Ku Ingin Allah yang Mengirimkannya Untukku...

0
Diposting oleh cahAngon on 24 November 2011 , in , ,
“Wah.. Kakak kalah nih sama adek Shinta. Shinta dah berani bawa calon ke rumah. Kakak kapan?”, demikian seloroh seorang ibu kepada anak perempiuannya dengan nada menggoda.

Sang anak terdiam sejenak, walau senyum tetap mengembang di sudut bibirnya. Senyum yang sebenarnya menyiratkan selaksa emosi. Merasa lucu, sedih, bahagia, harap dan cemas. Tak langsung menjawab pertanyaan itu, karena hatinya berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menyampaikan maksudnya kepada Sang Ibu. Kejengkelan, kemarahan, dan keketusan tentu saja tidak akan mampu memahamkan Sang Ibu pada konsep hidup yang ada dibenaknya sekarang. Lama ia terdiam (tetap dalam senyum).

Sang anak teringat pertahanan yang dibangunnya di awal-awal ketika ia menemukan kesempurnaan Islam yang melingkupi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya konsep pembangunan kembali peradaban Islam yang agung. Konsep yang membuatnya tergugah untuk menjadi salah satu arsiteknya, bahkan meng’azzamkan diri untuk itu. Islahu An-Nafsi, itulah metode awalnya, kemudian Takwin Bait Al-Muslim, Irsyad Al-Mujtama’, sampai di akhirnya ustadziyyatu Al-’Alam. Islam yang mampu membuat masa remaja (baca: puberitas) terarah dengan baik, terbimbing dan lebih bermanfaat. Walau untuk itu pertarungan antara nafsu jahiliyah dan nafsu mutmainnahnya tak jarang membuatnya insomnia, air matanya terkuras, hatinya terkikis, apatah lagi ‘perseteruan’ dengan orang-orang terdekatnya yang mungkin kaget dengan semua prinsip yang tiba-tiba berubah dan tak sejalan dengan mereka.

Ia masih saja diam. Sementara sang Ibu menanti, kira-kira kata apa yang keluar dari mulut anak perempuannya.

Dan ia terus berpikir. Ini bukan pertanyaan pertama tentang hal yang sama yang ia hadapi, namun ini berbeda. Karena yang menanyakannya adalah Sang Ibu yang ini adalah kali ketiga beliau bertanya. Walau sebelumnya telah ia katakan pada ibunya dengan nada bercanda bahwa ia ingin Sang Ibu lah yang menemukan kepingan hatinya yang lain. “Wah.. Kakak kalah nih sama adek Shinta. Shinta dah berani bawa calon ke rumah. Kakak kapan?”, demikian seloroh seorang ibu kepada anak perempiuannya dengan nada menggoda.

Sang anak terdiam sejenak, walau senyum tetap mengembang di sudut bibirnya. Senyum yang sebenarnya menyiratkan selaksa emosi. Merasa lucu, sedih, bahagia, harap dan cemas. Tak langsung menjawab pertanyaan itu, karena hatinya berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menyampaikan maksudnya kepada Sang Ibu. Kejengkelan, kemarahan, dan keketusan tentu saja tidak akan mampu memahamkan Sang Ibu pada konsep hidup yang ada dibenaknya sekarang. Lama ia terdiam (tetap dalam senyum).

Sang anak teringat pertahanan yang dibangunnya di awal-awal ketika ia menemukan kesempurnaan Islam yang melingkupi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya konsep pembangunan kembali peradaban Islam yang agung. Konsep yang membuatnya tergugah untuk menjadi salah satu arsiteknya, bahkan meng’azzamkan diri untuk itu. Islahu An-Nafsi, itulah metode awalnya, kemudian Takwin Bait Al-Muslim, Irsyad Al-Mujtama’, sampai di akhirnya ustadziyyatu Al-’Alam. Islam yang mampu membuat masa remaja (baca: puberitas) terarah dengan baik, terbimbing dan lebih bermanfaat. Walau untuk itu pertarungan antara nafsu jahiliyah dan nafsu mutmainnahnya tak jarang membuatnya insomnia, air matanya terkuras, hatinya terkikis, apatah lagi ‘perseteruan’ dengan orang-orang terdekatnya yang mungkin kaget dengan semua prinsip yang tiba-tiba berubah dan tak sejalan dengan mereka.

Ia masih saja diam. Sementara sang Ibu menanti, kira-kira kata apa yang keluar dari mulut anak perempuannya.

Dan ia terus berpikir. Ini bukan pertanyaan pertama tentang hal yang sama yang ia hadapi, namun ini berbeda. Karena yang menanyakannya adalah Sang Ibu yang ini adalah kali ketiga beliau bertanya. Walau sebelumnya telah ia katakan pada ibunya dengan nada bercanda bahwa ia ingin Sang Ibu lah yang menemukan kepingan hatinya yang lain.

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar