Saat 'Ain Jadi Nga...

0
Diposting oleh cahAngon on 06 Desember 2011 , in ,
Idayul yilatil ardhu yilyalaha....
Inna anyalnahu fi laylatil qodr...

Kalau pembaca berkesempatan shalat berjamaah di Yogyakarta dan mendapati bacaan imam ‘unik’ seperti di atas, dengan amat sangat maklumi saja. Tak perlu tertawa apalagi melecehkan. Di lidah orang Yogya, melafalkan zai (ﺯ) sesuai ucapan asalnya bukanlah pekerjaan mudah. Sama halnya melafalkan h (ﺡ) dan ’ain (ﻉ), yang akhirnya menjadi kh dan nga.

Alkhamdulillahirabbil ngalamiin...


Lidah Jawa Yogya memang sejak kecil tampak sukar menyesuaikan diri dengan harakat hijaiah. Apalagi bagi simbah-simbah yang sepuh dan belajar Qur`an di pengujung umurnya, sudah hebat dengan mau melek iqra. Kalau suatu ketika mereka terpaksa jadi imam shalat jamaah, ya maklumi saja dengan keterbatasan itu.

Yang menarik, anak-anak sekarang di Yogyakarta juga harus diarahkan agar bisa menempatkan kapan bicara ya, kh adan nga ketika bermain-main dengan temannya di sawah atau mal. Tapi ketika mereka duduk manis di teras TPA, ya harus terang dan fasih bicara huruf hijaiah.

Beberara orang Yogya mungkin masih kesulitan. Butuh kerja keras untuk membenarkan bacaan harakat Arab. Bagi sebagian yang lain, sudah lumayan bisa beradaptasi, meski sesekali masih keceplosan bicara ya, kh, dan nga.

Pernah seorang dai Muhammadiyah yang alim tetap bicara dengan ber-nga meskipun saat bicara surat Al-Qur`an sudah cukup fasih. Atau seorang Salafiyyin di Bantul yang dengan fasih melafal ayat Qur’an tapi ketika mengkritik perbuatan tak berdalil sebagai bidngah (maksudnya: bid’ah—dengan huruf 'ain).

Seorang kawan pernah bermakmum pada imam yang fasih saat baca Qur`an. Lucunya pas hendak iktidal, sang imam berujar, “Samingallahuliman hamidah...”

Nah, maka bila di saat shalat saja mereka ‘tak kuasa’ membetulkan diri, lebih-lebih saat tak sadar memberikan nama putra-putrinya. Teman saya namanya bagus: Sarengat, yang maksudnya bapaknya menamai supaya dia ingat syariat (Islam). Bapak yang lain menamai putrinya dengan Istinganah (maksudnya Isti’anah).

Saya juga sempat bingung ketika seorang takmir Jogokariyan meminta saya menghubungi Pak Riyal untuk keperluan ceramah. Setahu saya tak ada nama Riyal, yang ada Rizal. Benar saya, orang yang dimaksud ya Pak Rizal itu.

Serapan dan akulturasi budaya dengan memodifikasi kata baru pun tak bisa dielakkan. Kita tak perlu kaget kalau muadzin dipanggil modin. Begitu pula dengan nama-nama khas kampung di Yogyakarta, yang tak lain masih mewarisi budaya Islam.

Jadi, kalau berkesempatan shalat dan mendapati bacaan aneh, tak perlu bersemangat meneriaki tasbih. Bisa-bisa si imam kian grogi dan malah membatalkan shalat. Atau jangan pening memikirkan kenapa aktivis Islam kok salah mengucapkan terima kasih pada Anda. Jayakallahu (sic: jazaakallahu) khairan ya Pak ....[]

yusuf maulana

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar