Pada banyak hal, sudut pandang materi
selalu berpeluang mengecoh. Ia seringkali mengaburkan pandangan kita sehingga
sering keliru pula menempatkan orang. Orang-orang dengan sudut pandang materi
selalu mengukur orang lain dengan atribut-atribut materi yang dikenakannya.
Jika seseorang itu menampilkan dandanan
glamour, ia mudah sekali mentakjubinya. Tapi, jika seseorang berpenampilan
sederhana, ia gampang mencelanya. Orang-orang seperti ini susah menemukan
kemuliaan seseorang kecuali sebatas barang-barang aksesoris yang dikenakan
orang lain. Di tengah kehidupan yang menempatkan tolok ukur materi di atas
segalanya, kebiasaan seperti ini gampang dijumpai. Maka, orang pun menjadi
risih ketika tampil biasa-biasa saja.
Untuk perkara kesederhanaan ini saya
teringat kisah Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khathab. Dari namanya kita
mengenali beliau sebagai cucu Umar bin Khathab. Sebagaimana juga kakeknya,
Salim tampil sederhana. Suatu hari ia berkunjung ke hadapan amirul mukminin,
Sulaiman bin Abdul Malik. Salim, yang mulia karena akhlak dan ilmunya itu
datang dengan pakaian sangat sederhana; usang dan terlihat kasar. Tapi oleh
amirul mukminin beliau dipersilahkan duduk di singgasana, dengan ramah dan
hangat.
Di majelis itu, datang pula murid Salim bin
Abdullah, Umar bin Abdul Aziz. Tiba-tiba dari arah belakang, seorang laki-laki
berbisik kepada Umar bin Abdul Aziz, “Apakah pamanmu tidak bisa memakai pakaian
yang lebih bagus untuk menghadap Amirul Mukminin?” Demikian bisik lelaki dengan
pakaian bagus dan mahal itu.
Sang laki-laki yang berbisik itu, mungkin
adalah potret wajah kita yang teramat gampang menilai seseorang dari tampilan
luar. Tidak sekedar itu, boleh jadi ia juga lukisan wajah kita yang menganggap
bahwa kemuliaan diri itu ada pada segala bentuk polesan. Maka tak heran jika
ada banyak di antara kita yang memaksa tampil ‘wah’ hanya karena cara pandang
ini. Kita akan merasa lebih nyaman jika bisa memasang stiker kampus luar
negeri, stiker merek gadget keren, atau juga tempat-tempat wisata yang
terkunjungi di kendaraan kita. Kadang di sebagian orang ia terpasang begitu
saja, tapi bagi sebagian yang lain mungkin tak sekedar itu; ia adalah status
dan bukan sekedar stiker.
Maka, jawaban Umar bin Abdul Aziz pada
lelaki pembisik itu patut untuk direnungi. “Aku tidak melihat,” kata Umar,
“baju yang dipakai pamanku mendudukannya di tempatmu, dan aku juga tidak
melihat baju yang kau kenakan bisa mendudukanmu di tempat pamanku itu.” Jleb!
Laki-laki itu terdiam dan kembali ke tempat duduknya. Jawaban Umar bin Abdul
Aziz itu terasa menohok, tidak saja bagi sang lelaki dalam kisah tersebut, tapi
juga bagi saya yang masih mudah silau oleh gemerlap atribut dan penampilan.
Dwi Budiyanto
https://matahati01.wordpress.com/category/lentera-inspirasi/
0 komentar:
Posting Komentar