Bukan Hanya Amerika, Kitapun Sering Menerapkan Standar Ganda

0
Diposting oleh cahAngon on 31 Oktober 2011 , in ,
Oleh: Cahyadi Takariawan*
Kisah berikut ini hanya anekdot, dan sudah sering ditulis di berbagai web atau milis. Namun sungguh sangat menggelitik untuk dijadikan bahan renungan. Mohon maaf bagi para ibu, jangan tersinggung oleh kisah rekaan ini. Sekali lagi, ini hanya kisah rekaan saja, so, jangan terlalu serius menanggapinya.

Setelah makan malam, seorang ibu dan putrinya bersama-sama mencuci mangkuk dan piring di dapur, sementara ayah dan putranya menonton TV di ruang tamu. Mendadak, dari arah dapur terdengar suara piring pecah, sebentar kemudian sunyi senyap. Tidak terdengar suara lagi.

Si putra memandang ayahnya dan berkata, “Pasti ibu yang memecahkan piring itu.”

“Bagaimana kamu tahu?” tanya Ayah.

“Karena tak terdengar suara dia memarahi orang lain,” sahut anaknya.

Maaf beribu maaf. Ini bukan soal gender, bukan soal ibu atau ayah yang mencuci piring. Namun kisah ini tentang ketidakadilan kita dalam melihat sebuah peristiwa.

Penerapan Standar Ganda

Kita terbiasa menggunakan standar yang berbeda dalam menilai perbuatan orang lain dan perbuatan diri sendiri. Seringkali kita menyalahkan orang lain atas sebuah perbuatan yang dilakukan, tetapi ketika giliran kita sendiri yang melakukan perbuatan serupa, ternyata kita menjadi sangat pemaaf. Inilah yang disebut sebagai standar ganda.

Suatu saat si ibu dalam kisah di atas memarahi anak lelaki atau anak perempuannya, karena memecahkan piring. Ibu mengomel tidak habis-habisnya, hanya karena perkara piring pecah. Namun saat dirinya memecahkan piring, ia tidak mengomeli dirinya sendiri seperti ia mengomeli anak-anak yang memecahkan piring.

Orang Jawa menyebut hal itu sebagai “wit gedhang uwohe pakel, omonge gampang nglakoni angel”. Betapa mudah kita menyalahkan orang lain, atau memandang negatif perbuatan orang lain, atau memberikan penilaian jelek kepada orang lain atas perbuatan tertentu yang telah dilakukan orang tersebut. Namun kita cenderung memperlakukan diri sendiri dengan sepenuh toleransi, saat kita ternyata melakukan perbuatan yang sama. Kita maafkan diri kita sendiri untuk kesalahan yang bahkan lebih besar. Ini juga berlaku dalam konteks kelompok, apakah ormas atau parpol atau bahkan “kelompok dalam kelompok”. Sering kita kritik dan kita persoalkan perilaku kelompok lain karena kesalahan kecil yang mereka lakukan, namun cenderung diam dan tidak mempersoalkan kesalahan sama yang dilakukan kelompok kita. Bahkan apabila kelompok kita melakukan kesalahan yang lebih besar lagi, mudah sekali kita memaafkan dan tidak mempersoalkan.

Dalam perspektif hubungan internasional, standar ganda ini sering dilakukan oleh negara-negara adidaya terhadap negara-negara yang dianggap lemah. Siapa yang dikatakan sebagai teroris dalam konflik antara Israel dengan Palestina ? Siapa yang dikatakan teroris dalam invasi Amerika di Iraq ? Siapa yang sesungguhnya teroris saat Amerika melakukan invasi ke Afghanistan ? Itu adalah contoh penerapan standar ganda.

Dalam perspektif organisasi atau perusahaan, seorang pemimpin mudah terjebak ke dalam standar ganda. Sebuah tindakan ketidakdisiplinan yang dilakukan oleh anak buah, bisa berbuntut pemberian sanksi dan bahkan pemecatan. Namun apabila pemimpin yang melakukan ketidakdisplinan serupa, lebih mudah untuk dimaafkan. “Terserah saya mau apa, ini kan perusahaan saya”, begitu jawaban sang pemimpin saat ditanya mengapa ia melakukan ketidakdisiplinan.

Dalam konteks kenegaraan, para pemimpin mudah menuntut perilaku tertib, jujur, disiplin, kerja keras, penuh dedikasi, semangat mengabdi, dan seterusnya, kepada para bawahan. Mereka yang menjadi bawahan harus melaksanakan semua tuntutan tersebut, karena jika tidak, akan mudah terkena peringatan, sanksi ataupun mendapatkan apresiasi negatif dari pemimpin. Namun giliran para pemimpin yang berperilaku tidak tertib, tidak jujur, tidak disiplin dan seterusnya, tidak mendapatkan perlakuan apapun.

Pemimpin yang Kehilangan Eksistensi

Akhirnya, para pemimpin yang suka menerapkan standar ganda, akan mudah kehilangan simpati dan kepercayaan dari anak buah atau masyarakat. Saat pemimpin menegur anak buah yang terlambat masuk kerja, anak buah ini demikian ketakutan. Berkali-kali ia meminta maaf agar tidak dihukum atau dipecat. Namun dalam hatinya tidak ada rasa hormat sama sekali kepada sang pemimpin.

Karena ia tahu, bahwa orang yang paling sering terlambat masuk kerja di perusahaan adalah sang pemimpin itu sendiri. Bagaimana ia bisa hormat dan respek kepada pemimpin jika selalu menerapkan standar ganda ? Mudah marah dan menegur bawahan atas pelanggaran yang dilakukan, namun saat ia melakukan pelanggaran yang sama, tidak mendapat teguran apapun.

Apakah pemimpin memang tidak pernah bersalah walaupun jelas-jelas ia melakukan kesalahan ? Apakah semua pemimpin selalu benar, walaupun nyata-nyata ia melakukan tindakan yang tidak bisa dibenarkan berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku ? Mengapa hanya anak buah atau bawahan atau masyarakat yang salah dan disalahkan ?

Pemimpin seperti ini telah kehilangan eksistensi kepemimpinan. Ia tidak sedang memimpin, namun sedang berkuasa dan menguasai. Wajar jika anak buah atau masyarakat tidak bisa memberikan respon simpati kepadanya. Anak buah hanya tampak takut di permukaan, hanya menampilkan sikap hormat yang kamuflase saat bertemu pemimpin. Namun tidak ada ketulusan penghormatan dalam hati sama sekali.

Maafkan Ibumu Saat Ia Memecahkan Piring

Setelah makan malam, seorang ibu dan putrinya bersama-sama mencuci mangkuk dan piring di dapur, sementara ayah dan putranya menonton TV di ruang tamu. Mendadak, dari arah dapur terdengar suara piring pecah, sebentar kemudian sunyi senyap. Tidak terdengar suara lagi.

Si Ayah memandang putranya dan berkata, “Sekarang kita tidak tahu siapa yang memecahkan piring itu.”

“Benar, kita tidak tahu”, jawab sang putra.

Ya, maafkan saja ibumu jika ia memecahkan piring, karena ia memecahkan piring itu tidak sengaja. Namun mintalah ibumu untuk tidak memarahimu saat secara tidak sengaja engkau melakukan hal yang sama.

Turuti perintah ayah yang melarangmu merokok, namun beritahukan kepada ayahmu agar ia juga berhenti merokok.

Sumber : http://pkspiyungan.blogspot.com/2011/10/bukan-hanya-amerika-kitapun-sering.html

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar