekayaan. Alangkah banyak orang yang menunggu tua untuk sekadar tidak tamak dan merasa cukup.
Sepertinya ada periodisasi manusia dalam memahami kekayaan. Dahulu ketika kanak-kanak, keindahan dan kesenangan yang kita kenal hanyalah warna-warni boneka, atau spektrum pelangi yang hadir sebagai hiburan langka, di tengah rintik hujan yang asing di siang bolong.
Tetapi umur yang bertambah, menambah pula kosa kata kita akan keindahan, kesenangan, bahkan kemudian mungkin ketamakan. Saat itulah setiap manusia mengembara dalam pencariannya, termasuk pencariannya akan kesenangan dunia.
Allah SWT menjelaskan, tentang perjalanan manusia, dalam salah satunya, dengan lompatan yang cepat, lahir, dewasa, dan kemudian berusia empat puluh tahun. “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik pada ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a, ’Ya, Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkauyang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) pada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Penyebutan umur empat puluh tahun pada ayat ini, dilengkapi dengan ilustrasi sosial yang dialami seseorang pada kisah itu. Ialah bahwa umur itu adalah umur peneguhan, bukan permulaan. Orang boleh berkata bahwa hidup dimulai pada umur empat puluh tahun, tapi itu bukan memulai dari nol. Karenanya, muatan do’a, dan substansi pengharapan dalam do’a pada ayat di atas, merujuk pada situasi kedewasaan yang mendahuluinya. Sedang syukur atas apa yang diberikan selama usia sebelumnya, seperti memberi makna kemapanan. Kemapanan tak berarti kemewahan yang melimpah ruah. Yang pasti ia tidak sedang meminta, tapi mensyukuri yang telah ada.
Lalu proses pewarisan itu dimulai, dengan memohon kebaikan pada anak cucu. Ayat itu sekali lagi menegaskan, yang memulai pada usia empat puluh tahun, semestinya memulai proses pewarisan, seperti dalam substansi do’a itu. Bagi dirinya sudah selesai, bukan baru akan memulai. Hanya dengan itu, kekayaan tidak berubah menjadi tragedi, karena kebaikannya terlambat dimakan usia pemiliknya.
Dalam konteks apa pun, kekayaan bisa berubah bentuk menjadi sumber penyakit, biang tragedi dan kehancuran. Ada banyak bentuk selain yang diuraikan di atas. Kita mengerti bahwa kehidupan kita sendiri mungkin sedang tidak mudah. Ada begitu banyak kesulitan menerpa setiap hari. Tetapi itu tidak berarti kita boleh membiarkan persepsi kita tentang kekayaan, serta cara kita berinteraksi dengannya menjadi ladang-ladang tragedi.
Sumber: Tarbawi Edisi 77 Tahun 5 / Dzulhijjah 1424 H / 5 Pebruari 2004 M

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar