• img

    KAMUFLASE...

    Akan aku ajak engkau menemui bunglon .. agar engkau menyaksikan sendiri tipu dayanya! Bunglon merubah warna dirinya sesuai dengan tempat ia berada .. agar engkau mengetahui bahwa yang seperti bunglon itu banyak .. dan berulang-ulang! Dan bahwasanya ada orang-orang munafik .. banyak pula manusia yang berganti-ganti pakaian .. dan berlindung dibalik alasan “ingin berbuat baik”...
  • img

    Jujur...

    Jika engkau hendak mengungkap kejujuran orang, ajaklah ia pergi bersama .. dalam bepergian itu jati diri manusia terungkap .. penampilan lahiriahnya akan luntur dan jatidirinya akan tersingkap! Dan “bepergian itu disebut safar karena berfungsi mengungkap yang tertutup, mengungkap akhlaq dan tabiat”...
  • img

    Pemimpin

    Seringkali terbukti bahwa tugas utama seorang pemimpin hanyalah bagaimana memilih orang yang tepat. Begitu berhasil memilih orang yang tepat seringkali tugas seorang pemimpin sudah selesai. Setidaknya sudah 80 persen selesai. Tapi begitu seorang pemimpin salah memilih orang, sang pemimpin tidak terbantu sama sekali, bahkan justru terbebani...
  • img

    Karena Ukuran Kita Tak Sama

    seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi...
  • img

    Kemenangan..

    Kemenangan sejati yang paling mendasar dan substansial adalah jika kebenaran tetap bersemayam di hati kita. Tidak terkontaminasi oleh racun-racun kehidupan, tidak tergoda oleh iming-iming apapun bentuknya, yang membuat hati kita diisi oleh nilai-nilai lain selain nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT, ...

WUJUD dan HADHIR

0
Diposting oleh cahAngon on 21 September 2017 , in ,


WUJUD dan HADHIR
@salimafillah
Apakah beda antara wujud dan hadhir?
Wujud adalah keberadaan di tengah yang lain. Ada, sebagai salah satu unsur yang menyusun keseluruhan. Ada, sebagai bagian yang jika hilang, maka kesatuannya menjadi tak utuh.
Tapi hadhir adalah keberadaan yang proaktif dan progresif memberi nilai tambah serta makna-makna baru. Hadhir melampaui wujud; ia bukan sekedar bagian dari keseluruhan, melainkan yang membuat keseluruhan itu berdaya, bergerak, serta melahirkan perasaan, pikiran, cara pandang, sikap, dan tindakan. Hadhir melampaui wujud, absennya bukan hanya menjadikan kesatuan tak lagi utuh, melainkan cacat, kehilangan kemampuan melihat, mendengar, merasa, berpikir, bergerak, dan bahkan mati.
Dalam keluarga, ada suami atau ayah yang wujud, ada pula yang hadhir. Ada istri serta ibu yang hadhir, namun tak sedikit yang hanya mencapai derajat wujud. Demikian pula status "anak", "kakak", dan "adik".
Yang wujud, ada sekedar sebagai status. Yang hadhir mengisi hati, akal, dan seluruh detak-detik kita dengan cinta, perhatian, ketegasan, kedewasaan, penumbuhan, serta pengembangan.
Hadhir adalah rasa termanis, terlembut, dan terhangat yang dipersembahkan manusia dari keberadaannya.
Itulah barangkali mengapa dalam Bahasa Arab, peradaban disebut Al Hadharah. Sebab ia adalah sekumpulan kehadiran, sehimpun eksistensi yang berkontribusi memberi nilai dan arti bagi kemanusiaan insan dan kemajuan kehidupan.

Menari di Atas Batas

0
Diposting oleh cahAngon on 29 Agustus 2017 , in ,


Tidakkah engkau tahu anakku,
segala ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya,
“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!”?
-Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
Di buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, saya pernah berkisah tentang Ibnu Taimiyah. Dia yang selalu dipasang di garis depan, menjadi pejuang pengobar semangat ketika serbuan Mongol bergemuruh menerjang Damaskus. Dan dialah juga yang tiap kali tugas jihad itu usai harus bersetia menghuni selnya di penjara kota.
Tetapi jeruji-jeruji tak menghentikannya. Disaksikan besinya yang berkarat dan temboknya yang berlumut dia ucapkan kekatanya yang menyejarah. “Apa yang mereka lakukan padaku? Jiwaku merdeka dalam genggaman Allah. Jika aku dipenjara, jadilah ia rehat. Jika dibuang jadilah ia tamasya. Jika dibunuh, apalagi yang lebih kurindukan selain menemui Allah?” Penjara tak menghentikannya. Ia tetap berkarya. Saat tinta, kertas, dan pena dijauhkan darinya, ditulisnya Risalatul Hamawiyah di dinding penjara dengan arang sisa perapian. Dan dunia pun menjadi saksi, bahwa jiwanya telah menari di atas semua batas, merayakan pengabdian yang hanya ia tujukan pada Allah sepanjang hidupnya.
Izinkan kali ini saya hadirkan seorang lagi yang menari di atas batas. Namanya Muhammad ibn ‘Ali. Tapi orang akan lebih mengangguk tanda kenal jika disebut nama Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ini menisbat pada ibunya, seorang wanita dari Bani Hanifah. Ya, ayahandanya adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, radhiyallaahu ‘anhu. Tapi ibundanya bukanlah Fathimah. Artinya, dia bukan berasal dari garis turun langsung Sang Nabi, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.
Satu saat seseorang mempermasalahkan pembedaan yang dilakukan atas dirinya dibanding kedua kakandanya, Al Hasan dan Al Husain. “Tidakkah kau lihat”, kata orang itu, “Ayahmu lebih mencintai Al Hasan dan Al Husain dibanding dirimu?”
“Duh, jangan katakan begitu kawan!”, jawabnya kalem. “Al Hasan dan Al Husain bagaikan dua mata bagi ayahku. Sedang aku ini bagaikan kedua tangannya. ” Senyumnya mengembang, manis sekali. “Adalah tugas kedua tangan”, lanjutnya, “Untuk menjaga kedua mata.” Dan memang begitulah kehidupannya, diabdikan untuk menjaga kedua kakandanya hingga batas waktu yang telah Allah tetapkan. Hingga, Al Hasan wafat dan Al Husain pun gugur dalam kisah yang terlalu pedih untuk kita ceritakan.
Dendamkah Muhammad ibn Al Hanafiyah pada keluarga besar yang telah menzhalimi keluarganya itu; Bani Umayyah? Secara manusiawi tentu jawabnya ya. Apalagi rasa pedih itu kadang muncul di saat seharusnya ia tunduk khusyu’ dan mentaati wasiat taqwa. Masa itu, hampir tak ada khuthbah Jum’at yang melewatkan pujian untuk Mu’awiyah sekeluarga sekaligus cacian untuk ‘Ali, ayahandanya. Seakan, mengumpat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bagian dari rukun khuthbah.
Tetapi orang-orang kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan jihad yang diserukan Yazid ibn Mu’awiyah, orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain sekeluarga. “Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang.
“Memangnya ada apa dengannya?”
“Dia meninggalkan shalat, meminum khamr, dan jauh dari hukum Allah!”
“Aku tidak melihat itu ketika membersamainya. Dia menunaikan shalat, cenderung pada kebajikan, dan bertanya tentang Al Quran juga sunnah RasulNya.”
“Dia hanya berpura-pura di hadapanmu!”
“Apakah yang ditakutkannya atasku hingga harus berpura-pura? Dan jika kalian memang melihatnya melakukan semua itu, mengapa dia tidak berpura-pura pada kalian? Apakah kalian semua ini sahabat akrabnya yang ingin menjebakku?”
Mereka terdiam. Saling pandang. Lalu berkata lagi, “Bukankah Bani Umayyah yang telah menzhalimi keluargamu hingga binasa dan curas? Apa yang akan kau katakan di hadapan Allah dan di hadapan ayahmu, juga saudara-saudaramu, jika kini kau berperang di bawah panji-panji Bani Umayyah?”
Muhammad ibn Al Hanafiyah tersenyum. “Ayahku kini membersamai Rasulullah di surga tertinggi, sementara saudara-saudaraku adalah penghulu para pemuda di sana. Kezhaliman Bani Umayyah adalah urusan mereka dengan Allah. Urusanku kini adalah berjihad di jalan Allah dan mentaati Ulil Amri.”
Begitulah. Tak mudah menjadi seorang Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ada kendala-kendala, ada batas-batas yang membuatnya terhalang untuk memberikan pengabdian. Batas-batas itu bukan hanya ada di dataran raga, tapi jauh di sana, di dalam jiwanya. Dan kini jiwanya menari di atas batas, merayakan pengabdian yang sepanjang hidup ia tujukan untuk Allah.
Memaknai batas kadang memberi kita permakluman untuk mengambil ‘udzur. Selalu ada pembenaran atas setiap langkah mundur yang kita ambil. Selalu ada alasan untuk berlama-lama di tiap perhentian yang kita singgahi. Tetapi di jalan cinta para pejuang, para kstaria agung itu bertanya pada hati. Dan mereka menemukan jawab yang membuat jiwa menari di atas batas, meski jasad harus bersipayah mengimbanginya. ‘Amr ibn Al Jamuh, lelaki pincang dari Bani Najjar itu diminta rehat ketika hari Uhud tiba. “Dengan kaki pincangku inilah”, katanya, “Aku akan melangkah ke surga!” Jiwanya menari di atas batas, dan Sang Nabi di hari Uhud bersaksi, “Ia kini telah berada di antara para bidadari, dengan kaki yang utuh tak pincang lagi!”
Dengan nikmat Allah yang begitu besar atas jiwa dan raga ini, apa yang harus kita katakan pada ‘Amr ibn Al Jamuh, Ahmad Yassin, dan orang-orang semisal mereka saat kita disaput diam dan santai? Dengan kemudaan ini, berkacalah kita pada Abu Ayyub Al Anshari yang di usia delapanpuluh tahunnya bergegas-gegas ke Konstantinopel, menjadikan pedangnya sebagai tongkat penyangga tubuh sepanjang jalan. Dan apa jawab kita saat kita ingatkan bahwa ia punya ‘udzur, tapi justru dia bertanya, “Tidak tahukah engkau Nak, bahwa ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya, ‘Berangkatlah dalam keadaan ringan maupun berat!’?”
sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

Polisi Perlu Diapresiasi Soal Penangkapan Saracen

0
Diposting oleh cahAngon , in ,


thumbnailAnggota Komisi I DPR RI Sukamta
Jakarta (28/8) - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyatakan upaya Polri dengan Tim Sibernya untuk menindak para pelaku pembuat dan penyebar konten negatif dan hoaks tentu patut diapresiasi dalam rangka mewujudkan internet sehat.
"Namun, Saracen hanyalah salah satu organisasi akun anonim dari sekian banyak yang bertumbuh memanfaatkan rendahnya literasi masyarakat. Dalam ajang pemilu atau Pilkada, biasanya semua pendukung dari calon-calon yang ada juga melakukan ujar kebencian atau yang menyinggung SARA. Karena itu, pemerintah harus adil dan tidak tebang pilih dalam menindak para pelaku penyebar konten negatif ini," katanya di Jakarta, Jumat (25/8).
Jika momentum ini diharapkan mampu menjadi shock therapy, kata Sekretaris Fraksi PKS, pemerintah sebaiknya melakukan penindakan terhadap organisasi yang serupa dengan Saracen, yang sangat boleh jadi lebih besar, lebih terorganisasi dan memiliki modal lebih besar.
"Keberanian Polri untuk mengungkap jaringan-jaringan lainnya tanpa tebang pilih tentu ditunggu masyarakat. Jika ini konsisten dilakukan efek shock therapy bisa diharapkan terwujud," ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Sukamta, pemerintah harus segera melaksanakan kebijakan yang bersifat makro untuk memutus mata rantai konten negatif dan hoaks. Pertama, secara serius melakukan edukasi kepada masyarakat sehingga lebih melek media sosial dan internet sehingga mampu menggunakannya dengan bijak dan produktif. Upaya edukasi ini secara masif dapat dilakukan dengan melibatkan dunia pendidikan, institusi keagamaan dan organisasi masyarakat.
Kedua, untuk melakukan tata kelola konten termasuk menindak kejahatan siber seperti ini kita sudah mempunyai Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE. Namun spirit perubahan undang-undang ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena peraturan-peraturan di bawahnya seperti PP, Permen, dan lainnya belum lengkap.
"Maka dari itu pemerintah harus segera menyiapkannya agar pemberantasan konten negatif di dunia maya dapat berjalan dengan pedoman yang jelas dan terarah. Upaya pemerintah yang sedang merevisi PP No. 82 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik perlu diapresiasi. Tapi kita sejak awal juga mendesak pemerintah agar segera membuat peraturan-peraturan yang merupakan amanat UU ITE yang lain termasuk soal pemblokiran sistem elektronik yang mengandung konten negatif yang hingga kini juga belum ada PP-nya," katanya.
Ketiga, lanjut dia, pemerintah perlu membuat aturan yang dapat mengikat kepada provider dan penyedia layanan media sosial untuk melakukan filter terhadap konten negatif dan hoaks. Dalam hal ini pemerintah perlu membuat tim panel yang melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tokoh agama, akademisi dan ahli IT sebagai tim yang dapat memberikan masukan konten negatif mana sajakah yang perlu dihentikan dengan penanganan dari provider dan penyedia jasa media sosial.
"Keberadaan tim panel ini penting untuk menghindarkan pemerintah melakukan penafsiran secara tunggal," ungkapnya.

http://pks.id/content/polisi-perlu-diapresiasi-soal-penangkapan-saracen

KITA

0
Diposting oleh cahAngon on 23 Agustus 2017 , in , ,


Seberapa peduli kita tentang keselamatan diri ini di sisi Allah dibanding girang hati kita mengatakan sesama salah dan kita yang benar?
.
. “Wahai Syaikh”, ujar seorang pemuda, “Manakah yang lebih baik, seorang muslim yang banyak ibadahnya tetapi akhlaqnya buruk ataukah seorang yang tak beribadah tapi amat baik perangainya pada sesama.”
.
. “Subhaanallah, keduanya baik”, ujar sang Syaikh sambil tersenyum.
.
“Mengapa bisa begitu?”
.
“Karena orang yang tekun beribadah itu boleh jadi kelak akan dibimbing Allah untuk berakhlaq mulia bersebab ibadahnya. Dan karena orang yang baik perilakunya itu boleh jadi kelak akan dibimbing Allah untuk semakin taat kepadaNya.”
.
. “Jadi siapa yang lebih buruk?”, desak si pemuda.
.
Airmata mengalir di pipi sang Syaikh. “Kita Anakku”, ujar beliau. “Kitalah yang layak disebut buruk sebab kita gemar sekali menghabiskan waktu untuk menilai orang lain dan melupakan diri kita sendiri.” Beliau terisak-isak. “Padahal kita akan 
dihadapkan pada Allah dan ditanyai tentang diri kita, bukan tentang orang lain.”

https://salimafillah.com/kita/

Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita

0
Diposting oleh cahAngon on 19 Agustus 2017 , in ,



Remaja. Pernah saya menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita?
Ternyata jawabnya tidak. Kita selama ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk menandai suatu masa dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah masih remaja!”
Jika tak berkait dengan taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah ‘aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis ‘amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; ‘amal shalihnya berpahala, ‘amal salahnya berdosa.
Isma’il ‘alaihissalaam, adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti, shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula. Mengapa? Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya:
Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QSnAn Nisaa’ 9)
Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama.
Nah, mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa’? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting.
Kali ini, izinkan saya secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tataulang redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya, padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan buah hati kita?
Saya melihat, kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek, atau bibinya dengan diajak melihat –umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya.
Si kecil memang tidak menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku yang akan melakukannya!”
Betapa, meskipun dia menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya, tetap menyayanginya, dan akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya.
Di waktu lain, anak yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya? Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. Lalu sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya.
Atau bisa saja kita katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.”
Atau bisa saja kita katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan, katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya, bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita ‘kutuk’ dia sebagai anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat kecil?
Ah.. Qaulan sadiida. Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan –baca; kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!”
Sejujurnya, siapa yang tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja. Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni, “Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar.
Alangkah agungnya qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat.
Sementara ibu dari anak yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini, “Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu.
Ibu pertama dan kedua sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya.
Ya Allah, kami tahu, rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari da’wah yang kami citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata da’wah ini dari pribadi kami, keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta sejati.
Ya Allah, karuniakan pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Isma’il. Meski kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata.. Aamiin..
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
https://salimafillah.com/qaulan-sadiidaa-untuk-anak-kita/

PAKAIAN...

0
Diposting oleh cahAngon , in ,

Pada banyak hal, sudut pandang materi selalu berpeluang mengecoh. Ia seringkali mengaburkan pandangan kita sehingga sering keliru pula menempatkan orang. Orang-orang dengan sudut pandang materi selalu mengukur orang lain dengan atribut-atribut materi yang dikenakannya.

Jika seseorang itu menampilkan dandanan glamour, ia mudah sekali mentakjubinya. Tapi, jika seseorang berpenampilan sederhana, ia gampang mencelanya. Orang-orang seperti ini susah menemukan kemuliaan seseorang kecuali sebatas barang-barang aksesoris yang dikenakan orang lain. Di tengah kehidupan yang menempatkan tolok ukur materi di atas segalanya, kebiasaan seperti ini gampang dijumpai. Maka, orang pun menjadi risih ketika tampil biasa-biasa saja.

Untuk perkara kesederhanaan ini saya teringat kisah Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khathab. Dari namanya kita mengenali beliau sebagai cucu Umar bin Khathab. Sebagaimana juga kakeknya, Salim tampil sederhana. Suatu hari ia berkunjung ke hadapan amirul mukminin, Sulaiman bin Abdul Malik. Salim, yang mulia karena akhlak dan ilmunya itu datang dengan pakaian sangat sederhana; usang dan terlihat kasar. Tapi oleh amirul mukminin beliau dipersilahkan duduk di singgasana, dengan ramah dan hangat.

Di majelis itu, datang pula murid Salim bin Abdullah, Umar bin Abdul Aziz. Tiba-tiba dari arah belakang, seorang laki-laki berbisik kepada Umar bin Abdul Aziz, “Apakah pamanmu tidak bisa memakai pakaian yang lebih bagus untuk menghadap Amirul Mukminin?” Demikian bisik lelaki dengan pakaian bagus dan mahal itu.

Sang laki-laki yang berbisik itu, mungkin adalah potret wajah kita yang teramat gampang menilai seseorang dari tampilan luar. Tidak sekedar itu, boleh jadi ia juga lukisan wajah kita yang menganggap bahwa kemuliaan diri itu ada pada segala bentuk polesan. Maka tak heran jika ada banyak di antara kita yang memaksa tampil ‘wah’ hanya karena cara pandang ini. Kita akan merasa lebih nyaman jika bisa memasang stiker kampus luar negeri, stiker merek gadget keren, atau juga tempat-tempat wisata yang terkunjungi di kendaraan kita. Kadang di sebagian orang ia terpasang begitu saja, tapi bagi sebagian yang lain mungkin tak sekedar itu; ia adalah status dan bukan sekedar stiker.

Maka, jawaban Umar bin Abdul Aziz pada lelaki pembisik itu patut untuk direnungi. “Aku tidak melihat,” kata Umar, “baju yang dipakai pamanku mendudukannya di tempatmu, dan aku juga tidak melihat baju yang kau kenakan bisa mendudukanmu di tempat pamanku itu.” Jleb! Laki-laki itu terdiam dan kembali ke tempat duduknya. Jawaban Umar bin Abdul Aziz itu terasa menohok, tidak saja bagi sang lelaki dalam kisah tersebut, tapi juga bagi saya yang masih mudah silau oleh gemerlap atribut dan penampilan.

Dwi Budiyanto
https://matahati01.wordpress.com/category/lentera-inspirasi/

TRANSAKSI LANGIT, BERANI COBA? RASAKAN BEDANYA!

0
Diposting oleh cahAngon on 16 Agustus 2017 , in ,
TRANSAKSI LANGIT, BERANI COBA? RASAKAN BEDANYA!

Kita hidup di dunia kapitalis, semua hal harus bernilai uang. Ketika kita mengeluarkan uang, kita pun berharap mendapatkan ganti produk terbaik, pelayanan terbaik, hasil terbaik... Jika enggak dapat yang terbaik, maka kita dengan mudahnya kita komplain, mencaci maki penjual, mencela pelayanan, kalo perlu bikin heboh di media sosial..
Kalo kita beli produk di Supermarket besar, maka kita dengan mudahnya setuju dengan harga yang ditawarkan. Gak perlu lah nawar, bikin malu.. Emang kita orang susah!
Pokoknya beli produk ini itu.. Bayarrr!! Gak punya duit cash? Kartu kredit dimainkan! Urusan nyicil belakangan.. Urusan dosa riba au ah gelap gak urusan!
Semua diskonan kita kejar, semua tawaran cicilan kita iyakan, merasa punya uang padahal kartu utangan..
Kita terjerembab dalam jebakan kapitalis, setiap ribuan uang yang dikeluarkan adalah poin-poin yang dikumpulkan yang besok akan kita tuker dengan panci dan termos bonus pembelian..
Kita adalah raja komplain! Sekali kembalian kurang di minimarket 5 ribu saja kita akan langsung memfoto struknya, lalu upload di semua sosial media, tambahi dengan caci maki agar heboh disana-sini, sukur-sukuuur besok dapat kompensasi..
Semua harus kembali dalam hitungan uang.. Sistem Kapitalis yang melenakan dan gak sadar menyempitkan hati kita ketika memandang nilai dan harga..
Cobalah sekarang, lupakan semua transaksi kapitalis yang memuakkan! Transaksi yang harus menguntungkan, mulailah menegakkan kepala, menengok ke kiri dan kanan, melepaskan sejauh mata memandang...
Lihatlah itu,
Mbah Atmo Slamet, usianya sudah 90 tahun masih mengayuh becak tua dengan dagangan sapu ijuk, sapu lidi dan arang. Kulitnya kotor menghitam, bajunya lusuh penuh lipatan.
Tebak berapa harga satu buah sapunya?
15 ribu!!
Salaaah...
20 ribu!!
Salaah...
25 ribu!!
Salaaaaah... aah!
Hei kawan, satu buah sapunya dijual 6.000 saja, dijajakan dengan becak dari wilayah Dlingo yang berjarak 28 kilometer dari pusat kota Jogja. Lihat foto itu, jika semua sapu itu laku, dia akan mendapatkan uang 90.000, dan itu baru harga jual belum dikurang modal. Jika satu sapu dia mendapat untung 1000, maka dia mendapatkan 15.000 sehari, itupun dengan catatan semua sapunya laku hari itu..
Lihatlah sekelilingmu, ada buanyaaaak sekali mbah Atmo Slamet yang menjelma dengan banyak rupa..
Datangi mereka wahai kawanku, tundukkan badanmu, rendahkan hatimu..
Bertransaksilah dengan mereka langsung disaksikan langit..
Lupakan kualitas produk..
Lupakan soal cicilan dan harga promosi..
Lupakan soal layanan purna jual..
Bayarlah cash! Langsung dari dompetmu..
Ambilah satu-dua dagangannya, bayarlah 10-20-30 kali lipat dari harganya..
Rasakan dahsyatnya ketika wajah tua itu memandangmu dengan mulut gemetar, bulir air mata yang tiba-tiba mengembang, lalu doa-doa yang terucap ditumpahkan untuk dirimu..
Jangan salahkan aku, ketika moment itu membuat air matamu ikut mengembang, hatimu tergetar oleh rasa bahagia yang aneh dan belum pernah ada sebelumnya..
Lalu engkau melangkah pergi dengan hati yang puassss tak tertandingi...
Mengalahkan rasa puas usai disapa kasir cantik di supermarket yang baunya wangi..
@saptuari

https://www.facebook.com/groups/109438006059782/permalink/184308261906089/



ISLAM DAN PETA GEO-POLITIK GLOBAL

0
Diposting oleh cahAngon , in ,

Anis Matta: ISLAM DAN PETA GEO-POLITIK GLOBAL

1. Pasca runtuhnya Turki Utsmani 1924, di dunia Islam ada 2 bentuk format politik: pertama, non negara (non state) yakni gerakan-gerakan kebangkitan, salah satu contohnya Ikhwan. Umumnya adalah gerakan kemerdekaan yang merata di dunia Islam. Kedua, berdirinya nation state (daulah qaumiyah). Bentuk-bentuk ini tidak pernah ada sebelumnya karena dunia Islam dalam kondisi terjajah.
2. Bentuk-bentuk ini berdiri dalam satu peta yang dibentuk oleh perjanjian Sykes-Picot tahun 1916. Pasca PD I tahun 1914, ada 3 imperium utama yang hilang: Tsar Rusia, Komunis (revolusi Bolzevik), dan Khilafah Utsmaniyah. Lalu pada 1917 inisiasi satu negara muncul dengan perjanjian Balfour (1917) yakni Israel yang mengawali migrasi bangsa Yahudi ke neagra baru yang kini disebut Israel.
3. Bentuk map Sykes-Picot, sebagian besar negara Timteng diberikan ke Inggris kecuali Syiria dan Lebanon diberikan ke Prancis. Sedang wilayah Afrika diberikan ke Prancis, karenanya Prancis menjadi bahasa penting di kawasan tersebut hingga kini.
4. Setelah PD II, peta dunia berubah lagi. Inggris dan Prancis yang awalnya sebagai kekuatan utama disingkirkan AS. Termasuk kekuatan baru yang muncul di Jerman di bawah Hitler juga habis. Muncullah kekuatan baru yang bertahan yakni Rusia. Karenanya, pasca PD II muncul 2 kekuatan baru yang menguasai dunia: AS dan Soviet.
5. Sejarah Eropa secara umum penuh peperangan, setelah itu abad 17 terjadi perjanjian perdamaian dan berdiri negara-negara bangsa baru. Ini modelnya. Setelah PD II Eropa menuju ke model imperium baru tapi bukan seperti model imperium sebelumnya. Model ini yang digagas Amerika dengan global order. Payung politiknya namanya PBB, payung ekonominya adalah IMF dan World Bank. AS memperkenalkan instrumen penguasaan baru kepada dunia yang sama sekali baru.
6. Global order ini terbelah karena ada dua kekuatan yang saling mengikat. Meski mereka sepakat pada 1945 membentuk badan baru, setelah 1946 mereka terlibat dalam perang dingin. Pada era perang dingin ini terjadilah rekrutmen besar-besaran terhadap kekuatan-kekuatan dunia. AS dan sekutu melakukan rekrutmen, Uni Soviet juga. Inilah era proxy war. Negara-negara satelit ini bertempur tapi tempat bertempurnya bukan di negara tapi di tempat lain. Hampir seluruh Amerika Latin semua di bawah komunis, Timur Tengah minus Teluk semua di bawah komunis, dan Asia Tenggara ini hampir semua di bawah komunis karena AS kalah perang Vietnam. Untung kudeta 1965 gagal di Indonesia. Negara Teluk semua diproteksi AS, namun rata-rata mereka merdeka tahun 1960-an.
7. Pasca Perang Vietnam, AS mengalami keterpurukan secara politik karena dianggap kalah oleh Uni Soviet. Namun, Uni soviet sendiri bermasalah. Wilayah yang sangat luas yang dikuasi Uni Soviet nyatanya tidak bisa digunakan sebagai alat yang mengaplikasi system ekonomi komunis. System ekonomi komunis ini tidak bekerja. Semua wilayah miskin. Konsepnya semua ditarik ke pusat lalu didistribusi. Tapi ini tidak berhasil.
8. Di era Roesevelt, AS mengatakan bahwa pertarungan dengan Uni Soviet adalah pertarungan ideology. Siapa yang berhasil membuktikan sistemnya bekerja lebih baik maka dia akan menang. Dibuatlah program ekonomi, salah satunya Marshal Plan untuk menghidupkan Jerman yang hancur. Karenanya Jerman Barat dan Timur sangat kontras. Ironi ini dipertahankan; satu sejahtera satu miskin. Kedua, menghidupkan kembali Jepang yang sudah dihancurkan, termasuk Korsel yang secara cepat berkembang.
9. Tahun 1970-an Intelijen AS mendapat data ekonomi Uni Soviet ternyata tidak sampai 1/3 dari ekonomi AS. Karenanya mereka menerapkan satu strategi baru menghadapi Uni Soviet: memaksa Soviet terlibat dalam pertempuran yang banyak untuk menyedot sumber dananya. Salah satunya saat Ronald Reagen berkuasa, ia menginisiasi terjadinya Perang Bintang. Ini untuk memaksa Soviet masuk dalam pertempuran yang sebenarnya imajinatif, tapi menyedot sumber daya yang banyak karena AS tahu ekonomi Soviet jauh lebih kecil.
10. Yang kedua, ada satu kesalahan fatal yang dilakukan Uni Soviet yakni invasi ke Afghanistan. Ini masalah. Penasehat AS waktu itu memberikan saran: kita harus menjadikan Afghaistan ini menjadi Vietnam-nya Soviet. Bagaimana caranya? Satu, kita persenjatai mujahidin. Kedua, kita mobilisasi mujahidin dari seluruh dunia. Untuk yang kedua ini, ada 3 lembaga intelijen yang bekerja: Intelijen Pakistan, Saudi dan Mesir.
11. Karenanya tahun 80-an orang-orang muslim rame-rame dimobilisasi ke Afganistan dan tidak ada istilah teroris waktu itu. Dr Abdullah Azzam dengan leluasa bepergian ke negara-negara Islam dan menyerukan jihad Afghanistan. Tidak ada yang disebut teroris. Mahasiswa yang naik pesawat dari Saudi ke Pakistan mendapat diskon tiket 75 persen. Usama Bin Laden dengan mudah mendapat markas di Peshawar dan menggalang mujahidin dari seluruh dunia untuk datang ke sana. Kita seluruh umat Islam di dunia berfikir bahwa ini momentum, apalagi Syaikh Abdullah Azzam menyatakan bahwa dari bumi Afghan ini akan muncul Khilafah. Dan ini sangat menarik umat Islam. Faktanya, ini adalah rencana yang dibuat dengan baik oleh AS pada waktu itu untuk menjadikan Afghanistan sebagai Vietnamnya Soviet. Dan ini berhasil.
12. Pada 1979, hubungan Uni Soviet dan China sudah rusak. Sejak 62 sudah rusak. Tahun 54 Stalin meninggal dan digantikan Kuschev dan hubungan dengan Mao rusak. AS masuk dan lakukan rekrutmen di China. Tahun 79 era Deng Sao Ping akhirnya China bergabung ke system kapitalisme global. Saat Uni Soviet masuk Afghanistan kehancurannya sudah bisa diramalkan.
13. Muncullah pemimpin baru: Ghorbachev dengan ide Galsnost dan Perestroika untuk memperlambat laju kehancuran Soviet. Namun ini sudah terlambat. Tahun 1989 tembok Berlin runtuh dan tahun 90-an kemudian Uni Soviet Runtuh sama sekali. Sampai disini peta dunia berubah lagi, yakni dunia yang dikuasai satu kekuatan: AS dengan World Order-nya.
14. Dalam setiap perubahan dari waktu ke waktu map ini berubah. Ada negara hancur dan hilang, ada imperium terbentuk ada imperium bubar. Map ini adalah hal yang flexible. Kita juga tidak tahu Indonesia akan bertahan berapa lama. Termasuk map dunia. dan map dunia Islam ini akan seperti apa di masa mendatang. Ide tentang map ini yang diperkenalkan alquran. Ide tentang geo-politik yakni dalam surat ar-Rum. Kenapa ide tentang map ini turun di Mekah saat umat Islam tidak punya negara. Bercerita tentang pertarungan dua imperium yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Tapi 20-30 tahun kemudian dua imperium ini ada dalam map umat Islam. Nama Romawi dan Persia tiba-tiba ada dalam map Islam. Map baru ini adalah map yang kita buat.
15. Fenomena jihad Afghan tahun 80-an ini adalah awal dari cerita panjang yang kita sebut dengan isu teroris. Dikapitalisasi sedemikian rupa oleh AS setelah fungsi mujahidin yang menguntungkan mereka ini selesai. Berapa banyak sudah fatwa agama yang kita buat yang masuk dalam rencana orang lain yang mengharuskan kita jihad ke Afghanistan. Waktu itu tidak salah kita kesana karena kita menghadapi dua musuh. Berkoalisi dengan salah satunya untuk mengahadapi yang satu. Setelah satu selesai, maka sekarang giliran kita berhadap-hadapan.
16. Persoalan bagi AS setelah Soviet runtuh adalah ketika para mujahidin ini, jika mereka kembali ke negaranya dan mengorganisir diri, apakah itu bukan ancaman? Maka dibuatkan isu teroris sebagai instrument control terhadapnya. Masalahnya, ini sudah seperti dinosaurus yang beranak-pinak dimana-mana dan tidak ada yang tahu dia anak siapa. Setelah itu dimunculkan tokoh Ossama bin Laden yang mulai menggeser posisi Syaikh Abdullah Azzam. Dan map saat Ossama menjadi sangat keras. Siapa yang mengarahkan Ossama untuk menyerang kepentingan-kepentingan AS dimana-mana?
17. Fakta persinggungan kita dengan Barat atas perang Afghanistan adalah cerita panjang. Kalo searching di internet soal hubungan Ikhwan-CIA, maka akan banyak dijumpai tulisan tentang ini. Ini adalah cerita yang banyak mereka ceritakan. Di Pilpres 2016 lalu, salah satu yang banyak diungkap Hillary Clinton adalah cerita soal ini. Dia menyalahkan kelompok Republlik dalam isu teroris. Teroris ini khan kalian yang buat? Asalnya adalah cerita di Afghan. “Khan kita sama-sama yang buat?”
18. Setelah seperempat abad runtuhnya Uni Soviet, apa yang kita alami kini persis seperti saat Uni Soviet menjelang runtuhnya. Pada tahun 60-90an, ekonomi AS 40 persen dari total ekonomi dunia, kalo digabung ekonomi Eropa berada di angka 70-80 dari ekonomi dunia. Per hari ini ekonomi AS tinggal 20 persen, 50 persennya hilang. Begitu dikombinasi AS dan Eropa tinggal 30-45 persen. Fakta ini menjelaskan kenapa sekarang ini ada ancaman revolusi social di AS dan Eropa. Fenomena ini sebagaimana yang terjadi di Soviet, ia runtuh bukan karena perang tapi karena negara-negara di dalamnya yang memisahkan diri karena tidak tahan atas kemiskinan. Waktu Deng Xiaping beralih ke system sosialis, ia hanya buat satu penjelasan: “Sosialisme itu tidak harus berbagi kemiskinan, tapi juga berbagi kekayaan.” Hal tersebut juga yang terjadi di AKP Turki soal kenapa foto Kemal Attaturk selalu dipajang. Kata Dovutoglu, karena ia memang sudah tidak ada gunanya. Justru itu dihadirkan. Tidak ada gunanya karena telah selesai maknanya. Sengaja dipajang supaya orang tidak sadar akan tafrighul ma’ani.
19. Sekarang ancaman besar AS dan Eropa adalah menurunnya kesejahteraan dan gagalnya untuk naik kembali. Saat ini kita tidak punya penjelasan bagaimana mereka akan runtuh tapi yang jelas jalannya turun. Sekarang angka kemiskinan di AS mencapai 47 juta dari 300 juta penduduk menurut standar PBB. Itu angka yang sangat besar. Ini menjelaskan mengapa Trump menang kemarin. Kebanyakan yang memilih adalah orang kulit putih yang turun dari kelas menengah menjadi kelompok miskin. Hutang AS kini sama besarnya dengan PDB-nya, 17 Trilyun USD.
20. Fakta ini menunjukkan seluruh kekacauan sedang terjadi di dunia. Ini adalah ancaman terhadap system global, sebagaimana dulu sistem komunis tidak bekerja, sekarang ini orang sampai pada kesimpulan bahwa sistem kapitalisme global juga tidak bekerja. Jika search kalimat post –kapitalisme, akan banyak buku tentang itu karena system ini tidak bisa bekerja. Itu sebabnya kepercayaan pada PBB menurun, pada Bank Dunia menurun, pada IMF juga menurun. Salah satu krisis yang menandai bahwa mereka benar-benar turun dan tidak akan bisa kembali lagi adalah krisis financial tahun 2008 lalu. Waktunya persis Obama setelah itu naik presiden.
21. Karena system global ini tidak bisa bekerja, maka kemampuan AS untuk mengontrol dunia menjadi lemah. Salah satu indikatornya adalah Arab Spring pada tahun 2010. Meski kini ada kontra Arab Spring, namun hakikatnya AS sudah tidak bisa mengontrol. Rusia yang sebelumnya bukan siapa-siapa setelah runtuh, tiba-tiba pada 2010 kembali menjadi global player. Lebih dari 40 tahun kawasan Timur Tengah dominan dikuasai AS, kini tidak lagi. Rusia menganeksasi sebagian wilayah Ukraina, di situ ada NATO, ada AS tapi tetap tidak bisa melakukan apa-apa. Di Laut Cina Selatan, AS intens memberi peringatan tapi China jawab: kita siap berperang selama apapun. Ini membuktikan wibawa militer AS hilang. Meski secara de facto ia tetap yang terkuat. AS terkuat tapi China tidak takut. Karenanya pada ara pelantikan Donald Trump 20 Januari lalu di Davos , Xi Jin Ping diundang dan berkomentar: kalo AS tidak bisa melakukan peran sebagai pemimpin global, kita siap menggantikan! Hari ini hanya ada satu negara yang punya proposal global: China. China punya proposal meng-connect dunia secara darat dan laut. Hubungan darat ke Eropa sudah tersambung.
22. Kesimbangan dunia secara total berubah. Pertama, wibawa militer AS menurun, kedua share ekonominya menurun 50 persen, dan ketiga AS sebagai pusat inovasi teknologi pelan-pelan diambil alih negara lain. Ketiga peran ini sebentar lagi dilewati negara lain. Map dunia segera berubah.
23. Pertanyaannya, dimana kita dalam perubahan ini? Umumnya ketika kita bicara siyasah syar’iyah kita berfikir sebagaimana saat buku itu ditulis. Peta sederhananya begini: tahwil qawaid as-siyasah syar’iyyah ila qawanin daulah (transformasi kaidah siyasah syar’iyyah ke hukum negara), wa minal qawanin ila siyasati ammah (dari hukum negara ke system politik pada umumnya), wa minal siyasati ammah ila ijroati tanfidhiyah ( serta dari system politik ke teknis pelaksanaan). Yakni bagaimana mentransformasi prinsip siyasah ke negara. Itu yang kita fahami selama ini. Karena itu kita tidak pernah berfikir tentang peta. Waktu buku siyash ditulis negara Islam establish. Kita dominan. Islam sebagai ideology berubah jadi system. Sekarang situasi berubah secara total. Yang perlu dilakukan adalah persoalan mindset. Maksudnya, kita perlu membaca kembali konteks ini semua dalam perpektif aqliyah handasiyah (enginering), dalam perspektif pengubah map.
24. Setelah krisis yang menimpa dunia Islam ini, baik gerakan kebangkitan dan nation state semua sama-sama hilang. Nation state yang ada di dunia Islam itu tidak bekerja. Gerakan kebangkitan Islam juga mengalami masalah. Krisis pasca Arab spring juga berdampak pada krisis di semua gerakan kebangkaitan Islam, mau ikhwan mau salafy semua mengalami masalah. Ciri dari krisis ada 2: satu, saat orang bingung dan kedua tidak ada yang bisa menjawab. Munculah disorder (ketidakaturan). Sebagaimana disebut al-Mawardi, peran negara yang sederhana adalah law and order, menciptakan keteraturan. Yang kedua adalah qadha (krisis), ketiga jika krisis tidak ada penyelesaiannya maka masuk perang (harb). Perang adalah cara mengakhiri krisis untuk memulai lembaran baru. Karenanya setelah perang Dunia I ada negara baru, ada negara hilang. Kita sekarang ini ada di krisis menuju perang. Apa yang terjadi di kemudian hari kita tidak tahu. Kalau kita ikuti berita setiap hari, maka diberitakan perang nuklir. Korut kini bisa menyapu seluruh main land AS. Krisis ini juga sedang menimpa Indonesia. Perubahan ini mengancam kita secara keseluruhan.
25. Karena krisisnya ada di sistem globalnya, di dunia Islamnya, di gerakan Islamnya, maka Pemikiran siyasah syar’iyah ini harus kita upgrade menjadi pemikiran aqliyatul handasiyah, bagaimana berfikir dalam skala ta’sis mandzumah jadidah: menciptakan system baru. Karena salah satu keberhasilan harokah Islamiyah satu abad ini adalah dia mengembalikan identitas keislaman kita. Ideology ini kembali hidup. Karena itu di dunia ini tidak ada yang bisa melawan kapitalisme kecuali hanya Islam. Tapi ideologi ini tidak punya instrumen. Belum diubah menjadi sistem. Dan tugas kita di abad ini adalah membawa ideologi ini menjadi system. Tahwilu ideolojia ila mandhumah ‘alamy (mentransformasi ideologi Islam menjadi system global).




JAUH bikin RINDU, DEKAT Tak JEMU-JEMU

0
Diposting oleh cahAngon on 07 Agustus 2017 , in ,

JAUH bikin RINDU, DEKAT Tak JEMU-JEMU
Salim A. Fillah

Ada yang sangat menarik dari kejauhan, haus telinga untuk mendengarkan, tetapi saat dekat rasanya berat untuk mengambil manfaat darinya. Bahkan hanya sekedar untuk mendengar pun perlu usaha yang besar.

Bagaimana dengan kita?

Ada yang tak istimewa saat jauh di mata, tetapi semakin dekat mengenalnya semakin meyakinkan betapa berharganya kita mendengarkan ilmunya. Kesaksian atas integritas pribadi, lebih dari sekedar tutur dan tingkah laku yang terindrai, menjadikannya sangat bernilai.

Bagaimana dengan kita?

Ada yang telinga ini semakin haus mendengarkannya meski ia tak pandai bertutur indah. Ia bukan hanya melepaskan dahaga jiwa. Ia hadirkan mata air. Sebaliknya ada yang telinga ini kian lama kian jengah mendengarnya; bukan karena puas hati, tetapi karena hilang makna dari kata.

Termasuk yang manakah kita?

Ada yang menjadi istimewa setelah kita mengenalnya dari dekat, ada pula yang tak lagi istimewa justru setelah kita mulai dekat.

Termasuk yang manakah kita?

Ada yang tulus bersimpuh di tikar lusuh saat masih harus berpeluh menempuh perjalanan jauh. Tapi rasa enggan mulai datang untuk mendatangi tempat-tempat yang agak menyulitkan saat hidup mulai nyaman dengan berbagai kemudahan.

Ada juga yang tak surut semangat mengantarkan nasehat meski berat perjalanan yang harus dijalani, nikmat hidup tak menjadikan idealisme berkarat.

Termasuk yang manakah kita?



DAFTAR yang #MNCRGKNSKL
@salimafillah
Daftar itu hanya diketahui oleh satu orang saja. Namanya Hudzaifah ibn Al Yaman.
Bermula saat kepulangan Nabi ﷺ dari Tabuk, para munafiqin ini menyusun rencana berlapis untuk membunuh beliau. Allah telah menggagalkannya dan senarai nama-nama para musuh dalam selimut itu disampaikan Nabi ﷺ pada Hudzaifah. Maka dia digelari Shahibu Sirri Rasulillah, pemegang rahasia Rasulullah ﷺ.
"Mengapa tak kita habisi saja semua pengkhianat ini Ya Rasulallah?", tanyanya.
"Agar jangan sampai orang berkata, 'Muhammad ﷺ membunuh sahabat-sahabatnya."
Maka Hudzaifah menghabiskan sisa hidupnya di antaranya untuk terus menyeksamai orang-orang yang ada dalam daftar ini dan mencegah berbagai makar jahat mereka. Saking lekatnya pengawasan Hudzaifah, tiap kali ada yang meninggal di Madinah, 'Umar ibn Al Khaththab akan bertanya, "Apakah Hudzaifah menshalatkannya?" Jika dijawab ya, barulah 'Umar turut shalat jenazah.
Suatu hari, Sang Amirul Mukminin bertanya memelas, “Aku bersumpah dengan nama Allah, mohon engkau jawab, apakah aku termasuk dalam daftar para munafiq?”
"Aku tidak bisa menjawabnya", jawab Hudzaifah.
"Demi Allah, beritahukan aku tentang diriku!"
"Tidak bisa."
Setelah mendesak sekali lagi hingga sahabat teguh itu iba, 'Umar akhirnya mendapat jawaban. “Tidak, tapi aku tidak bisa menjamin seorangpun selainmu.”
Inilah yang membuat Imam Hasan Al Bashri selalu menangis ketika membaca dan mendengar ayat-ayat dan hadits tentang orang munafiq. Dia selalu mencurigai dirinya sendiri. Dia ditanya, "Apakah orang seperti dirimu masih khawatir jatuh ke dalam nifaq?"
"Bagaimana mungkin aku tidak takut", jawab beliau gemetar, "Pada sesuatu yang Sayyidina 'Umar saja takut?"
Apakah tiap kali menyebut "munafiq" kita juga setakut keduanya? Ya Rabb. Bila berkata dusta, bila berjanji ingkar, bila diamanahi khianat, bila bertengkar berbuat jahat, bila mendirikan shalat malas, bila bicara tak sesuai yang di hati, bila membual menakjubkan orang, bertampil memukau seperti pokok kayu tersandar, dan peka seakan segala teriak dialamatkan pada dirinya.
Betapa #mncrgknskl kita ini. Betapa tiap kali tersebut kata "munafiq", diri kitalah yang paling wajib dicurigai.
_________________________
Follow @mncrgkn.skl di INSTAGRAM untuk membangun semangat mencurigai diri sendiri; jadilah #JanganKasihKendor tuk membenahi hati, akal, & 'amal.

...mungkin kita sudah lelah

0
Diposting oleh cahAngon on 13 Januari 2016 , in ,

Oleh: Ustadz Satria Hadi Lubis

Sudah lelahkah wahai kawan atas perjuangan ini..?
mungkin jadwal dakwah yang padat itu membuatmu lemah?

Atau tak pernah punya waktu istirahat di akhir pekan yang kau gusarkan, karena harus terus BERGERAK berdakwah?

Atau pusingnya fikiranmu mempersiapkan acara2 dakwah yang membuatmu ingin terpejam?

Atau panasnya aspal jalanan saat kau melakukan aksi yang ingin membuatmu “rehat sejenak”?

Atau sulitnya mencari orang yang ingin kau ajak HIJRAH ini yang kau risaukan?

Atau karena seringnya kehidupan sekitar kita meminta infak-infakmu yang membuatmu ingin menjauh?

Dakwah kita hari ini hanya sebatas ‘itu’ saja kawan. bukan ingin melemahkan tapi izinkan saya mengajakmu merenung sejenak….

Tahukah engkau wahai kawan, siapa Umar bin Abdul Azis??
Tubuhnya hancur dalam rangka 2 tahun masa memimpinnya…
2 tahun kawan, cuma 2 tahun memimpin tubuhnya yang perkasa bisa rontok, kemudian sakit lalu syahid… Sulit membayangkan sekeras apa sang khalifah bekerja… tapi salah satu pencapainya adalah; saat itu umat kebingungan siapa yang harus diberi zakat… tak ada lagi orang miskin yang layak diberi infaq…

Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta.
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu.
Sampai pikiranmu.
Sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.

Tapi Syekh Musthafa Masyhur mengatakan
“Jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang tapi adalah jalan yang paling aman untuk mencapai ridho-Nya.”

Ya kawan, jalan ini yang akan menuntun kita kepada ridho-Nya…
Saat Allah ridho.. maka apalagi yang kita risaukan?
Saat Allah ridho… semuanya akan jauh lebih indah… karena surga akan mudah kita rasa…, in syaa Allah.

Rasulullah begitu berat dakwahnya.. harus bertentangan dengan banyak kabilah dari keluarga besarnya..

Mush’ab bin Umair harus rela meninggalkan ibunya…

Suhaib harus rela meninggalkan seluruh yang dia kumpulkan di Mekkah untuk hijrah…

Asma’ binti Abu Bakar rela menaiki tebing yang terjal dalam kondisi hamil untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya dan Rasulullah

Hanzholah segera menyambut seruan jihad saat bermalam pertama dengan istrinya,

Ka’ab bin Malik menolak dengan tegas suaka Raja Ghassan saat ia dikucilkan…

Bilal, Ammar, keluarga Yasir… mereka kenyang dengan siksaan dari para kafir,

Abu Dzar habis dipukuli karena meneriakkan kalimat tauhid di pasar,

Ali mampu berlari 400 KM guna berhijrah di gurun hanya sendirian,

Utsman rela menginfakkan 3000 unta penuh makanan untuk perang Tabuk,

Abu Bakar hanya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya…

Umar nekat berhijrah secara terang-terangan,

Huzaifah berani mengambil tantangan untuk menjadi intel di kandang musuh,

Thalhah siap menjadi pagar hidup Rasul di Uhud, hingga 70 tombak mengenai tubuhnya,

Al Khansa’ merelakan anak-anaknya yang masih muda untuk berjihad,

Nusaibah yang walaupun dia wanita tapi tak takut turun ke medan perang,

Khadijah sang cintanya rasul siap memberikan seluruh harta dan jiwanya untuk islam, siap menenangkan sang suami di kala susah.. benar-benar model istri shalihah.

Atau mari kita bicara tentang :

Nabi Musa… mulutnya gagap tapi dakwahnya tak pernah pudar… ummatnya seburuk-buruknya ummat, tapi proses menyeru tak pernah berhenti…Nabi Nuh, 950 tahun menyeru hanya mendapat pengikut beberapa orang saja..bahkan anaknya tak mengimaninya…Nabi Ibrahim yang dibakar Namrud,Nabi Syu’aib yang menderita sakit berkepanjangan tapi tetap menyeru…Nabi Yunus, berdakwah selama 33 tahun, hanya 2 orang yang menyambut seruannya.Nabi Yahya, yang dibunuh dengan cara disembelih oleh kaumnya.Nabi Zakaria juga digergaji tubuhnya….Nabi Ismail yang rela disembelih ayahnya karena ini perintah Allah…

Deretan sejarah di atas adalah SEBAIK-BAIKnya guru dalam kehidupan kita…

Sekarang beranikah kita masih menyombongkan diri bersama jalan dakwah yang kita lakukan saat ini, mengatakan lelah padahal belum banyak melakukan apa-apa… bahkan terkadang… kita datang menyeru dengan keterpaksaan, berat hati kita, terkadang menolak amanah (untuk menjadi TELADAN). Wallahu a’lam.

(Manhajuna/GAA)

Air Mata Murabbi...

0
Diposting oleh cahAngon on 09 September 2015 , in ,
دُمُوْعُ الْمُرَبِّي…!
Air Mata Murabbi … !
وَلَعَلَّهَا كَلِمَةٌ قَاسِيَةٌ - أَيُّهَا الْإِخْوَةُ - وَلَكِنَّهَا مِنَ الْحَقِّ:
Bisa jadi, ini merupakan kosa kata yang kasar – wahai ikhwah – namun, ia bagian dari kebenaran.
نَسْتَشْهِدُهَا هُنَا، فِيْ هَذَا الْمَوْطِنِ، بِقَوْلٍ صَادِقٍ لِسُفْيَانَ اَلثَّوْرِيِّ - رَحِمَهُ اللهُ –
Kosa kata itu kami jadikan dasar di sini, di tempat ini, kosa kata yang terambil dari ucapan jujur seorang ulama’ tabi’in: Sufyan Ats-Tsauri – rahimahullah -
فَقَدْ رُؤِيَ حَزِيْنًا، فَقِيْلَ لَهُ: مَا لَكَ؟
فَقَالَ: (صِرْنَا مَتْجَرًا لِأَبْنَاءِ الدُّنْيَا، يَلْزَمُنَا أَحَدُهُمْ، حَتَّى إِذَا تَعَلَّمَ: جُعِلَ قَاضِيًا أَوْ عَامِلًا).
Di mana beliau pada suatu hari terlihat berduka, maka ditanyakan kepada beliau: “apa yang membuatmu berduka?”. Maka beliau menjawab: “Kami telah menjadi bursa bagi para pencari dunia, menjadi kewajiban kami untuk mentarbiyah dan mendidik mereka, namun, setelah ia (selesai) belajar, ia menjadi hakim atau pejabat”!!!.
قَالَ أَحْمَدُ اَلرَّاشِدُ مُعَلِّقًا:
Syekh Ahmad Ar-Rasyid berkomentar demikian:
إِنَّهَا الْحَقِيْقَةُ الْمُؤْلِمَةُ فِيْ حَيَاةِ كَثِيْرٍ مِنَ الدُّعَاةِ.
Sungguh, ini merupakan fakta yang menyakitkan, fakta dalam kehidupan kebanyakan aktifis dakwah
تُعَلِّمُهُمُ الدَّعْوَةُ اَلْفَصَاحَةَ وَاللَّبَاقَةَ الَّتِيْ تُمَكِّنُهُمْ مِنْ حِيَازَةِ فُرَصٍ جَيِّدَةٍ، فَإِذَا حَازُوْهَا: فَتُرُوْا،
Di mana dakwah telah mengajarkan kefasihan dan ketangkasan kepada mereka, kefasihan dan ketangkasan yang membuat mereka mendapatkan banyak peluang bagus, namun, begitu mereka mendapatkannya, mereka futur!!!
أَوْ تَفْتَحُ لَهُمُ الدَّعْوَةُ بَابَ الدِّرَاسَاتِ الْعُلْيَا، وَلَعَلَّ إِخْوَانَهُمْ سَعَوْا لَهُمْ لَدَى الْمَسْؤُوْلِيْنَ اَلْحُكُوْمِيِّيْنَ لِحَيَازَةِ الْبِعْثَاتِ وَالزِّمَالَاتِ، وَلَرُبَّمَا أَعَانُوْهُ بِالْمَالِ، ثُمَّ يُؤْنِسُهُ إِخْوَانُهُ فِيْ غُرْبَتِهِ وَيَعْصِمُوْنَهُ الْفِتَنَ، وَيَخْلُفُوْنَهُ فِيْ أَهْلِهِ، فَإِذَا تَخَرَّجَ وَرَجَعَ: فَتَرَ، وَفَكَّرَ فِيْ عُذْرٍ يَتَمَلَّصُ بِهِ مِنَ الْعَمَلِ.
Atau, dakwah t
elah membuka untuk para aktifis itu peluang studi pasca sarjana, dan bisa jadi, ikhwah yang lain telah mengupayakan melalui berbagai pihak di pemerintahan untuk mendapatkan peluang studi di luar negeri atau peluang pertukaran pelajar, dan bisa jadi ikhwah yang lain itu telah membantunya dengan harta, lalu, ikhwah yang terlebih dahulu ada di luar negeri mendampinginya selama berada di luar negeri, membentenginya agar terlindung dari berbagai godaan. Mereka pun mengurus keluarganya yang ditinggalkan. Namun, begitu sang akh lulus dan kembali, ia malah menjadi futur dan berfikir mencari alasan untuk tidak terlibat dalam aktifitas dakwah.
قَدْ تَصِيْرُ الدَّعْوَةُ مَتْجَرًا لِأَبْنَاءِ الدُّنْيَا، يَلْزَمُهَا أَحْيَانًا، حَتَّى ِإِذَا صَارَ مُوَظَّفًا كَبِيْرًا، أَوْ أُسْتَاذًا جَامِعِيًّا، وَ(اخْتِصَاصِيًّا خَبِيْرًا): تَرَكَهَا، وَانْفَرَدَ يَبْنِيْ مُسْتَقْبَلَهُ.
Dengan demikian, dakwah telah menjadi bursa bagi para pencari dunia yang terkadang menjadi kewajibannya untuk hal ini, lalu, setelah seorang aktifis menjadi pejabat besar, atau guru besar di perguruan tinggi, atau menjadi konsultan ternama, ia malah meninggalkan dakwah dan membangun masa depan pribadinya.
كَلِمَةٌ مُرَّةٌ يَجِبُ أَنْ يَتَقَبَّلَهَا الدُّعَاةُ، فَإِنَّ كَتِفَ الدَّعْوَةِ يَئِنُّ لِكَثْرَةِ الَّذِيْنَ حَمَلَهُمْ وَتَنَكَّرُوْا لَهُ.
Sungguh, sebuah kosa kata yang pahit yang harus ditelan oleh para aktifis dakwah, sebab pundak dakwah semakin berat menanggung beban orang-orang yang harus dipikulnya dan lalu melupakannya.
فَاعْقِدُوا الْعَزْمَ عَلَى الْوَفَاءِ لِهَذِهِ الدَّعْوَةِ الْمُبَارَكَةِ - أَيُّهَا الإِخْوَةُ - وَاجْعَلُوا الشَّهَادَةَ الْعَالِيَةَ أَوِ التِّجَارَةَ أَوِ الْمَنْصِبَ فِيْ خِدْمَةِ الدَّعْوَةِ، لَا لِلصِّيْتِ، وَإِلَّا، فَإِنَّ الْأَمْرَ كَمَا يَقُوْلُ بَعْضُ السَّلَفِ:
Oleh karena itu – wahai aktifis dakwah – bulatkan tekad untuk tetap setia kepada dakwah yang berkah ini, dan jadikan ijazah kesarjanaan, atau sukses bisnis, atau jabatan, untuk berkhidmah kepada dakwah, bukan untuk mencari popularitas, jika tidak, m
aka urusannya seperti perkataan sebagian salafus-salih:
(إِنَّهُ قَلَّ مَنْ يُسِرُّ لِنَفْسِهِ الْجَاهَ وَالصِّيْتَ فَأَمْكَنَهُ الْخُرُوْجَ مِنْهُ).
“Sesungguhnya, sedikit sekali orang yang berkata pada dirinya untuk mendapatkan pangkat dan popularitas, lalu ia dapat keluar dengan selamat darinya”.
(من كتاب "المسار" لأحمد الراشد)
Sumber: kitab al-Masar, karya Ahmad Ar-Rasyid.

Siklus Paceklik dan Celah-celah Berkah

0
Diposting oleh cahAngon , in , ,
Siklus Paceklik dan Celah-celah Berkah
oleh Salim A. Fillah


Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia
Keselamatan, kasih sayang Allah, dan kebaikan yang tiada henti bertambah semoga dilimpahkan ke atas Ayahanda Presiden,
Sungguh benar bahwa cara terbaik menasehati pemimpin adalah dengan menjumpainya empat mata, menggandeng tangannya, duduk mesra, dan membisikkan ketulusan itu hingga merasuk ke dalam jiwa. Tapi tulisan ini barangkali tak layak disebut nasehat. Yang teranggit ini hanya uraian kecil yang semoga menguatkan diri kami sendiri sebagai bagian dari bangsa ini untuk menghela badan ke masa depan yang temaram.
Mengapa ia di-kepada-kan untuk Ayahanda; harapannya adalah agar huruf-huruf ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah dan semesta akan cinta kami kepada Indonesia. Syukur-syukur jika ia mengilhami para pemimpin yang berwenang-berdaulat, untuk melakukan langkah-langkah yang perlu bagi kemaslahatan kami. Dan bermurah hatilah mendoakan kami Ayahanda, agar jikapun kami hanya rumput yang kisut, ia tetap dapat teguh lembut dan tak luruh dipukul ribut bahkan ketika karang pelindung kami rubuh lalu hanyut.
Ayahanda Presiden, izinkan kami memulai hatur-tutur ini dengan sebuah kisah.
Ini adalah masa kepemimpinan Sayyidina ‘Umar ibn Al Khaththab, tahun 18 Hijriah. Musim panas berkepanjangan disertai angin kering membawa debu-abu menghantam negeri yang baru saja tumbuh itu. Panen hancur, tetanaman musnah, ternak binasa, diikuti 2 tahun kelaparan yang melanda sebentang jazirah dari Yaman, Hijjaz, Yamamah, hingga Nejd; sementara wabah dari arah Syam turut mengganas hingga ke Madinah.
Masa itu lalu dikenal sebagai ‘Tahun Ramadah’, sebagaimana ditulis Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, karena bumi tampak hitam kelabu seperti warna ramad (abu jelaga). Ibn Manzhur sebagaimana dikutip dalam Lisanul ‘Arab menyatakan, “Ramada, atau armada; adalah ungkapan jika terjadi kebinasaan. Disebut tahun ramadah sebab musnahnya sebagian manusia, tumbuhan, ternak, dan harta benda pada saat itu.”
Dampaknya yang dahsyat digambarkan Ibn Sa’d dalam Ath Thabaqatul Kubra, “..Hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.” Langkanya bahan pangan membuat harga melambung, sampai Imam Ath Thabary dalam Tarikh-nya menyebut, pada masa itu harga satu bejana susu dan sekantong keju mencapai 40 dirham.
Demikianpun, dinar dan dirham seakan benar-benar tiada guna karena jikapun ada uang berapa saja banyaknya, barang yang hendak dibeli sama sekali tiada. Kita tak lupa, paceklik ramadah terjadi tak berselang lama dari masa ketika perbendaharaan Kisra yang bertimbun-timbun diangkut ke Madinah pada tahun 14 Hijriah, juga hanya sebentar sebakda Syam dan Mesir yang makmur bergabung ke pangkuan Daulah.
Ayahanda Presiden,
Seakan-akan Allah hendak menunjukkan, bahwa ujianNya adalah kepastian berupa secicip ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan untuk memberi kabar gembira pada orang-orang yang sabar. Seakan-akan Allah hendak memperlihatkan, bahwa hari-hari di antara manusia memang dipergilirkan, lapang dan sempitnya, jaya dan prihatinnya. Seakan-akan Allah hendak menampakkan bahwa bahkan dalam Khilafah Rasyidah, masyarakat orang-orang shalih dengan pemimpin yang adil, tidak ada jaminan bebas dari krisis.
Tapi dengan cara ini pula Allah memperlihatkan kualitas seorang pemimpin, kualitas kepemimpinannya, dan kualitas mereka yang dipimpinnya. Inilah kesejatian sebuah peradaban; pada mutu jiwa manusianya, bukan kemewahan hidup dan kemegahan bebangunnya.
Masih tergambar jelas ketika ‘Umar menangis menyaksikan emas dan perak, permata dan sutra, permadani dan pernak-pernik mahal tiba dari Qadisiah dan Madain. Ketika itu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Amiral Mukminin? Padahal Allah telah memenangkan agamaNya dan memberikan kebaikan pada kaum mukminin lewat kepemimpinanmu?”
“Tidak demi Allah”, sahut ‘Umar. “Ini pastilah bukan kebaikan yang murni dan sejati. Seandainya ia adalah puncak kebaikan, niscaya Abu Bakr lebih berhak ini terjadi pada masanya daripada aku. Dan niscaya pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak ini terjadi pada masa beliau daripada kami.” Lalu ‘Umar terus menangis mengkhawatirkan adanya fitnah yang akan timbul pada ummat Muhammad gegara harta itu. Setelah agak reda dari sesenggukannya, dia berkata, “Betapa amanahnya pasukan ini, dan betapa amanah pula panglimanya, Sa’d ibn Abi Waqqash.”
“Ini semua karena engkau”, sambut ‘Ali ibn Abi Thalib, “Tak menyimpan di dalam hatimu sebersitpun hasrat pada kekayaan dunia itu. Seandainya saja di dalam dadamu ada setitik saja syahwat terhadap perbendaharaan harta itu, niscaya pasukanmu akan saling bunuh demi memperebutkannya.”
umar
Empat tahun kemudian kala menyaksikan Ramadah, ‘Umar kembali menangis. “Akankah ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam binasa di bawah kepemimpinanku?”, gerunnya berulang-kali. Saat itu, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf pula menguatkannya. “Tidak wahai Amirul Mukminin. Betapa telah berbedanya keadaan disebabkan keberkahan kepemimpinanmu?”
“Apa maksudmu wahai ‘Abdurrahman?”, sahut ‘Umar.
“Tidakkan kau perhatikan musibah dan orang-orang ini? Seandainya bencana ini terjadi di masa jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi lihatlah mereka ini; mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi ridha kepada takdir Allah, mereka saling berbagi dengan mengutamakan saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang takkan terbayangkan di masa dahulu.”
Pada zaman itu; bersebab kualitas manusianya, dalam krisispun jiwa mereka tampak berkilau, bersinar dari celah-celah berkah. Dalam makmur ataupun paceklik, suka dan duka, lapang serta sempit; mereka menunjukkan kualitas mental tertinggi yang akan menjadi modal peradaban Islam hingga abad-abad berikutnya. Ayahanda Presiden yang terhormat; andai diizinkan lancang memberi usul, betapa indah kalau program Revolusi Mental merujuk ke zaman ini.
***
Sementara itu Ayahanda,
Dalam makalahnya untuk Conference on Monetary Policy and Financial Stability in Emerging Markets di Istanbul, 13-15 Juni 2014, Guru Besar Ekonomi Harvard-Kennedy School, Jeffrey Frankel merujuk kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam tentang tafsirnya atas mimpi sang raja; tujuh sapi kurus yang memakan tujuh lembu gemuk dan tujuh runggai gandum yang segar penuh bulir serta tujuh tangkai yang kering lagi kopong.
Egypt
“Supaya kalian bertanam 7 tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan. Kemudian sesudah itu akan datang 7 tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik, kecuali sedikit dari bibit gandum yang kalian simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di masa itu mereka memeras anggur.” (QS Yusuf [12]: 47-49)
Frankel menggambarkan, seakan daur itu suatu pola yang dapat kita gunakan untuk membaca datang dan perginya paceklik di zaman kita. Dia menyebutnya, The Joseph Cycle.
Jeffrey Frankel
Selama tujuh tahun antara 1975 hingga 1981, Oil Booming melimpahkan lonjakan pendapatan pada negara-negara penghasil minyak. Minyak mendapat gelar baru; emas hitam, dan istilah ‘petro dollar’ menggambarkan kekayaan negeri-negeri yang berlipat karenanya. Seakan menepati Daur Yusuf, setelah itu terjadi krisis utang global yang bermula di Meksiko pada tahun 1982. Hingga 1989, tahun-tahun ini disebut sebagai The Lost Decade di Amerika Latin.
Di rentang tahun 1990-1996, pola yang mirip terjadi lagi di kala muncul gejala emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat selama 7 tahun. Julukan Asian Tigers bagi mereka, di mana Indonesia dimasukkan sebagai salah satunya, mewarnai satu zaman yang gempita oleh apa yang disebut sebagai Asian Economic Miracles. Namun segera setelah itu terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, yang seakan melibas dan membawa pada financial droughts hingga 7 tahun berikutnya.
Menurut Frankel dalam presentasinya yang bertajuk “What will happen to EMs when the Fed tightens?” itu, pola yang sama akan kembali terulang dalam rentang 2004-2018 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa keuangannya. Istilah “Carry Trade” dan perkembangan negara-negara yang disebut BRICs akan menjadi pemantiknya. Awalnya, selama tujuh tahun pasar keuangan berkembang dengan fantastis. Lagi-lagi seakan menyesuaii Siklus Yusuf, setelah itu kita juga mengalami krisis keuangan global.
***
Ayahanda Presiden,
Baik sesuai Siklus Yusuf atau tidak, dalam lintasan sejarah tampak nyata bahwa kelimpahan dan kesempitan memang datang dan pergi berganti-ganti nyaris secara niscaya. Tak ada negara yang terjamin bebas dari disambangi paceklik. Pun bahkan, sekali lagi untuk menegaskan, jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa; maka pintu keberkahan yang dibukakan dari langit dan bumi tak selalu berbentuk kesejahteraan tanpa jeda, melainkan juga berupa sisipan kesempitan yang membuat manusia kembali bermesra padaNya.
Menghadapi paceklik itu, dalam ketidakpastian tentang seberapa kuat ia akan menghantam, ada di antara kita yang mengkhawatirkan sang krisis. Keterbatasan pemahaman tentangnya dan berbagai gejala yang telah terasa, suka tak suka menimbulkan berbagai kegelisahan dan bahkan pesimisme. Inilah yang dialami sebagian besar masyarakat kini, terlebih mereka yang pernah mengalami tahun-tahun pahit 1997 dan menyisakan trauma dalam hati.
Barangkali mereka yang menginsyafi keniscayaan datangnya krisis itu akan lebih mengkhawatirkan kesiapan kita menghadapinya. Para jamhur ekonomi makro, para cendikia pengamat pergerakan mata uang maupun pasar saham, para winasis yang menyeksamai neraca perdagangan, cadangan devisa, maupun berbagai rasio indikator mungkin akan lebih jernih melihat hal ini.
Dan di luar sang paceklik serta kesiapan menghadapinya, bersebab keterbatasan ilmu penyusunnya, tulisan ini hanya hendak mengajak berbincang tentang sikap menghadapi krisis itu. Sebab sungguh diyakini, nestapa paling malang yang berhasil disikapi pasti menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibanding keberhasilan paling gemilang yang gagal disikapi. Bahkan, berhasil menyikapi kegagalan, berlipat baiknya daripada gagal menyikapi keberhasilan.
Sejarah pernah menaburkan teladan-teladan sikap utama dari para mulia di zaman paceklik menyapa mereka. Semoga dengan menyimaknya, kita tertuntun pula menyusuri celah-celah berkah hingga Allah karuniakan kebaikan di masa depan, dunia dan akhirat.
Sebagaimana ditelaah oleh Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi dalam disertasinya di Universitas Ummul Qura Makkah yang meraih predikat summa cum laude, Al Fiqhul Iqtishadi Li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab; ada hal-hal menarik dari Sayyidina ‘Umar selaku pemimpin negeri dalam masa Ramadah yang patut dicatat.
Fikih Eko Jaribah
Pertama, dia sebagai kepala negara memikul penuh tanggungjawab atas hal tersebut. Bahkan meskipun diyakinkan berulangkali oleh para sahabat bahwa semua yang terjadi merupakan takdir Allah, ‘Umar selalu merasa bahwa pangkal persoalannya adalah kepemimpinan dirinya yang dalam pandangannya amat jauh dari kualitas pribadi yang dimiliki kedua pendahulunya, yakni Rasulullah dan Abu Bakr. Maka ‘Umar selalu takut kepada Allah kalau-kalau ummat ini binasa dalam pemerintahannya. Dengan bercucuran airmata, berulang-kali dia berdoa, “Ya Allah, jangan kau jadikan ummat Muhammad binasa dalam kepemimpinanku.”
Barangkali ada berlapis-lapis alasan bagi ‘Umar dalam paceklik itu, semuanya berupa keadaan yang di luar kendalinya; hujan yang tak turun, anomali musim, panen yang gagal, para pengungsi yang membanjiri Madinah, wabah penyakit yang datang dari arah Syam. Tapi dia memilih untuk bermuhasabah, barangkali dosa dan kelemahannyalah yang jadi persoalan. Alih-alih menyalahkan berbagai hal ataupun pihak, dia menjadi lebih banyak diam, bermuhasabah, dan beristighfar.
Kedua, ‘Umar mengambil sikap untuk bersama rakyatnya dalam keprihatinan. ‘Umar adalah penyuka susu dan keju. Tapi sepanjang 2 tahun Ramadah, dia haramkan untuk dirinya makanan selain roti tepung kasar, garam, dan minyak. Para sahabat menyaksikan bagaimana kulit ‘Umar yang semula putih kemerah-merahan, berubah menjadi kuning kehitam-hitaman bersebab hidup prihatin yang dia paksakan untuk dirinya.
Barangkali hidup sederhana takkan menyelesaikan krisis dan tidak pula memberi solusi kepada paceklik parah itu. Penghematan yang terjadi juga tak signifikan sama sekali. Tapi ketika itulah rakyat akan melihat bahwa sang pemimpin ada bersama mereka, merasakan hal yang sama seperti yang mereka alami. Dengan itu, bertambah tentramlah hati mereka yang dipimpinnya. Ketika rakyat hatinya tenang, bahkan pemimpin yang tak solutif sekalipun akan melihat bahwa rakyatnya punya kemampuan dahsyat untuk mencari solusinya sendiri.
Ketiga, ‘Umar menjadikan masa Ramadah sebagai wahana untuk membangun solidaritas menyeluruh kepada berbagai bangsa yang dipimpinnya. Betapa dia meneladankan langsung mengangkuti tepung, minyak, dan lauk kering untuk para pengungsi dan penduduk Madinah. Dia pula menghimbau dan menyemangati rakyatnya untuk berbagi dan menanggung beban sesama. Dia tepuk-tepuk pundak seorang ‘relawan’ muda bernama Al Ahnaf ibn Qais, yang dengan terus berlari-lari sepanjang hari memenuhi hajat orang-orang, lalu ketika habis tenaganya, dia mengelemprak sembari menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan murka padaku jika masih ada hambaMu yang kelaparan.”
Kita sebagai bangsa juga punya modal sosial yang amat kuat untuk membangun solidaritas itu. Bahkan mungkin kita adalah salah satu negara dengan lembaga kemanusiaan yang amat banyak jumlahnya, bekerja menyalurkan zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan bahkan dana CSR dalam berbagai kegiatan sosial. Dukungan dan kebersamaan pemerintah akan kian meneguhkan kita pula sebagai bangsa yang tangguh.
Keempat, ‘Umar terus memikirkan dan merumuskan sistem jaminan sosial yang bisa membuat rakyatnya bertahan di tengah paceklik. Segala sumber daya yang ada di Baitul Maal, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dikisahkan bagaimana dia mengumpulkan 60 orang, lalu memasak sejumlah tepung menjadi roti dan daging kering sebagai lauknya lalu mempersilakan mereka makan. Ketika ditanyakan apakah mereka merasa kenyang dengan itu, semua menyatakan ya. Maka ‘Umar memutuskan, sejumlah bahan-bahan yang tadi dimasaklah yang akan diberikan sebagai tunjangan sosial bulanan bagi tiap jiwa yang musnah sumber penghidupannya selama Ramadah.
Kelima, ‘Umar menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama selama krisis dan setelahnya. Dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam pun didapati bahwa, dalam masa kelangkaan di mana bahkan emas dan perak jadi tak berguna, Mesir selamat karena menata dengan baik konsumsi dan persediaan logistiknya. ‘Umar pun meminta Abu Musa Al Asy’ari untuk mengajarkan kebiasaan kaumnya yang dipuji Rasulullah, yakni; semua keluarga dalam tiap unit masyarakat mengumpulkan bahan pangan yang dimiliki menjadi satu dalam lumbung, kemudian pembagian kembali untuk konsumsi diatur dengan tata laksana gotong-royong yang adil dan penuh kebersamaan.
Inilah kebijaksanaannya; jika lumbung terpusat ala Yusuf tidak relevan untuk negaranya yang membentang dari Gurun Sahara hingga Sungai Indus; maka ketahanan pangan dibangun dalam unit-unit kecil masyarakat. Teknologi budidaya, pemanenan, pengolahan, dan penyimpanan panen di masa berikut kiranya amat membantu lahiriah dari jiwa-jiwa yang berbagi suka dan duka.
‘Umar pula mengunjungi beberapa daerah pantai dan menemui para nelayan. Dengan pujiannya ketika membersamai mereka melaut, “Betapa baiknya cara kalian menjemput rizqi Allah”, dia meminta pelipatgandaan penyediaan ikan dan membiasakan rakyatnya memakan hasil laut. ‘Umar juga melarang segala jenis ternak dan hewan peliharaan diberi makan dengan apa yang dapat dikonsumsi manusia. Dia sangat marah ketika pada sebuah peternakan unta ditemukan kotoran yang mengandung jejak tepung sya’ir.
Keenam, ‘Umar menggesa pembangunan infrastruktur dan jaminan keamanan yang mendukung kelancaran suplai logistik. Pada jalur antara Syam ke Madinah, Kufah ke Madinah, dan bersambung hingga Yaman; didirikan pos-pos penjagaan dan tempat-tempat istirahat kafilah yang memadai. Di tahun berikutnya, setelah melihat lama dan mahalnya angkutan darat dari Mesir ke ibukota, ‘Umar memerintahkan Gubernur ‘Amr ibn Al ‘Ash untuk menggali kanal yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, sehingga hasil pertanian Mesir yang berlimpah dapat diangkut dengan cepat ke Madinah untuk menekan harganya. Terusan itu tetap berfungsi hingga akhir masa pemerintahan Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan.
Nil2
Ketujuh; ‘Umar memberlakukan beberapa kebijakan yang meringankan beban tanggungan masyarakat. Selama masa Ramadah, zakat hewan ternak ditunda penarikannya, pemeroleh jaminan sosial diperluas dari semula bayi tersapih menjadi sejak bayi lahir, bahkan beberapa hukuman ditangguhkan penerapannya termasuk pencurian yang benar-benar bersebab kebutuhan dan tak mencapai nilai seperempat dinar. Sebaliknya, ketika menemukan lahan subur milik para pemuka kaum tak digarap dalam tinjauannya ke Iraq, dia tegas mengultimatum bahwa jika dalam waktu tertentu sang tuan tanah tak menjadikannya produktif, negara berhak menyita dan mengamanahkannya pada yang mampu menanaminya.
Kedelapan, boleh jadi inilah yang terpenting; keberserahan diri ‘Umar kepada Allah dan upayanya dalam memohon pertolongan Allah. Suatu hari di puncak paceklik, digandengnya erat Sayyidina ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib setelah bersama-sama menunaikan shalat istisqa’. Dengan berlinang dia berkata, “Ya Allah, dulu kami memohon hujan dengan perantaraan NabiMu. Kini kami mohon turunkanlah lagi hujan itu dengan perantaraan doa Paman NabiMu ini.” Tak lama kemudian angin mengarak awan hitam di langit Madinah, dan hujanpun turun dengan deras. Inilah sang pemimpin, dia merunduk pada Allah dan menggandeng erat orang-orang shalih.
Ayahanda Presiden yang terhormat,
Kami akhiri hatur-tutur ini dengan tiga kata yang menggambarkan sifat pemimpin menurut Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Rangga Warsita, yakni momor, momot, dan momong. Momor berarti hadir, dekat, bersama, menyatu, dan seperasaan dengan yang dipimpin. Momot artinya mampu memuat segala beban, keluhan, dan harapan yang dipimpin. Adapun momong artinya, menjaga, mencukupi, mengasuh, mengasihi, dan mengasah yang dipimpin. Doa kami selalu, semoga Panjenengan nDalem mampu mengemban amanah lebih dari 250 juta manusia yang amat berpotensi menjadi pendakwa, bukan pembela di akhirat sana.
Hamba Allah yang tertawan dosanya,
t: @salimafillah
FB: Salim A. Fillah