Akhwat Memakai Blus dan Rok, tidak syar’i?

0
Diposting oleh cahAngon on 27 Februari 2012 , in , , ,
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Pertanyaan:
Assalamu’alaykum wr wb
Redaksi, saya ingin bertanya kepada ustadz Farid Nu’man
Mohon dijawab pertanyaan saya berikut ini, sebelum dan sesudahnya jazakumullah khoiran katsiron
Ustadz, bagaimana hukum memakai baju muslimah berupa atasan (semisal kemeja, blus, kaos, dsb) dan bawahan (rok)? Bagaimana dengan yang dimaksud dalam QS Al Ahzab ayat 59 yang berbunyi:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan ALLOH SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59).
Dalam ayat di atas disebutkan jilbab yang dalam bahasa arab berarti baju kurung/ gamis/abaya. Apakah tafsir dari ayat di atas kita wajib menggunakan gamis/baju kurung/abaya? Apakah tidak boleh menggunakan baju atasan dan bawahan? (Rosita)

Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘al Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:
Saudari Rosita yang dirahmati Allah ………
Pada prinsipnya pakaian syar’i bagi muslimah itu mesti memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan
Ini adalah pendapat jumhur ulama, tentunya kita tetap menghargai para ulama yang memasukkan wajah dan telapak tangan wanita juga termasuk aurat yang wajib ditutup.
Berikut ini nash-nash yang mendasari kriteria ini:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya. (QS. An Nuur (24): 31)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An Nuur ayat 31 di atas:
بدن المرأة كله عورة يجب عليها ستره، ما عدا الوجه والكفين قال الله تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها)، أي ولا يظهرن مواضع الزينة، إلا الوجه والكفين، كما جاء ذلك صحيحا عن ابن عباس وابن عمر وعائشة
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib atasnya untuk menutupnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.”, yaitu jangan menampakkan tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang diriwayatkan hal itu secara shahih dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah.” [1]
Mayoritas para ulama mengatakan wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat. Sebagaimana tertera dalam tafsir Imam Ibnu katsir berikut, ketika menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya”:
ويحتمل أن ابن عباس ومن تابعه أرادوا تفسير ما ظهر منها بالوجه والكفين، وهذا هو المشهور عند الجمهور
“Ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud “Maa zhahara minha (apa-apa yang biasa nampak darinya)” adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah yang masyhur menurut mayoritas ulama. “ [2] Ini juga pendapat Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa’, Said bin Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang kaki.[3]
Sementara Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An Nakha’i, Hasan Al Bashri, Ibnu Sirrin, Abu Al Jauzaa, dan lain-lain, mereka menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya” adalah pakaian dan selendang.[4] Dengan kata lain menurut mereka, wajah wanita adalah aurat. Namun, dalam riwayat lain dari Hasan Al Bashri, beliau menafsirkan: wajah dan pakaian.
Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak, pewarna tangan, dan cincin. Sementara Said bin Jubeir dan Atha’ mengatakan: wajah dan kedua telapak tangan. Qatadah mengatakan: celak, gelang, dan cincin. Al Miswar bin Mukhramah mengatakan: cincin, celak, dan gelang. Mujahid berkata: cincin, pewarna tangan, dan celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia. Al Auza’i mengatakan: wajah dan dua telapak tangan. Adh Dhahak berkata: wajah dan dua telapak tangan. Sementara Hasan Al Bashri mengatakan: wajah dan pakaian.
Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini, beliau mengatakan:
وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.
“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.”[5]
Imam Al Muzani Rahimahullah juga mengatakan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya” adalah wajah dan dua telapak tangan.[6]
Demikianlah pendapat pilihan mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan).
2. Tidak sempit dan transparan
Hendaknya pakaian wanita itu longgar secara keseluruhannya, agar tidak nampak lekukan tubuhnya. Begitu pula hendaknya tebal dan berlapis agar tidak tembus pandangan.
Kriteria ini bisa dilakukan dengan jenis pakaian gamis atau atasan – bawahan, selama memang longgar. Memakai gamis memang lebih utama, tetapi jika ada muslimah memakai gamis yang sempit sehingga kriteria ini tidak terpenuhi, maka memakai blus dan rok yang jauh lebih longgar dan tebal tentu lebih utama dan sesuai dengan maqashid (tujuan) dan ruh syariat dibanding gamis yang seperti itu. Apalagi jika blus dan rok tersebut dilapisi lagi oleh jubah yang panjang, sehingga semakin jauh dari penampakan lekukan tubuh dan transparan. Hendaknya hal ini diperhatikan benar, bahwa yang menjadi prinsip adalah pakaian tersebut mampu menjauhkan seorang wanita dari nampaknya lekukan tubuh dan tembus pandang. Hal ini bisa dicapai baik dengan gamis atau selain gamis.
Kriteria ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum saya lihat sekarang, yaitu kaum yang membawa cemeti (cambuk) seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul manusia. Dan para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menggoyang-goyangkan tubuhnya, memiringkan kepalanya, seperti punuk unta yang miring. Para wanita itu tidak akan masuk surga, bahkan tidak mendapatkan wanginya surga, padahal wanginya surga itu sudah bisa tercium dari perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim No. 2128. Ahmad No. 8665. Ibnu Hibban No. 7461, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No.5357, Al Baghawi No. 2578, Abu Ya’la No. 6690)
3. Tidak menyerupai pakaian dan perhiasan wanita kafir dan ahli maksiat
Yaitu tidak menyerupai pakaian dan perhiasan yang memang identik dipakai oleh wanita kafir dan pelaku maksiat, terutama dari sisi modelnya, yang jika dipakai maka manusia akan terbawa pikiran bahwa itu bukan pakaian wanita muslimah yang syar’i, dan bukan pula pakaian wanita baik-baik. Mereka langsung mengira itu adalah busana wanita kafir.
Dasar dari kriteria ini adalah. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”[7]
Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal.[8] Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.[9] Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.[10] Demikian status hadits ini.
Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” [11]
4. Tidak menyerupai laki-laki
Janganlah seorang muslimah memakai pakaian yang menjadi ciri khas kaum laki-laki, dan pakaian yang menurut kebiasaan yang ada merupakan pakaian yang biasa digunakan kaum laki-laki. Saat ini sudah teramat banyak wanita muslimah yang tidak mengindahkan hal ini. Sehingga banyak wanita yang begitu “maskulin” dengan pakaian tersebut. Ini sudah berlangsung begitu lama, sehingga ada yang mengira hal itu tidak apa-apa karena sudah menjadi ‘adat (kebiasaan) dan ‘urf (tradisi) baru, sedangkan Al ‘Adat muhkamat – adat itu menjadi ketentuan hukum. Ini keliru, sebab adat dan tradisi yang fasad (rusak) –yakni yang bertentangan dengan syariat- tidak akan pernah menjadi ketentuan hukum. Adat yang bisa menjadi ketentuan hukum adalah ‘urf shahih (tradisi yang benar) sebagaimana dikatakan para ahli ushul.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمَرْأَةَ تَتَشَبَّهُ بِالرِّجَالِ وَالرَّجُلَ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita. (HR. Ibnu Majah No. 1903. Imam Ahmad Al Kinani berkata: isnadnya hasan. Lihat Mishbah Az Zujaajah, 2/108. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih. Lihat Adabuz Zifaf, Hal. 121)
Dalam riwayat lain, lebih tegas lagi Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. (HR. Abu Daud No. 4098, Ibnu Hibban No. 5751, 5752, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9253. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 5095)
5. Tidak Tabarruj
Yakni tidak bersolek (berhias) seperti wanita jahiliyah, sebab sesungguhnya make up terbaik bagi muslimah adalah air wudhu dan akhlaknya yang mulia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al Ahzab (33): 33)
Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:
ولا تُظهرن محاسنكن، كما كان يفعل نساء الجاهلية الأولى في الأزمنة السابقة على الإسلام، وهو خطاب للنساء المؤمنات في كل عصر
Janganlah kalian menampakkan keindahan-keindahan kalian, sebagaimana dilakukan para wanita jahiliyah dahulu pada masa sebelum Islam, dan ayat ini berbicara kepada kaum wanita beriman pada setiap zaman. (Tafsir Al Muyassar, 7/343)
6. Tidak memakai warna yang mencolok
Yaitu tidak memakai busana yang berwarna ngejrenk dan terkesan norak, sehingga menjadi pusat perhatian, dan hendaknya memakai yang kalem dan bersahaja. Allah Ta’ala melarang kaum wanita menyengaja menjadikan dirinya menjadi pusat perhatian kaum laki-laki disebabkan apa yang dipakainya, baik pakaian, perhiasan, atau dandanan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (QS. An Nuur (24): 31)
Lalu, setelah kriteria ini sudah terpenuhi hendaknya disempurnakan dengan akhlak yang mulia, tutur kata yang sopan, menjaga pandangan, supel (gampang bergaul) tanpa harus mengorbankan nilai dan akhlak Islam dalam bergaul.
Makna Jilbab
Benarkah makna jilbab dalam surat Al Ahzab ayat 59 adalah bermakna baju kurung, gamis, atau abaya? Sehingga, yang dengan itu menjadi tidak syar’i-nya memakai baju atasan (seperti blus, kemeja) dan bawahannya (seperti rok) betepa pun sudah longgar dan tebal, sekaligus karenanya yang syar’i hanyalah baju terusan (seperti gamis) ?
Berikut ini penjelasan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya tentang ayat tersebut:
والجلباب هو: الرداء فوق الخمار. قاله ابن مسعود، وعبيدة، وقتادة، والحسن البصري، وسعيد بن جبير، وإبراهيم النخعي، وعطاء الخراساني، وغير واحد. وهو بمنزلة الإزار اليوم.
Jilbab adalah ridaa’ di atas khimaar . Ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubeir, Ibrahim An Nakha’i, ‘Atha Al Khurasani, dan lebih dari satu. Hari ini (zaman Ibnu Katsir), dia kedudukannya sama dengan izaar (kain sarung). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/481)
Ridaa’ adalah ats tsaub (pakaian), juga bermakna baju luar (mantel), jubah, gamis, dan selendang (wusyaah).
Khimaar –jamaknya adalah khumur- yaitu tudung atau penutup kepala wanita. Dipakainya mesti sampai menutupi bagian dada, sebagaimana ayat:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khumur) kedadanya. (QS. An Nuur (24): 31)
Maka, dalam konteks ini, Jilbab adalah pakaian atau kain bagian luar yang menutup kain bagian dalam yang menutupi kepala wanita. Jadi, dalamannya adalah khimaar lalu ditutup lagi dengan kain, kain itulah jibab, dan jilbab itu hendaknya lebar.
Berkata Imam Al Alusi Rahimahullah:
جلباب وهو على ما روي عن ابن عباس الذي يستر من فوق إلى أسفل ، وقال ابن جبير : المقنعة ، وقيل : الملحفة ، وقيل : كل ثوب تلبسه المرأة فوق ثيابها ، وقيل : كل ما تتستر به من كساء أو غيره
Jilbab –sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas- adalah yang menutupi tubuh dari atas sampai ke bawah. Berkata Ibnu Jarir: kain penutup kepala. Dikatakan: kain selimut. Disebutkan: semua pakaian yang dipakai wanita di atas bajunya. Disebutkan: semua yang dipakai wanita untuk menutupi dirinya baik dengan pakaian atau selainnya. (Ruh Al Ma’ani, 16/223. Mawqi’ At Tafasir)
Maka, tanpa mengurangsi rasa hormat, nampaknya perlu ditinjau lagi wacana membatasi makna jilbab hanya dengan gamis atau baju terusan. Jelasnya adalah jilbab itu sebuah kain besar yang melapisi pakaian wanita yang sudah dikenakannya, yang digunakan dari mulai kepala hingga ke bawah, paling tidak sampai menutupi khimaar-nya.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina wa ‘ala Aalihi wa shahbihi wa Salllam.
Wallahu A’lam
[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 127. Darul Kutub al Araby, Beirut Libanon.
[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 45 Daru Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’, 1999M/1420H.
[3] Ibid
[4] Imam Ibnu Katsir, Ibid. Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 19, Hal. 156.
[5] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal. 156-158.
[6] Imam Al Muzani, Mukhtashar, Hal. 163. Darul Ma’rifah.
[7] HR. Abu Daud No. 4031
[8] Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215
[9] Imam Ismail bin Muhamamd Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, Juz. 2, Hal. 240. Darul Kutub Al ‘Ilmiah
[10] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 11, Hal. 52. Cet. 2, 1415H. Darul Kutub Al ‘Ilmiah
[11] Ibid

Sumber : http://faridnuman.blogspot.com/2012/02/akhwat-memakai-blus-dan-rok-tidak-syari.html

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar