PKS dan Opini Salah Garuk

0
Diposting oleh cahAngon on 04 April 2012 , in
Islamedia - “Kalau kalian kader PKS, tolong ingatkan elite partai kalian tentang: tahu diri, tariklah menteri-menteri kalian dari koalisi. Jangan cuma mau jabatan menterinya doang, sementara di sisi lain sibuk menikam. Urusan ini prinsipil sekali." 
Kalimat ini ditulis oleh salah seorang teman, di fans page FB-nya,  pada Sabtu malam (31/03/2012) sekitar pukul 23.00 WIB. Ia tak sendiri. Cukup banyak kalangan yang juga menghujat PKS atas aksinya menolak kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR. Ada yang mengatakan PKS bermain di dua kaki, PKS Pengkhianat, PKS Bunglon, dan sebagainya.  
Sungguh, saya merasa tergelitik melihat fenomena tersebut. Saya sangat khawatir, mereka yang beropini miring terhadap PKS mengidap penyakit salah garuk. Kepala yang gatal, tapi kaki yang digaruk. Hidung yang gatal, tapi tangan yang digaruk.
Manuver politik PKS yang notabene anggota koalisi pemerintahan SBY-Boediono, sesungguhnya sah-sah saja dilakukan. Praktek koalisi yang dilakukan oleh negara-negara yang sudah lebih lama menerapkan demokrasi, persis sama dengan apa yang dilakoni PKS.  Di AS yang menganut sistem presidensial murni, kebijakan tertentu yang dikeluarkan pemerintah tak selalu mendapat sokongan partai koalisi. Sikap mereka terbelah. Jangan heran jika ada senator yang tidak mendukung kebijakan dari Presiden dari partainya. Dan para senator tersebut tak lantas disebut pengkhianat dan bermain dua kaki. Begitu pula dengan praktek koalisi di negara lainnya.
Saya ingin mendudukkan persoalan koalisi ini dalam konteks yang tepat. Hujatan terhadap sikap PKS sangat tidak tepat karena akar masalahnya bukan karena PKS mbalelo, tapi karena jenis kelamin sistem politik kita tak jelas. Sistem parlementarisme  tidak, presidensialisme juga tidak.
Negeri kita menganut sistem politik kombinasi: gabungan antara parlementarisme (multipartai) dan presidensialisme. Istilah koalisi hanya ada dalam sistem parlementer dan penggabungan dua sistem ini menimbulkan sedikitnya dua problem. 

1) Terpisahnya pemilihan presiden dan parlemen memungkinkan terpilihnya seorang presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di Parlemen (minority government).

2) Koalisi politik yang terbentuk sangat rapuh. Di satu pihak, partai koalisi harus loyal pada Presiden. Tapi dipihak lain, partai anggota koalisi dapat melakukan manuver di parlemen untuk membangun popularitas dan elektabilitasnya serta menyuarakan aspirasi pendukungnya. 
Aksi PKS yang menolak tegas kenaikan harga BBM harus ditempatkan pada konteks tersebut di atas. Bahwa manuver cerdas semacam itu sangat dimungkinkan terjadi dalam sistem politik kita. Bahwa ada ruang yang tersedia bagi semua partai koalisi untuk bisa melakukannya. Bahwa ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan politik jangka pendek dan jangka panjang. 
Pertanyaannya, mengapa hanya PKS yang tergerak melakukannya? Setidaknya ada dua hal. 
Pertama, lemahnya posisi tawar. Bercermin dari soliditas dan militansi kader PKS, saya melihat mereka bisa jadi merupakan satu-satunya partai koalisi yang paling banyak mengeluarkan keringat ketika pilpres 2009 lalu. Salah seorang elit PKS mengatakan bahwa hampir di seluruh TPS, kader merekalah yang menjadi saksi.
Kedua, orientasi partai koalisi lainnya (PKB, PAN, PP, Golkar) sangat pragmatis. Meminjam istilah  Steven B. Wolinetz: pencari-jabatan (office-seeking). Orientasi  office seeking membuat perilaku partai lebih  pragmatis-jangka pendek terutama dalam mengejar posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.  Buat partai jenis tersebut, jabatan adalah segala-galanya. Kursi menteri adalah yang paling utama. Karena itu, mereka sangat tidak mungkin menolak kenaikan harga BBM karena takut kehilangan kursi menteri. 
Sangat kontras dengan PKS yang menurut saya memiliki orientasi policy seeking(pencari kebijakan). Bagi partai semacam ini, kebijakan memiliki makna strategis dan vital terutama jka menyangkut kepentingan rakyat. Karena itu, sangat mudah bagi mereka untuk menolak kenaikan harga BBM karena kebijakan tersebut berpotensi besar menyengsarakan kehidupan rakyat.
Pada titik inilah kita akhirnya dapat melihat dengan jernih bahwa penolakan PKS bukan karena mereka pengkhianat, bermain dua kaki, atau menikam dari belakang. Hanya mereka yang masih salah garuk sajalah yang terus beropini demikian.
Karena itu, ijinkan saya untuk mengutip pendapat salah seorang profesor ilmu politik Indonesia yang juga tokoh reformasi, Amien Rais. Saya berharap, mereka yang masih miring dengan kelakuan PKS, bisa berubah setelah membacanya. 
Kata Amien Rais, seperti dimuat dalam www.vivanews.com, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah kebijakan yang melanggar konstitusi. Oleh karena itu ia meminta PAN bersikap tegas dan tidak perlu mengikuti sikap mitra koalisi lain yang mayoritas mendukung kebijakan tersebut.
“Koalisi yang membabi-buta namanya bukan koalisi, tapi jadi agen atau klien,” kata Amien di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, DIY, Kamis 22 Maret 2012.
Masih sinis dengan PKS?
Lulusan Ilmu Politik Universitas Nasional

Share This Post

0 komentar:

Posting Komentar