Anak Muda di Suatu Hari Jum’at

0
Diposting oleh cahAngon on 23 November 2010 , in

Di sebuah lembah. Anak muda itu di bawa bapaknya. Tak terasa hari Jum’at tiba, Ia pun ikut bapak nya jum’atan. Hudzaifah menjadi khatib, isinya singkat, “ Sesungguhnya kiamat sudah dekat, dan bulan pun terbelah, Sungguh saatnya (kiamat) telah dekat. Sungguh bulan telah terbelah, telah dekat bagi dunia saat perpisahannya. Sungguh hari ini masih gelap ( hasilnya). Sedang besok manusia harus berlomba.”
Usai sholat anak  itu bertanya pada bapaknya, “Besok orang-orang harus ikut berlomba apa Pak?”
“Kamu ini memang bodoh. Maksudnya, hari ini manusia harus beramal di dunia, dan esok di akhirat akan mendapat pahalanya,” jawab bapaknya.
Pada Jum’at berikutnya, anak muda itu menghadiri shalat lagi. Hudzaifah berkhutbah lagi, dengan tema itu lagi, hanya di akhirnya ia menegaskan “ Sesungguhnya persinggahan akhir itu adalah akhirat, sedangkan yang menjadi pemenang dalam perlombaan adalah mereka yag melenggang ke surga. Anak muda itu pun semakin mengerti.
Seperti anak muda itu. Banyak dari kita harus belajar lebih jauh, tentang hidup yang sejatiya adalah perlombaan. Dengan keutuhan makna dan kesungguhan arti, belum semua kita telah benar-benar berlomba. Orang-orang berlari mengejar takdirnya, juga harapan-harapannya, tapi siapa yang benar-benar bersungguh-sungguh? Sebagian bahkan hanya menonton, sebagian diam dan masa bodoh, sebagian lagi tertatih, seperti kereta tua yang tak kunjung mengantarkan penumpangnya pada cita.
Di usia kita yang entah berapa, kita mesti bertanya, sejauh mana kita telah menempuh jalan dan seberapa banyak kita telah menabung bekal. Ini bukan soal dimensi usia, dimana seseorang mengurutkan zaman produktifitasnya kedalam fase yang tidak jelas : kecil bermain, muda foya-foya,lalu tua bertobat dari dosa. Ini adalah murni soal semangat untuk berdedikasi secara baik dan maksimal.
Sebab pada akhir dan ujung kesudahannya, hidup memang perlombaan mengejar surga, yang pasti berlomba mutu dan beradu cepat adalah keniscayaan hidup orang-orang beriman. Begitulah yang semestinya kita jalani. Diatas reruntuhan peradaban yang pahit untuk di kenang, kita harus mengerti begitu banyak logika kehidupan.
Logika hidup adalah musafir yang hanya mampir untuk minum, atau logika hidup adalah sampan kecil yang mengarungi samudera, yang harus membawa bekal yang cukup, logika hidup adalah waktu, siapa yang membunuh waktu maka ia membunuh hidupnya. Hanya yang menggunakan waktunya dengan baik, tepat dan benar, yang membangun kehidupannya sendiri. Logika hidup adalah persaingan antara mimpi manusia yang panjang dan ajal yang memenggal. Begitu juga dengan logika, hidup yang beradu dengan godaan, kehendak yang lelet, tenaga yang lunglai, serta panggilan syetan yang memlambai sepanjang perjalanan.
Di atas semua logika itulah, hidup kita mungkin tak ubahnya seperti kereta tua. Itu tak boleh terjadi, sebab sepotong hidup hanya sekali datang, sesudah itu secepatnya pergi, bahkan alangkah cepatnya menghilang. Pagi datang dan segera saja di sapu siang, Sore memburu dan tiba-tiba di lipat malam. Hari-hari terasa membosankan, rutinitas berjalan dengan ritme yang beku. Hidup seperti itu? Duh , kemana kita menatap? Ke masa  depan yang gelap, atau ke masa lalu yang menjadi hantu. Atau kesejahteraan hidup yang tak juga terengkuh, beban semakin berat gairah semakin menipis.
Gerak dan pilihan untuk terus maju, adalah prinsip besar yang harus kita pilih. Hidup ini selalu di ambang dua tuntutan. Pertama tuntutan untuk terus berkompetisi secara waktu. “ Dan bersegeralah kamu kepada surga Allah, yang luasnya seluas langit dan bumi…..”Ya, ke surga pun kita mesti bersegera. Ini adalah dimensi waktu yang mengajarkan kita soal persaingan mempercepat perolehan bekal ke surga dengan sebaik mungkin memanfaatkan kesempatan. Ini benar-benar soal kompetisi menggunakan waktu, bahkan pada dasarnya itu kompetisi dengan usia kita sendiri, tidak ada yang bisa berharap pada orang lain, kecuali sebatas permintaan tolong yang wajar, basa basi, atau bahkan kalau lebih pun selalu ada pamrih, tersembunyi maupun terang-terangan.
Yang Kedua, adalah soal dimensi kualitas, mutu, bobot, dan apa yang harus kita lakukan dengan sebaik mungkin. “ Dan berlombalah kamu dalam kabajikan….”. Perlombaan selalu ada yang menang dan ada yang kalah, karena dimensi mutu, memberi penegasan bahwa menjadi cepat saja tidak cukup, tapi bagaimana kita bisa menjalani hidup sebagai orang-orang  yang  punya mutu, prestasi, karya, dedikasi, dan kualitas pribadi dalam beragam pilihan yang kita tekuni.

Tetapi kenyataannya, ada banyak hal yang tidak berhasil kita gapai, lantaran tidak maksimalnya kita dalam mencari dan mengejar, ini bukan soal keinginan untuk nrimo dan pasrah, ini tidak ada kaitannya, ini murni soal bagaimana dengan daya kita punya, kita bisa memberi  sebanyak mungkin kebajikan, menanam sebaik mungkin arti. Kecuali bila memang kita tak punya mau, atau hanya kepasrahan semata yang kita buru : barangsiapa yang lambat amalnya, tidak akan di percepat oleh nasabnya” begitu Rasulullah berpesan. Hidup benar-benar pertarungan semangat untuk bergegas dan kehendak untuk bersegera.
Sudah seberapa maksimal kita mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita. Adakah kita seperti kereta tua yang tak mampu melaju, tidak juga memberi rasa nyaman, ia hanya menarik dilihat sebagai saksi sejarah, bahwa dirinya pernah hadir, mengisi sepotong masa di muka bumi. Hidup seperti kereta tua, hanya memberi ruang pada sisi dokumen sejarah semata, seperti prasasti bisu. Kita pernah ada, hanya itu tidak lebih. Menjadi ada memang karunia, sebab kita tidak bisa mengadakan diri kita sendiri, tapi menjadi ada tidak cukup, kita ada karena kita di perintahkan untuk punya makna, Menyembah-Nya, memakmurkan bumi-Nya, berbuat baik pada sesama, menahan diri dari gejolak jiwa yang menyimpang, begitu seterusnya. Tanpa itu kita benar-benar seonggok kereta tua, semakin bertambah hari semakin tua, kian keropos dan karatan, di dera kelemahan diri yang tak kuasa di hindari, tidak harus aus oleh terpaan angin atau guyuran hujan, kereta tua itu mati oleh dirinya sendiri.
Di suatu hari jum’at, seorang anak muda telah belajar untuk seluruh hidupnya, tentang arti perlombaan. Tapi hari ini banyak yang butuh berhari-hari untuk mulai mengerti. Setiap manusia berlomba untuk nasib dan kepastian diri sendiri di akhirat kelak, bergegas, bersegera, sebab yang menang adalah yang lolos dari neraka dan masuk surga, yang lambat, seperti kereta tua tanpa kehendak, tanpa arah dan tanpa tenaga, akan menyesal suatu hari kelak. Kereta tua adalah hidup yang tak pernah sampai, mimpi bahagia yang terlalu sederhana, atau perjalanan cita-cita yang sangat lamban dan tidak menghantarkan.

Di sadur dari :
Ahmad Zairofi AM
Lelaki Pendek Hitam Lebih Jelek dari Untanya
Jakarta : Tarbawi Press, 2006

Dengan perubahan seperlunya

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar