Vulgar Ber-HTS...

0
Diposting oleh cahAngon on 09 Maret 2012 , in , ,
Kalau ada dua orang berbeda kelamin, pernah mengenal agama, dan aktif di lembaga dakwah pula, ditegur agar tak terlalu berdekatan dan begini jawabannya: “Biarkan kami memilih perbedaan pemahaman”, maka bagaimana reaksi Anda? 
Seorang teman begitu sewot saat mendapati teman-temannya begitu vulgar memperlihatkan hubungan tanpa status (HTS) di jejaring sosial.
“Kalau dilakukan diam-diam sih saya bisa maklum, lha ini dilakukan terbuka di internet,” protesnya pada saya.

Sebagai bujang, kegundahan teman saya itu dapat saya maklumi. Dialektika antara peduli pada norma agama dan keprihatinan selaku teman mungkin saja berlebihan bagi kebanyakan orang. Adanya cemburu untuk menyelip selaku sesama jomblo boleh jadi ada. Tapi, saya tak mencoba menerka-nerka dalam ketidakpastian. Saya anggap kegundahan teman saya itu bentuk sayang. Sayang pada temannya.
Sebabnya, yang diungkap teman saya itu pernah pula dikeluhkan beberapa temannya yang lain kepada saya. Kevulgaran menjalin HTS seolah meluputkan posisi mereka sebagai mantan pengurus lembaga dakwah. Tanpa sungkan dan rikuh mereka berkomunikasi cair untuk urusan tak perlu. Bahkan, ada yang dipergoki berjalan bareng berdua!
Muasal semua itu boleh jadi ketidaksiapan mental pelaku menerima teknologi. Saat yang sama, fondasi iman mereka tidak begitu solid dalam menerima perubahan di luar. Sayangnya, lingkungan tempat mereka berkiprah juga mengajarkan kekerasan bahasa. Tak jarang larangan dan kata ‘jangan’ begitu diumbar. Jadinya, diam-diam di balik layar ada permainan mata yang ini kian diejawantahkan saat kedua pelaku lepas amanah.
Dengan nada prihatin teman saya yang kedua menyebutkan kerapnya ada boikot pada aktivis organisasi dakwah yang ketahuan bermain cinta secara diam-diam. Selagi dijalani dengan mekanisme terbuka dan klarifikasi, kebijakan ini positif . Sayang, yang terjadi tudingan bertubi-tubi tanpa verifikasi. Jadilah kekerasan bahasa mendahului kebaikan untuk berprasangka atas apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam lingkungan semacam itu, diam-diam tumbuh dan berkembang iklim untuk ber-HTS tanpa malu. Kalangan ini seperti memberontak atas tatanan dan kesepakatan yang dibuat teman-teman organisasinya. Jalan pintas untuk mendalihi perilakunya begitu memudahkan, “Biarkan kami berbeda dengan pilihan ini.” Seolah ia bak punya wewenang untuk berfatwa—entah fatwa dari syeikh cinta dari mana.
Apa yang ditemui di kejadian atas, semoga tidak banyak berulang di tempat lain. Semoga kekerasan berbahasa atas prasangka dihilangkan, dan saat yang sama mari kita sapa teman-teman kita yang menggampangkan perbedaan demi meluluskan nafsunya (walau tanpa ilmu sejati!).

yusufmaulana

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar